Prolog

475 29 0
                                    

Hati Gia penuh dengan kegamangan. Selalu. Memaksa perasaan yang timbul lebih dulu tenggelam ke dasar bumi. Mencoba menjaga hati manusia yang amat ia hormati. Meski enggan, ia tidak punya pilihan sama sekali. Tidak ingin memaksa kehendak dan menyakiti beberapa pihak.

Pada dasarnya Gia adalah gadis terlampau baik hati. Tiap-tiap pribadi diberi kuasa untuk bebas menjatuhkan hati. Pun Gia yang tanpa sadar telah menggilai objek yang salah. Sayangnya dia sama sekali tidak pernah sanggup untuk membuat siapa pun terluka. Padahal, secara tidak langsung dia sudah membuat lubang seluas samudera di hati pria yang kini sibuk menatap layar berukuran 58 inci di depannya.

Memberikan semua perhatian pada dua gadis cantik yang beradu akting dan hampir saling menghabisi--jika saja pemeran pria tidak segera datang dan menyudahi aksi adu urat dan pita suara mereka.

Sejak dulu, Arbi selalu menjadi pusat atensi. Entah kenapa animo Gia terhadap laki-laki itu tidak pernah reda.

Gia cemburu. Tentu saja. Mana ada wanita yang ingin diduakan oleh benda mati seperti televisi? Namun yang bisa ia lakukan saat ini hanya menopang dagu, menyelisik sejengkal demi sejengkal wajah pria itu. Alisnya tidak tebal dan tidak terlalu tipis. Kelopak matanya hanya memiliki satu lipatan, maniknya terlihat lebih besar dari yang Gia punya. Hidungnya lancip dengan lengkungan yang sempurna. Bagian yang paling membuat gadis itu tidak bisa berhenti mengagumi mahakarya Tuhan dari sosok Arbi adalah bibir yang tipis namun selalu mampu membuat banyak wanita histeris. Karena Arbi memang hobi menebar senyum manis, meski segaris.

Rahangnya terpahat dengan sempurna. Tegas namun tidak mampu menyembunyikan kepribadiannya yang slengean. Dari jutaan manusia yang hidup di planet ini, Gia berani memuji Arbi tanpa henti.

Belum sempurna Gia mendefiniskan bagiamana luar biasanya Arbi, kesadarannya pulih setelah menerima tepukan di pipi. "Gi? Ngeliatin apa sih?" Sensasinya masih sama mendebarkan meski sudah lama mereka hidup berdampingan.

Mata Gia mengerjap, sementara jasmaninya berusaha meraih ruh yang sempat mengawang. Ah, ada baiknya juga Arbi melakukan itu daripada nanti Gia semakin jatuh dalam pesonanya.

"Eng--nggak, kok." Tergagap, Gia berusaha menormalkan air muka. Hal lain yang merepotkan adalah jantungnya tidak segagap ucapannya. Sudah jungkir-balik dan melesak sampai ke perut, membuat gadis itu mulas.

Arbi tersenyum kemudian kembali mengalihkan fokusnya, mengabaikan Gia yang sudah hampir pingsan karena lakunya.

Ada pribadi yang begitu lemah. Menyerah hanya karena diberi senyum tipis teramat manis, padahal sudah susah-payah mengikis. Tidak perlu menghakimi. Pada satu waktu, semua orang juga akan merasakan hal yang demikian. Melupakan perasaan tidak pernah semudah melupakan jawaban yang dicatat pada selembar kertas ujian. Akan hilang begitu kamu meninggalkan ruangan. Andai semudah itu, berani jamin di dunia ini tidak ada manusia yang repot ketika harus dipaksa mengalpa.

Atensi Gia teralih begitu saja ketika gendang telinga berhasil menangkap suara yang menggema. Napasnya dibuang lega menyadari kehadiran satu-satunya manusia yang bisa membuat Gia lupa akan rahasia rasa yang disembunyikan sejak lama pada sosok Arbi Hasnanta.

Pria itu mendekat, menatap Gia lekat, kemudian menjatuhkan diri di samping gadis itu. Mengisi ruang kosong yang menyekat antara Gia dan Arbi sejak tadi. Meski pada detik berikutnya dia sudah terhanyut dalam adegan drama yang serupa seperti Arbi.

Menurut Gia, dua manusia ini sama-sama menyebalkan! Gadis itu berdecih, bangkit dan berniat membuatkan segelas air berperisa yang bisa menyapu dahaga. Arshan pasti menghabiskan cukup banyak cairan dalam perjalanan.

Bukan. Gia tidak bermaksud mengatakan kalau Arshan berjalan kaki dari rumahnya untuk sampai ke sini. Tapi cuaca di luar memang berpotensi menguras keringat hasil ekskresi.

"Ngapain, lu? Tumben siang-siang begini dateng. Mana nggak ngetuk pintu dulu!" Padahal baru Gia tinggal tujuh menit, tapi hawa panas sudah menyelimuti kedua orang itu. Apa mereka diciptakan untuk saling menentang satu sama lain?

Gia menaruh sari buah jeruk itu di depan keduanya, memaksa mereka untuk menjeda perdebatan tidak penting yang selalu membuat kepalanya pening. Niatnya memang hanya membuat satu gelas, tapi Arbi tidak akan terima jika diperlakukan tidak adil seperti itu. Dengan berpegangan pada kata diskriminasi, mulutnya pasti akan mengoceh panjang lebar seperti para demonstran yang meminta keadilan.

Alih-alih menjawab, tangan Arshan sudah sibuk menyapu embun yang menetes satu-dua butir di dinding gelas bagian luar. Pertanyaan Arbi serupa angin lalu yang tidak perlu ditanggapi lebih jauh. Sebuah keputusan yang bijak karena bisa Gia jamin bila pertengkaran bisa meledak hanya gara-gara pertanyaan sederhana bila ditanggapi lebih lanjut. Mungkin hal itu pula yang membuat Gia memenangkan Arshan dalam pertarungan yang selalu Arbi gembar-gemborkan.

"Kasih cotton buds se-toko, Gi, biar enggak budek!" Merasa tidak ditanggapi, Arbi menyindir dengan lepas. Sejujurnya Gia tahu jika Arbi tidak pernah benar-benar menaruh dendam pada Arshan. Tapi tingkahnya memang selalu se-waspada itu jika berhadapan dengan pria jangkung nan menawan ini.

"Kasih dia pembalut, Gi. Barangkali bocor." Tentu saja jawaban Arshan tidak membuat gadis bersurai hitam itu sanggup menahan tawa. Dibandingkan dengan Arbi, Arshan lebih diam. Namun mulutnya tidak kalah kejam. Mengobrol dengan Arshan membutuhkan banyak tenaga dan kesabaran yang berlapis neraka.

Arbi mendelik, dengan bebas tangannya melempar bantal yang sering ia gunakan ketika malas beranjak dari sofa dan memutuskan untuk tidur di ruang TV. Tidak bisa dibayangkan seberapa sering ia membuat mahakarya menggunakan air liurnya.

"Gue lagi males berkonflik sama lo!" Tangan Arshan cekatan menahan bantal yang melayang.

"Emang gue kelihatan peduli?" balas Arbi tidak kalah sinis. Sepertinya hobi Arbi memang mengibarkan bendera peperangan di hadapan Arshan, deh.

"Ganti baju, Gi. Di sini nggak tenteram."

Gadis itu menolah sembari mengangkat kedua alis. Seingatnya ia tidak punya janji pergi ke luar rumah.

Meski sempat ragu, akhirnya Gia memutuskan untuk meniti undakan meninggalkan dua manusia yang sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Ia tahu jika Arshan tidak akan repot-repot menjelaskan tempat tujuan mereka nanti. Tentu saja Arbi sudah bertanduk melihat aksi super tenang yang dipertontonkan Arshan.

"Mau dibawa kemana dia?" Suara Arbi bahkan masih menembus dinding tebal milik kamar Gia. Gadis itu menghela napas lagi, bosan menyaksikan peperangan.

"Kepo!" balas Arshan enteng.

Kini dengkusan terdengar mengisi ruangan, memaksa Gia untuk bekerja lebih cepat memasangkan aksesoris yang perlu  ia pakai. Dengan langkah terburu, Gia kembali sampai di lantai dasar ketika Arbi mulai memberi instruksi. "Pulangnya jangan kemaleman!" pungkasnya membuat napas Gia lega. Aturan itu mutlak, tapi setidaknya Gia tidak perlu menyaksikan Arbi dan Arshan bertengkar lagi.

Meski awalnya sedikit sangsi, Gia tahu bila keputusannya sudah benar. Tidak membuat siapapun merugi.

-

27 Januari 2019
6 Mei 2020

Sebut Dia Patah Hati Terbaik (REPUBLISH+REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang