CHAPTER 9

22 1 0
                                    

Song Chapter : Zedd feat Troye Sivan - Papercut
.
.
.
.
.
Chapter 9

"Seluruh kesadaran dan akal sehat yang kupunya, sebelum aku benar-benar kalut
Mereka semua menolak keinginan hatiku ; untuk jatuh padamu"
.
.
.
.
.

Seminggu lagi King and Queen Festival, aku sudah tidak peduli lagi siapa yang akan mengajakku menjadi Queen. Kepalaku terus berkutat memikirkan adik Sean, pembunuh itu.

Mataku menangkap sosok Brad berjalan memasuki ruang kelas, seperti biasa. Dia selalu menjadi pusat perhatian. Lelaki itu duduk disebelahku, kali ini ia lebih dulu mengambil alih tempat itu daripada Sean.

Ada yang berbeda darinya, dia melepas anting dan tindiknya. Tapi kenapa? kedua benda itu membuat wajahnya terlihat seperti badboy, dan kini ketika ia melepasnya, ia menjadi badboy dalam sebuah wajah goodboy. Ia juga terlihat sedikit lebih tenang meskipun aku masih bisa sedikit mencium aroma rokok dan alcohol. Itu membuatku sedikit khawatir, dia tidak terlihat seperti biasanya. Apa kejadian kemarin malam benar-benar merubahnya jadi se-tenang ini?

Bicara soal kemarin malam, sejak itu segalanya yang ada pada diriku memandangnya berbeda. Aku tidak tahu mungkin karena sikapnya atau kalimatnya yang merendah itu. Itu membuat Brad sedikit masuk ke dalam hatiku, dengan kata lain sepertinya aku membiarkan hatiku sedikit terbuka untuknya.

“Argh.” Brad mengerang pelan, tangannya tampak menekan dada sebelah kirinya, seperti mencoba meredam rasa sakit yang bersumber dari sana.

“Brad, kau tidak apa?” tanyaku khawatir.

Aku menatap guratan kesakitan pada wajah itu, alisnya merapat, rahangnya mengatup keras, jakunnya bergerak, ia menelan ludah, menahan rasa sakitnya. Alisnya yang merapat karena menahan sakit kini telah mengendur. Aku mendengar nafasnya yang sedikit terengah. Dia benar-benar membuatku khawatir. Tanganku terulur untuk menyentuh dahinya.

“Jangan.” Ucapnya seketika. Tanganku terhenti tepat sebelum menyentuhnya. Ia menatapku.

“Kau khawatir padaku ya.” Salah satu alisnya terangkat. Ia kembali dengan seringainya yang menyebalkan itu. Aku benar-benar khawatir padanya, dan dia sangat menyebalkan!

Aku mendegus kesal. “Tadi aku hanya berpura-pura, yang sebenarnya adalah aku tidak peduli sama sekali padamu.” Ucapku ketus.

Tiba-tiba saja ingatan itu melintas di kepalaku, kejadian beberapa hari yang lalu di arena balap, ketika ia memenangkan balapan dan Breva menciumnya. Aku sudah berniat membencinya malam itu, hanya malam itu saja, hari sudah berlalu, aku tidak bisa membencinya. Aku berdecak kesal. Mataku tak sengaja menangkap tatapannya. Aku mencoba tak menghiraukan tatapannya itu dan mengalihkan pandanganku ke arah lain. Sial. Jantungku berdebar tak karuan, selalu seperti ini jika Brad di dekatku.

“Aku bingung bagaimana mengajak seorang gadis menjadi Ratuku.” Mata birunya itu menatap dengan penuh intimidasi.

Buru-buru aku membuang tatapanku darinya. Apakah dia akan mengajakku? Tidak mungkin. Ada banyak pilihan baginya di luar sana yang lebih cantik dariku. Aku tidak mungkin menjadi gadis itu.

“Ajak saja, dia pasti takkan menolaknya. Parasmu itu kan memabukkan para wanita.” Ucapku dengan nada mengejek. 

“Letta, kau--”

“Letta..!” Anna berteriak dari ambang pintu. Gadis itu segera menghambur ke arahku.

“Ada apa?” tanyaku.

“Sean..” ujarnya dengan nafas tersenggal, ia tertawa lalu mengatur nafasnya lagi. “Sean akan mengajakmu menjadi Queen-nya.”

“Apa? Sean?” tanyaku hampir tak percaya.

The Oddeants (Kutukan 300 Tahun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang