Map yeee, kemarin pada kena PHP. Salah pencet, n salah part.
Mamak syediiiihh, banyak yang benci sama Alcander. *pukpuk Al*
~~~~~,,~~~~~
Ada yang pernah bilang, 'Kalau seseorang tidak mau lagi mengangkat jemarinya untuk menghubungimu, bertemu denganmu, menghabiskan waktu denganmu, itu waktu yang tepat untuk kamu mengangkat kelima jemarimu dan mengucapkan selamat tinggal'.
Entah secara harfiah atau yang lainnya, mungkin kalimat itu ada benarnya. Karena jika rasanya terlalu menyakitkan mempertahankan perasaan sepenuh hati padahal kita tahu orang itu tidak memiliki perasaan yang sama denganmu hingga kau mulai kehilangan dirimu sendiri, jadi ya, mungkin ini memang saat yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal. Sedih, ya. Sulit, pasti. Tapi bukan tidak mungkin kalau aku berusaha. Iya, kan, Bun?
"Pulang, pulang." Andri yang baru kembali ke ruangan berseru sambil berlalu ke mejanya. Dengan gesit ia membereskan mejanya, lalu beranjak lagi ketika waktu menunjukkan pukul lima tepat. "Duluan ya semua."
Aku menghubungi sekretaris Alcander. "Sheil, Pak Alcander masih ada di ruangan nggak?"
"Ada, Mbak. Masih ngobrol sama Pak Agus di dalam."
"Oh. Ya sudah kalo gitu. Makasih ya."
"Mbak Bella," Sheila berseru sebelum aku sempat menutup telepon. "Pak Agus barusan keluar dari ruangan nih. Mau saya kasih tau ke Pak Alcander supaya jangan pulang duluan?"
"Iya, tolong bilangin Pak Alcander kalo saya mau ketemu ya, Sheil. Aku ke sana sekarang. Makasih."
"Sama-sama, Mbak."
Sebelum keluar ruangan, aku memasukkan kado dari Alcander ke dalam tas. Menyiapkan hati. Sheila sedang merapikan mejanya ketika aku tiba di sana. Gadis cantik itu menoleh mendengar langkahku.
"Masuk aja, Mbak. Sudah ditunggu di dalam sama Pak Alcander," katanya. Tapi tak urung aku mengetuk pintu juga.
"Masuk." Suara berat Alcander terdengar dari dalam.
Seperti penampilannya setiap sore, jasnya tersampir di belakang kursi yang ia duduki, kancing teratas kemejanya terbuka, dan lengannya digulung asal hingga siku. Yang membedakan adalah lingkaran hitam di bawah mata dan janggut yang lebih tebal dari biasanya. Ia segera berdiri dari duduknya saat melihatku berjalan menghampiri. Senyum ragu-ragu merekah di bibirnya yang kemerahan. Tapi ketika aku meletakkan hadiah darinya di meja, kedua sudut bibirnya tertarik turun. "Itu untuk kamu."
"Tolong, jangan kasih aku apa-apa lagi. Terutama di kantor."
"Kamu ..." Alcander terus memandangiku. "Masih marah?"
Kuhela napas panjang. "Aku bahkan nggak tau apa aku berhak marah."
"Kalo gitu berhenti marah sama aku." Ia menampilkan senyum menawan, yang biasanya selalu berhasil membuatku ikut tersenyum bersamanya.
"Aku sakit hati, Alcander. Aku sakit hati kamu bilang aku murahan. Aku sakit hati berkali-kali kamu lupa sama janji kamu. Tapi ya, aku marah." Padanya. Pada diriku sendiri---terlebih pada diriku sendiri. Aku menyakiti diriku sendiri saat aku mulai jatuh cinta padanya. Aku menyakiti diriku saat aku terus menerus memupuk perasaan itu dan membiarkannya kian bertambah besar. Aku menyakiti diriku sendiri ketika aku mulai mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, saat aku berharap selalu menjadi yang terutama dalam hidupnya. Aku tahu, tapi tidak bisa menghentikan diriku sendiri. Betapa bodohnya itu! Tapi seperti itulah cinta, kan? Bodoh dan keras kepala.
"Aku pikir kamu ngerti aku, Alcander, dan kupikir aku kenal kamu." Aku menggeleng samar, senyumku miris ketika memikirkannya. "Ternyata selama ini aku salah. Salah. Aku nggak kenal kamu seperti kamu nggak ngerti aku."
"Please, Bells," Alcander menyugar rambutnya. "Aku tau aku salah, tapi please, jangan begini."
Kupandangi wajahnya yang tampan, hidungnya yang mancung, rahang yang menampakkan kekeraskepalaan. Matanya yang perpaduan hijau kecokelatan berkilat-kilat balas menatapku. "Mungkin aku butuh waktu. Sehari, sebulan, setahun." Aku mengedikkan bahu.
"Setahun?" Matanya membelalak kaget. "Kamu nggak bisa ngediemin aku begini selama setahun! Aku bisa gila." Ia memutari meja, menghampiriku.
"Kamu nggak akan gila, Alcander. Kamu punya Abby sekarang." Suaraku bergetar menahan tangis. Ciuman mereka, kata-kata Alcander, perasaanku sendiri. Demi Tuhan, kepalaku terasa penuh.
"Abby! Aku nggak mau Abby, aku mau kamu!" Kata-kata yang terucap bagai sungai di tengah padang gersang. Fatamorgana. "Kamu sahabatku, bukan Abby, bukan siapa pun."
"Sahabat yang mulai kamu lupain, Alcander."
Alcander mengusap wajahnya kasar. "Itu lagi! Aku nggak lupa, aku nggak akan pernah lupa sama kamu, Bells!"
"Tapi memang itu kenyataannya, kan? Mungkin kamu nggak mau mengakui, tapi itu yang aku rasain. Perlahan tapi pasti aku mulai menghilang dari pikiran kamu. Karena sekarang kamu punya seseorang yang lebih menyita perhatian." Aku menarik napas gemetar menahan isakan. Tanganku bergetar. "Tapi aku ngerti. Aku mencoba ngerti, Alcander. Seharusnya kamu juga begitu." Dulu Alcander punya aku sebagai sahabat, sekarang dia punya Abby dalam hidupnya. Menyedihkan memang, tapi itulah hidup. Harus bergerak maju. Kalau dulu kamu butuh teman, sekarang kamu butuh pasangan hidup. Well, teman selalu datang dan pergi, pasangan hidup akan menemanimu selamanya. Seperti itulah kira-kira.
"Ngerti apa! Kamu nggak ngerti apa-apa!" Aku meloncat Alcander menggebrak meja.
"Aku ngerti kalau kamu sudah nggak butuh aku."
Ia mengertakkan rahang, matanya berkobar penuh emosi yang tidak mampu kukenali. Sebelah tangannya mencengkeram lenganku, mengguncang tubuhku. "Siapa kamu sampai bisa menentukan apa yang kubutuhkan, hah?" Ia berderap keluar, membanting pintu di belakangnya, meninggalkanku sendirian. Tanganku menangkup kedua mataku yang basah. Langkahku lunglai. Selesai sudah. Sejenak aku bersandar pada pintu seraya memejamkan mata.
Aku melakukan hal yang benar, kan, Bun? Bunda pasti akan kasih saran yang sama, kan?
Di luar, Daniel duduk di sofa. "Hei." Ia mengusap pipiku yang lembap saat aku duduk di sampingnya. "Berantem lagi?"
Aku mengangguk. Daniel mengusap lenganku. Aku membiarkan keningku bersandar di pundaknya yang kuat. "Aku capek."
"Kamu butuh hiburan. Butuh teman yang ramai. Ayo, Risma sudah nunggu di lobi." Kusingkirkan air mata yang sudah mengancam tumpah. Setelah mengatur perasaan, aku mengangguk.
Di Freshmart, aku, Risma, dan Daniel berdiri di depan counter ikan dan daging segar.
"Kita bikin steak aja gimana?" Daniel memberi suara. "Simpel."
"Seafood aja. Sama simpelnya," Risma menimpali tanpa berani menatap Daniel. Ia terus menatap ikan, udang, dan kepiting dengan mata bulatnya yang besar. Daniel menatap Risma sambil terkekeh di sebelahnya. Risma menoleh ke arahku. "Lo pilih, Bell, steak atau seafood?" Tapi matanya melotot dan bibirnya mengerucut lucu agar aku ikut pilihannya.
"Um ..." Aku pura-pura berpikir.
"Lama! Seafood," Ia mencubit lenganku. "Apa steak?"
Daniel tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata dengan nada dipanjang-panjangkan. "Oke, seafood."