Dear Biru : Kamu bilang gelap itu teman. Kamu bilang mendung juga sahabat. Itu semua karena kamu suka bulan dan juga hujan. Lalu kalau aku? Apa harus ku sebut sakit itu teman? Karena aku suka kamu Biru. Dan kamu terlalu akrab dengan rasa sakit
***
Grey langsung menoleh kearah tangga begitu mendengar suara langkah kaki menuruni tangga, meski sudah tau siapa itu, Grey tetap saja menoleh. Ia bisa melihat Navy dengan jaket biru dan celana pendeknya menuruni tangga.
Kadang Grey sendiri suka bingung, adiknya itu tidak suka dingin, tapi anak itu selalu mengenakan celana pendek. Ketika di tanya Navy bilang "gerah" tapi lelaki itu selalu mengenakan jaket, atau baju berlengan panjang. Sampai sekarang Grey tidak mengerti mengapa.
Grey mengernyit begitu dilihatnya Navy berjalan dengan lemas, tangan anak itupun memegang dinding seolah menjaga tubuhnya agar tidak tumbang. Grey yang sedang membuat kopi itupun langsung meninggalkan apa yang sedang ia kerjakan. Ia langsung mendekati Navy.
"Masih sakit?" Tanya lelaki itu sambil memegang tangan Navy. Bukannya menjawab, anak itu malah menjatuhkan tubuhnya di sofa depan televisi. "Rumah sakit deh yuk."
"Kumat." Celetuk anak itu sambil memeluk bantal bulu berwarna putih yang biasanya diusili oleh Navy, kadang ia menarik-narik bulunya hingga bentuknya sudah tidak karuan, padahal itu sarung bantal sofa yang biasa di duduki tamu ketika datang kerumah mereka. Memang ruang tamu mereka sengaja di buat polos tanpa perabotan apapun. Lagi pula tamu mereka kebanyakan hanya teman-teman mereka sendiri.
Tidak menangkap bahan bercandaan Navy, Grey malah jadi panik sendiri, "Lo kumat? Perutnya sakit lagi? Ayo kerumah sakit."
"Lo yang kumat bang." Seru Navy malas, lelaki itu memejamkan matanya ikut terbawa oleh lemas di sekujur tubuhnya. Sebenarnya bukan hanya karena hemofilianya kemarin, namun semalam ia dapat serangan, itu hatinya, kanker hatinya yang semalaman nyeri, tidak terlalu parah memang, namun cukup menguras tenaganya karena semalaman ia tidak bisa tidur.
"Lah kok gue?"
"Kumat lebaynya." Navy mengubah posisi tidurnya, yang tadinya menyamping kini jadi berbaring lurus, namun matanya masih terpejam. Sekali-kali ia menarik hembuskan napas lewat mulut, berusaha mengurangi pusingnya. Tangan kanannya terangkat mengelus pelan pelipisnya. Grey lihat itu dengan jelas.
"Udah deh, rumah sakit aja." Grey mengambil ancang-ancang untuk membangunkan tubuh adiknya namun Navy tiba-tiba membuka matanya. "Gue laper bang, masakin dong." Serunya santai, wajahnya pucat namun ia berusaha menyembunyikan kesakitannya.
Grey mendecak, pasti ini hanya akal-akalan Navy agar ia tidak dibawa ke rumah sakit. "Udah deh, rumah sakit dulu. Guenya yang gak tenang."
"Orang laper tuh di suruh makan, bukan kerumah sakit." Jawab Navy.
"Ya tapi lo sakit."
"Emang orang sakit gak boleh laper?" Grey mendesah, memang Navy pintar sekali menghindari ajakan Grey jika sudah berhubungan dengan rumah sakit
Sebenarnya Navy tidak ada takut ataupun perasaan tidak suka dengan rumah sakit, ia hanya tidak suka jika ternyata ia harus ditahan lagi di rumah sakit namun para dokter tidak tau harus berbuat apa. Seperti kesiasiaan. Lagipula Navy tidak bisa menelan painkiller, jadi sama sajakan? Mau di rumah sakit atau di rumah, ia tetap akan merasakan sakit.
Menyerah, Grey pun akhirnya menuruti keinginnan anak itu, "Yaudah, mau gue buatin apa?"
"Sup jagung deh." Grey pun mengangguk, "yaudah tunggu." Lelaki itu langsung berjalan kedapur meninggalkan Navy yang menjulurkan tangannya kemudian menyalakan televisi. Tidak jelas juga apa yang ia tonton, Navy hanya ingin terlihat baik-baik saja di depan kakaknya. Ia tidak ingin menyusahkan Grey.
Tidak tau ada angin apa, namun akhir-akhir ini banyak pikiran yang berkecambuk di kepalanya. Ia tau kalau seharusnya ia tidak membebani kepalanya dengan pikiran-pikiran itu, namun tetap saja, semuanya datang tanpa ia minta. Ia merasa selama ini hanya menjadi beban Grey, dengan sikap manjanya, dengan segalanya. Entah mengapa lagi-lagi hal itu terbesit di kepalanya.
Navy ingin menyerah.
Sebulir cairan bening menyerupai kristal lagi-lagi lolos dari kelopak matanya, buru-buru Navy mengusap wajahnya kemudian menarik napas. Meski berkali-kali Grey selalu berkata, apapun masalah yang Navy lalui, ia ingin Navy menceritakan segalanya pada Grey, namun terkadang anak itu terlalu tertutup. Navy yang selalu ingin terlihat baik-baik saja, yang justru membuat dirinya sendiri tidak baik-baik saja.
Navy hanya tau kalau ia memang sudah tidak ada harapan. Satu-satunya yang bisa membuatnya terlepas dari kanker yang ia derita tentunya dengan tranplantasi hati, namun bagaimana ia melakukannya jika hemofilia menjadi penghambat. Pilihannya hanya dua, Navy mati karena kanker atau ia mati karena kehabisan darah di meja operasi. Semuanya terasa sama saja
Jadi untuk apa Navy berjuang?
"Nih." Grey datang membawa semangkuk sup jagung dan meletakannya di atas meja. Navy pun buru-buru mengusap wajahnya kembali, berusaha agar terihat baik-baik saja.
"Lo gak makan?" Tanya anak itu yang kini sudah terduduk di sofa. Grey hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu. Lelaki itu memilih untuk mengambil remot di samping Navy kemudian mengganti channelnya.
Navy pun mengangkat mangkuk dengan tangan kirinya kemudian tangan kanannya memegang sendok, ia sedikit mengaduk-aduk sup itu. Matanya kearah mangkuk namun pikirannya sudah berjalan kemana-mana. Entah mengapa perasaannya tiba-tiba terasa di aduk-aduk, dan tangisannya tidak tertahankan lagi. Tangannya bergetar dan untung saja saat itu Grey sedang menoleh kearahnya. Jadilah Grey langsung mengambil mangkuk di tangan Navy dan meletakannya di atas meja.
"Lo kenapa Nav?" Tanyanya.
Dada Lelaki itu naik turun seiring air mata yang keluar dari matanya. Sebenarnya ini bukan kali pertama Navy mengalami mental break down, sebelumnya ia pernah seperti ini saat ayahnya masih ada, namun Grey tak pernah tau itu, karena saat itu Grey sedang tidak ada di rumah. Jadilah melihat Navy seperti ini, Grey langsung panik. Bahkan wajahnya tak kalah pucat dengan Navy.
"Ba-bang.."
"Iya? Kenapa Nav? lo kenapa nangis? sakit?" Tubuh Navy terlihat sangat lemas dan bergetar namun tubuh Grey tidak kalah lemasnya melihat adiknya seperti itu. Tidak tau apa yang harus ia lakukan. Refleks, Grey langsung memeluk Navy begitu erat berusaha menenangkan anak itu. Tangan kanannya mengusap punggung Navy berharap adiknya itu bisa lebih tenang. Tidak biasanya Navy menangis seperti ini, kecuali memang ia benar-benar kesakitan.
Namun biasanya Navy akan mencengkram perutnya atau meremas tangan Grey dengan sangat kuat, lain halnya dengan yang terjadi sekarang, Navy justru sangat lemas dan bergetar hebat, napasnya tidak karuan dan Grey benar-benar tak tau apa yang terjadi pada adiknya.