Jerat Masa Lalu 1

20.9K 1.3K 235
                                    

🌷🌷🌷

Sudah lebih dari satu bulan ini, pria tinggi tegap itu setiap datang ke toko dan selalu membeli setangkai bunga mawar merah. Entah kenapa setiap melihat sorot mata tajamnya tidak membuatku takut tapi merasa iba. Mata itu seolah menyimpan kerinduan dalam pada seseorang. Mungkinkah laki-laki itu merindukan kekasihnya? Ya ampun. Sungguh beruntungnya wanita itu sangat dicintai olehnya.

Arles, nama pria itu. Kebiasaan yang aku hafal di luar kepala, dia selalu datang dua jam sebelum tutup toko. Dia akan duduk di kursi sudut dan keluar dari sini saat aku menutup toko ini. Awalnya aku merasa tidak nyaman, aku berusaha mengusirnya secara halus tapi tak dihiraukannya. Aku mencoba beberapa kali tak ada respon darinya, hanya tatapan tidak suka yang ia layangkan padaku. Kemudian kembali diam di sudut ruangan dengan tablet di tangannya. Tidak banyak kata ataupun tingkah. Sesekali bola matanya bergerak liar menyapu seluruh ruangan.

Daripada memicu masalah, aku menyerah selama dia tidak berbuat macam-macam padaku, juga tidak membuat pelangganku takut. Malah pembeliku semakin bertambah sejak kehadirannya, terutama wanita. Entah karena itu murni memerlukan bunga atau hanya sekedar ingin melihatnya, aku tak peduli selama mereka memberiku pemasukan.

Aku pikir mungkin pria semacamnya terbiasa memegang kendali dalam hal apapun, karenanya dia terlihat tidak suka dengan penolakan. Hal itu tampak pada dua laki-laki berpakain serba hitam berjaga di luar toko. Terlihat bagaimana patuhnya para bodyguard-nya. Mungkin dia pria yang berpengaruh juga mempunyai kekuasaan kuat dan besar.

Arles memiliki sesuatu yang berbeda dari beberapa pria yang aku temui. Aku tidak tahu itu, tapi berbeda saja dalam penglihatanku. Meski senyum hampir tak tampak, wajahnya masih terlihat menarik perhatian wanita. Tubuh tegapnya mengundang decak kagum wanita-wanita. Bidang serta berisi di tempat yang pas. Jari-jari panjangnya bergerak lincah di atas benda persesi panjang itu tampak seksi.

"Ekhem!"

Aku tersentak oleh dehemannya. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan mataku darinya. Wajahku pasti sudah memerah ketahuan memerhatikan dia. Bodoh. Bodoh. Venya apa yang kamu lakukan. Apa kamu ingin membuat singa itu marah?

"Em--em ... Ap-apa Anda mau secangkir kopi?" Tanyaku gugup. Astaga. Kenapa malah menawarinya kopi, dia pasti tidak minum minuman murah seperti kopiku. "Maaf, Anda pasti tidak terbiasa minum–"

"Dua sendok gula. Aku suka yang agak pahit." Arles memotong ucapanku dengan cepat. "Dan, tolong jangan bicara terlalu formal padaku," imbuhnya lagi kemudian dia kembali menekuri tablet keluaran terbaru dari merk terkenal.

Ya ampun suara beratnya terdengar seksi di telingaku. Ini kalimat terpanjang selama satu bulan lebih dia di sini. "Baiklah."

Aku ke dapur menyiapkan kopi untum Arles, tapi setelah aku cari-cari hanya ada teh dan susu kental manis. Kuputuskan membuat teh campur susu saja, perkara dia mau meminumnya atau tidak urusan nanti. Aku tak mungkin meninggalkan toko hanya untuk membeli kopi di minimarket yang hanya berjarak dua blok dari sini. Aku tak ingin mengambil resiko terjadi sesuatu pada toko ini, walaupun Arles tak mungkin berbuat macam-macam.

Cangkir teh aku letakkan di depannya bersama satu toples camilan kue kering buatanku di waktu liburku. Dia mendongak menatapku dengan dahi berkerut.

"Maaf, kopinya habis cuma ada teh dan susu saja, jadi saya buatkan itu. Tapi kalau Anda tidak suka, saya bisa buatkan kopi, tapi Anda harus menunggu sedikit lama. Saya harus membelinya dulu," ucapku cepat tanpa jeda.

Kumpulan Cerita CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang