01. SMA itu?

64 12 23
                                    

"Semoga hari pertama kamu sekolah menyenangkan, sayang,"  Rusdi mengusap lembut puncak kepala Jihan, anak kesayangannya.

Jihan hanya tersenyum samar mendengar perkataan sang Papa, ia segera menyalami tangan Papanya dan bergegas keluar dari dalam mobil berwarna hitam itu.

"Papa hati-hati," ucap Jihan sebelum benar-benar menutup pintu.

Setelah punggung kecil Jihan menghilang dari pandangannya, lelaki berumur sekitar 50 tahunan itu tersenyum kecil.

Kemarau Terakhir

Pintu gerbang sekolah barunya masih tidak terbuka terlalu lebar, tentu saja karena waktu masih menunjukkan pukul 06.15 wib. Masih terlalu pagi untuk ukuran anak SMA untuk pergi berangkat sekolah.

Tapi saat ini Jihan terlambat berangkat sekolah, ini hari pertamanya memasuki sekolah baru, menempuh pendidikan yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Tiga hari lalu saat penerimaan seragam, memang sudah di beritahukan bahwa untuk siswa baru diwajibkan datang lebih awal yaitu pukul 06.00 wib. Tujuannya untuk menentukan kelas yang akan digunakan untuk tes kejurusan yang diminati. Telat lima belas menit, Jihan menatap lapangan sekolah barunya yang sudah di penuhi siswa-siswi baru.

Samar-samar ia mendengar suara salah seorang guru yang sedang memanggil nama siswa satu persatu, membaginya menjadi beberapa kelompok.
Jihan berlari menuju belakang lapangan, menuju salah satu teman yang ia kenal semasa SMP dulu.

"Ri, nama gue udah dipanggil belum?" Jihan langsung menanyakan apa yang ingin ia tanyakan.

"Buset dah, santai dong Han. Untung aja gue nggak ada riwayat penyakit jantung, kalau ada bisa mati berdiri di sini gue," ucap Rien sambil mengelus dadanya.

"Ish, udah deh ayo buruan bilang, nama gue udah dipanggil belum?" Jihan semakin mendesak Rien.

Rien membenarkan letak kerudungnya yang agak kusut, lalu memandang ke arah Jihan dengan raut wajah seperti orang yang sedang berpikir keras.

"Udah dek kayaknya," Jihan yang mendengar penuturan Rien, bergegas menepuk pundak Rien bermaksud mengucapkan terimakasih, lalu lari menuju kelas-kelas yang memang sudah ditentukan sebagai ruang tes kejurusan. Sekitar ada sembilan kelas yang digunakan untuk tes kejurusan, itu artinya Jihan harus mencari namanya satu-persatu di jendela depan kelas yang telah di tentukan.

Kemarau Terakhir

Sudah sekitar 15 menit ia mencari namanya, namun.. jangankan menemukan namanya, untuk melihat daftar nama yang ditempel di jendela kelas pun ia tidak bisa melihatnya. Tubuhnya terlalu pendek untuk menjangkau tinggi jendela kelas, ditambah dengan gerombolan siswa-siswi yang nasibnya terlambat seperti dia, dan harus mencari sendiri namanya di setiap kelas.

Jihan mondar-mandir berniat ingin mengunjungi kelas lain terlebih dahulu, siapa tahu antrean para siswa itu mulai sedikit.
Namun nihil. Semakin ia berpindah ke kelas-kelas, semakin ramai pula tepat yang ia tuju.

Tubuhnya lelah, butuh istirahat. Tempat duduk melingkar di bawah pohon besar itu terlihat menggoda sekali di mata Jihan. Jika bukan karena waktu tes kejurusan yang aman segera di mulai, ia tidak akan mau berdesak-desakkan diantara orang-orang yang menurutnya besar itu.

Setiap tubuhnya mulai menyelinap di antara kerumunan siswa, maka setiap itu pula tubuhnya terpental ke belakang. Dorongan yang ia rasakan begitu keras. Nafasnya mulai ngos-ngosan, keringat turun bercucuran.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kemarau TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang