"Ucap salam dulu kalau baru masuk rumah tuh. Jangan langsung masuk aja, nggak ucap salam, nggak permisi. Nggak liat apa ada orang ganteng lagi duduk."
Seseorang bersarkas saat dirinya melihat Latisya berjalan melewatinya begitu saja yang sedang duduk santai di ruang keluarga sambil mengunyah camilan dan menonton acara televisi favoritnya.
"Abangnya ngomong dicuekin ya dek!" Sarkasnya lagi, setelah ia perhatikan tidak ada respon sama sekali dari gadis yang sekarang sedang berjalan menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua. Ia merasa dirinya tidak ditanggapi.
"Kenapa lagi itu anak? Kesambet jangan-jangan." Ia bermonolog sendirian, mulai bertanya-tanya sendiri, dengan mulut yang masih terus mengunyah camilan di tangannya dan terfokus pada layar LED di depannya.
Latisya baru saja sampai di rumah saat ia menempuh perjalan kurang lebih 20 menit dari sekolahnya, ia membuka pintu rumah dan langsung bergegas masuk ke dalam melangkahkan kakinya menuju kamar tanpa memperdulikan ucapan kakaknya yang bersarkas ketika melihat Latisya melewatinya begitu saja. Bahkan Latisya tidak menoleh sedikitpun, seperti tidak merasakan keberadaan manusia di sana.
Pikiran Latisya saat ini sedang kalut, akibat penglihatannya beberapa saat tadi. Ia memutuskan untuk langsung melangkahkan kakinya menuju kamar miliknya agar dapat menenangkan pikirannya saat ini. Karena menurutnya, tempat ternyaman untuk berlindung dari hiruk-pikuknya dunia hanyalah kamar kesayangannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Latisya membaringkan tubuhnya setelah melemparkan tasnya begitu saja dan mengunci pintu rapat-rapat saat ia sampai di dalam kamarnya, ia juga tidak memperdulikan sepatu kotornya yang masih setia membukus kakinya. Latisya menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong, bayang-bayang Rafa dan Bella tiba-tiba saja melintas dipikarannya, dengan prustasi ia mengacak-acak rambut hitam panjang miliknya. Air matanya tidak dapat ia bendung lagi setelah mengingat kekasihnya, ia meremas dadanya kuat, hatinya begitu sakit. Ia berharap itu hanyalah sebuah mimpi buruknya, tetapi kenyataannya, hatinya terlalu sakit jika itu hanya sekedar mimpi buruk, dan terlalu nyata untuk ia rasakan.
Latisya menutup wajahnya dengan bantal tidur kesayangannya, ia mulai mengeluarkan suara-suara tangis kesakitannya yang ia tahan sejak di sekolah, ia mencoba mengeluarkan semua apa yang ia rasakan hari ini. Ia terus menangis bersama erangan-erangan yang keluar dari bibirnya, mencoba menyalurkan perasaan sakitnya pada bantal yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya tanpa ingin ada seorang pun yang mendengarnya.
Latisya tidak ingin kakaknya sampai mengetahui dirinya sedang dalam keadaan seperti ini, karena jika kakaknya sampai mengetahuinya, semua pasti akan semakin kacau. Latisya tahu betul, kakaknya tidak bisa jika melihat ada salah satu anggota keluarganya terluka akibat orang lain, ia pasti akan mencari orang tersebut dan langsung mengambil tindakan. Mungkin itu terlalu terdengar kasar dan berani, tapi itu lah kakaknya.
Latisya merasa lelah akibat tangisannya yang terus menerus, tanpa ia sadari, ia tertidur bersama air mata yang masih setia menggenang di wajahnya, juga seragam dan sepatu sekolahnya yang belum sempat ia lepas.
***
"Dek."
Tok tok tok
KAMU SEDANG MEMBACA
BODOH
Teen FictionBodoh adalah, ketika seseorang yang telah disakiti berulang kali, tetapi masih dapat mempercayai seseorang yang sudah menyakitinya. Start, 22 Okt. 2018