-Sembilan Belas-

1.6K 272 20
                                    

Dazai tidak pernah mengira akan seperti ini hidupnya. Setelah Mori mengambil alih Port Mafia dan Kasus Arahabaki telah selesai, kini dirinya hanya seperti boneka yang hampa.

Semakin seseorang melihat ke dalam matanya, semakin sadar orang itu jika seandainya Dazai itu orang yang begitu rapuh.

Sementara Chuuya menjadi sosok yang ambisius demi bisa membaca surat wasiat dan Randou, dia sendiri malah lebih suka melakukan kegiatan bunuh dirinya.

Sambil berjalan, jemari Dazai memindahkan satu halaman buku bersampul merahnya dengan judul "Panduan Lengkap Bunuh Diri Jilid 1".

Di sana tertera sebuah gambar ilustrasi seseorang berbentuk pria tongkat dengan posisi kepalanya yang berada di bawah.

Lalu pada halaman selanjutnya, Dazai membaca sekilas grafik penakaran bunuh diri dengan metode Melompat Dari Ketinggian.

"Hmm... bunuh diri dengan melompat dari ketinggian memang yang paling terkenal, ya?"

Dazai tetap berjalan dengan buku di tangannya. Wajahnya serius. Baginya tak ada seorang pun yang berada dalam jarak pandangnya.

"... tapi bukan metode yang tidak menyakitkan," tambahnya. Ia berpikir serius sendiri, menganalisis. "Kalau tidak berhasil, hanya akan merasakan rasa sakit yang teramat panjang terlebih dirawat di rumah sakit."

Dazai menutup bukunya. "Pasti Mori-san akan menggagalkannya lagi," tuturnya.

Tidak pelak lagi, pasti Mori Ougai akan menggagalkan aksinya lagi. Pria paruh baya itu tidak akan membiarkan Dazai mati dengan mudah begitu saja dengan alasan dialah satu-satunya saksi hidup yang menyaksikan pembunuhan bos lama.

"Tapi tidak salah kalau kucoba." Dazai berjalan sambil melompat riang di pinggir jembatan. "Kalau tubuhku hanyut, pasti Mori-san akan kesulitan mencariku, 'kan?"

Ya, dan selagi Mori mencari tubuh Dazai disekitar aliran sungai, dia sudah mati dan tak bisa ditolong lebih cepat, begitulah yang terlintas dalam pikirannya.

Namun Dazai tetaplah manusia, walaupun punya kemampuan analisa yang tinggi dan sangat diakui Mori Ougai, dia tetap bisa membuat kesalahan.

Contohnya: seperti saat ini.

"Ano...."

Awalnya dia berpikir kalau benar-benar tak ada siapa pun di sekitar tempatnya berada, tapi dia salah.

Kini, seorang gadis yang tampak seperti orang baru, berdiri di sampingnya sambil menatapnya biasa.

"Kau tahu dimana Motomachi Yamate?"

🔫🔫🔫

Dazai terpaku sejenak sebelum benar-benar menuruni undakan anak tangga. Matanya menggerling, dirinya sedikit menikmati embusan angin laut.

Segeranya ia tersadar, gadis yang sedari tadi mengikutinya sudah melangkah memasuki areal pemakaman lebih dulu.

Tak jauh dari posisi anak tangga, gadis itu sedang membungkuk seraya berdoa. Dua rangkaian bunga sudah diletakkan di atas nisan di sana.

Berbeda dengan tatapan seseorang ketika mengunjungi sebuah makam pada umumnya, gadis ini malah tersenyum.

Dazai terus memperhatikannya, mencoba mengingat semuanya. Wajah, postur tubuh, senyuman, pandangannya terlebih dengan mata gadis itu setelah terbuka.

Sayup-sayup Dazai merasakan sebuah desiran aneh di dadanya ketika manik [eyes colour] itu terbuka dan gadis itu tampak tersenyum.

"Ittekimasu, Okaasan, Otousan."

Kamu akan menyukai ini

          

Dazai mendekat, sambil menatap gadis itu, dia bertanya, "orang tuamu?"

Gadis itu mengangguk. Ia terduduk di depan makam sambil menyilangkan kedua kakinya. Wajahnya senantiasa berhias senyuman.

"Kenapa kau tersenyum?" tanya Dazai. Menghilanhkan rasa penasaran dalam benaknya. Anak laki-laki itu ikut duduk di samping gadis itu.

"Kenapa... ya?" Gadis itu mengulang pertanyaan Dazai, sejenak berpikir. "Karena aku bersyukur masih hidup sampai saat ini."

Dazia mulai tertarik. "Kenapa?" tanya anak laki-laki itu lebih.

"Okaasan meninggal ketika aku lahir," tuturnya. Biasanya seorang anak akan amat membenci dirinya kala berpikir kalau penyebab kematian itu adalah dirinya.

Tapi kenapa Dazai tidak melihat hal itu dalam diri gadis ini?

"Otousan tidak pernah membahasnya," tambahnya. "Dia tidak pernah berkata kasar, selalu menyemangatiku kalau aku adalah harapan Okaasan."

Gadis itu lantas beranjak dari tempatnya seraya membersihkan pakaiannya yang sedikit kotor. Dazai mengikuti setelahnya.

Dia memutar tubuhnya menggadap Dazai, sambil tersenyum dia berkata, "harapan itu yang mendukungku untuk terus hidup."

Dazai tergugah. Sesaat anak laki-laki itu berpikir, jika itu terjadi padaku, apa aku akan seperti dirinya?

"Oh, iya. Aku sempat mendengarmu berceloteh tentang bunuh diri." Dazai mulai tertarik, dia mengembangkan senyumannya. "Kenapa kau terdengar sangat ingin mati?"

Pertanyaan yang sama dengan yang dilanturkan Mori saat itu. Dazai menatap kembali wajah gadis itu dengan bingung.

Dia benar-benar tidak paham apa maksud dari pertanyaan yang dilemparkan lawan bicaranya.

Setelah cukup lama saling berpandangan, lalu Dazai menjawab dengan sorot mata yang polos seperti anak-anak pada umumnya, "justru aku ingin mengembalikan pertanyaan itu. Apa kau yakin bertahan hidup itu ada artinya?"

🔫🔫🔫

[Name] tercenung sesaat, nafasnya tercekat di dada. Ingatannya kembali pada saat itu, ketika ia berumur 15 tahun dan terakhir kalinya berada di Yokohama.

"Jadi... anak itu...."

Dazai melempar senyum tipis, matanya terlihat menyendu dengan sorot mata yang begitu tersirat.

"Bagaimana kau sangat yakin kalau aku anak yang sama?" tanya [Name] kemudian.

Sambil tersenyum lebar, Dazai menjawab, "karena sejak saat itu aku sudah menyukai dirimu."

🔫🔫🔫

Reaksi [Name] terlihat begitu terkejut. Ia sadar, itu bukan ucapan seperti anak 15 tahun pada umumnya.

Baginya, anak laki-laki ini sedikit aneh dan... istimewa.

Sejak awal, [Name] memang berniat ingin mengunjungi makam kedua orang tuanya sebelum ia pergi dari Yokohama tentunya tidak mungkin ia tidak tahu makam itu ada dimana.

Namun suara anak laki-laki ini seolah memanggilnya. Suara yang terdengar santai tapi sarat akan kesedihan.

[Name] menyadarinya.

Walaupun begitu, ia terdiam ketika anak ini melemparkan pertanyaan seperti itu. Dia tidak bisa menjawabnya.

Mata [Name] turun dan memandangi karangan bunga yang diletakkannya di atas makam.

Selama ini dia hidup dengan membawa harapan kedua orang tuanya. Memenuhi harapan itulah keinginannya.

Hanya itu.

Alasannya sederhana. Harapan yang keduanya berikan telah membuka jalan yang bercahaya untuknya.

Walaupun dengan penyesalan dan segala kekurangan, keduanya selalu mengharapkan sesuatu yang lebih baik.

[...setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing dan tidak bisa disetarakan. Kalau kau ingin setara dengan manusia itu, kau harus menggunakan caramu sendiri...]

Itu kalimat yang selalu Ayahnya berikan ketika mendidiknya dan saat dirinya mengeluh akan kekurangan atasnya.

Pun karena ucapannya itulah, dia mendapat pendengaran ini.

Sebetulnya menanyakan kemana arah tujuannya hanyalah sebuah alasan agar anak laki-laki ini bisa ikut dengannya.

Entah bagaimana, tapi rasa ingin menolong begitu mendengar suara hati itu mendorongnya untuk membantu anak laki-laki ini.

Selalu ingin membantu ...ya?

"Apa hidup itu ada artinya untukmu... emm...."

"Dazai."

"... Dazai ...-kun?"

"Tidak ada."




























Ohh… acu inget .-. Ini part yang pernah ke pub sebelumnya terus Mikajeh unpublish gegara salah chapter :vvvv hehehehehe~

BTW, setelah acu baca ulang chapter ini, acu ngerasa Dazai kurang dark di sini .-. Ada yang kurang gitu terus tangan Mikajeh gatel pen ngetik ulang ( ̄∀ ̄) mungkin ada yang satu rasa ma Mikajeh dan tau apa bumbu yang kurang bisa dibantu (⌒▽⌒)~

Monmaap, suka goblo emang kalo anaq halu ini dikejar dedlen (´・∀・`)ヘ  hope ypu all like it!



xoxo,

Mikajeh

✅️ [16+] A Glass of Whisky 🔫 Dazai!Mafia X Reader!NoAbilityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang