Chapter 15

10 6 2
                                    

Pelajaran hari ini sudah usai. Setelah melakukan praktek, presentasi di depan mahasiswa Michigan University, lalu berbaur bersama mereka untuk mengerjakan suatu tugas, membuat perutku keroncongan.

Aku keluar dari gedung menyesakkan itu. Menyapukan pandanganku berharap ada pedagang yang menjual makanan padaku, tapi nihil.

Dan bodohnya aku, aku baru menyadari kalau ini masih area kampus. Aku memutuskan untuk keluar mencari makan, karena makanan yang disediakan kantin kampus ini rata-rata adalah junk food. Aku jengah dengan makanan itu. Bisa gendut aku lama lama.

Setelah aku keluar dari area kampus, aku berjalan-jalan berharap menemukan toko maupun pedagang kaki lima yang menjual makanan yang bisa menarik minatku. Dan tak terasa aku sudah berjalan sampai dua blok dari kampus.

Aku nelihat ada sebuah toko tak jauh dari tempatku berdiri. Di sana bertuliskan "Meatball & Orange".

Aku bergegas ke sana. Setahuku meatball adalah makanan dari daerah Asia Tenggara, Indonesia mungkin. Dan aku hanya beberapa kali saja mencicipinya.

Terakhir aku mencicipinya, mungkin waktu aku masih di High School. Dan aku juga sudah lupa dengan rasa makanan itu. Seingatku hanya 'enak' saja.

Aku menempati duduk yang ada di pojok ruangan. Kebetulan dekat jendela kaca besar. Kemudian aku memanggil salah satu pelayan yang kebetulan ada di dekatku.

"Makanan yang paling disukai di sini apa?" tanyaku pada pelayan yang kebetulan laki-laki itu. Jarang-jarang ada pelayan laki-laki.

"Di sini yang paling banyak diburu adalah Orange Meatball, itu meatball yang berisi cabai asli Indonesia. Memang cabai dari sana adalah salah satu yang paling pedas di dunia. Aku harap kau juga suka pedas." Jawabnya.

Pedas? Salah satu yang terpedas di dunia, katanya? Apakah lambungku mampu?

Sudahlah, lagipula aku tidak sering-sering memakan meatball dengan banyak cabai di dalamnya.

"Ah, iya. Aku suka pedas. Aku pesan itu satu. Lalu, ada lagi makanan yang paling disukai di sini?" tanyaku dengan antusias. Bagimana tidak antusias? Pelayan di depanku ini bak pahatan dewa Yunani.

"Ehm, hanya semangkuk kecil es krim rasa coklat dan vanilla. Kau bisa pilih rasanya. Dan kalau minumannya, aku rasa tidak ada yang paling menonjol. Tapi aku sarankan kau membeli lemon tea kami. Di situ diberi bahan rahasia semacam whipe cream. Kau pasti menyukainya!" ucapnya panjang kali lebar. Aku tidak tahu kalau ada laki-laki yang bisa berbicara sepanjang itu. Ternyata dia asyik juga diajak bicara.

"Baik, aku juga pesan semangkuk es krim coklat dan segelas lemon tea. Tolong pesankan untukmu juga, biar aku yang membayar. Dan bisakah kau menemaniku makan?"

Dia tampak berpikir sejenak. Lalu menganggukkan kepalanya pelan.

"Aku rasa tidak akan masalah. Baik, tunggu dulu di sini, ya?!" setelah itu dia melenggang pergi.

Aku tidak tahu pasti mengapa aku mengajak orang itu makan bersamaku. Mungkin karena aku sedang membutuhkan teman bicara saja sekarang. Karena memang setelah rutinitas seharian ini, aku butuh relaksasi. Dan mungkin berbicara dengannya bisa mengurangi rasa lelahku. Mungkin saja, siapa yang tahu?

Tak lama dia membawakan pesananku dalam sebuah nampan. Setelah dia menaruh makanan itu, dia kembali lagi ke belakang. Aku rasa, dia mengambil makanan miliknya.

Dan saat kembali, dia hanya membawa meatball yang sama denganku dan juga segelas lemon tea.

"Rasanya aneh, kau tiba-tiba mentraktirku. Padahal kita baru ketemu hari ini. Dan seharusnya aku yang mentraktirmu. Karena aku laki-laki." katanya padaku sambil duduk.

Aku tidak memusingkan apa yang dikatakannya. Sehingga aku mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kau tidak memesan es krim juga?"

Dia menggeleng. "Maaf, aku tidak suka es krim."

Baiklah. Mungkin banyak laki-laki yang tidak menyukai es krim. Dan mungkin dia juga salah satunya.

Aku menyendokkan kuah lalu aku suapkan ke arah mulutku. Ah, rasanya sangat pedas dan masih panas. Aku lupa meniupnya terlebih dahulu.

"Awas, hati-hati! Masih panas!" serunya. Padahal terlambat. Mulutku sudah kepanasan.

"Nggak papa."

Aku melanjutkan acara makanku. Tak ku sangka akan sepedas ini rasanya. Cabai ini pedasnya berkali-kali lipat dari sauce yang biasanya menemani makananku.

Aku mencoba bagaimana pun caranya agar aku tidak terlihat sedang menahan rasa pedas di depan pelayan itu. Karena tadi aku sudah mengatakan kalau aku suka pedas. Gengsi, oy!

Ting.

Suara garpu dan sendoknya berbenturan dengan mangkuk berwarna biru itu. Memang, di sini mangkuk yang digunakan berwarna biru.

Ku lihat, meatball miliknya sudah tandas. Astaga! Secepat itu? Padahal milikku masih termakan seperempatnya. Haduh, aku harus segera menghabiskan meatball ini sesegera mungkin.

"Kau yakin kau suka pedas?" katanya membuka suara di antara kami lagi. "Mukamu terlihat sangat merah!"

Hah?

Apa katanya? Sangat merah? Sepertinya acaraku mengelabuhi dia akan segera usai. Kelihatannya dia tahu kalau aku tidak begitu menyukai pedas.

"Aku... Aku hanya menyukai masakan ini!" jawabku.

"Syukurlah! Makanlah dulu, setelah itu, baru kita bicara!" katanya lagi. Aku mengangguk.

Aku berusaha mati matian agar bisa menghabiskan makanan yang d*mn, sangat pedas ini! Aku meminum lemon teaku. Memang enak. Tapi rasa pedas ini menyiksaku.

Aku menyuapkan sesendok meatball lagi ke mulutku. Setelah itu meminum lemon tea itu lagi. Kemudian aku mencoba sebisaku memakan sesendok meatball lagi. Padahal mataku sudah mulai berkaca-kaca karena ini memang sangat sangat sangat pedas.

"Kau tidak perlu mengha-"

"Kau tidak tahu apa kalau wanita di depanmu ini sedang sangat menahan rasa pedasnya? Kau buta? Dia kepedasan! Dan kau membiarkannya? Dasar bodoh!" tiba-tiba ucapan Sam memotong ucapan pelayan di depanku ini.

Aku mendelikkan mataku, darimana Sam bisa tahu aku ada di sini? Apa dia mengikutiku?

"Dan kau, kalau tidak kuat makan pedas tidak usah diteruskan, Bodoh!" ucapnya lagi

Kenapa dia membentakku?

Tiba-tiba tangannya menarik tanganku untuk segera keluar dari tempat makan itu. Dia benar-benar menyeretku menjauh. Hingga, mungkin seratus meter lebih dia baru berhenti.

"Kau!" ucapku dengan nada meninggi. "Kenapa kau menyeretku keluar? Aku belum memakan dan membayar makananku, Bodoh!" padahal tadinya aku yang ingin mentraktir pelayan itu dan mengajaknya bicara. Meskipun aneh saja kenapa dia bisa duduk manis di mejaku, padahal pelayan lain sedang bekerja. Dan bagaimana nasibnya nanti karena harus membayar makananku? Kalau dia tidak punya uang bagaimana? Bagaimana kalau dia dipecat?

Ku dengar Sam mendengkus keras. Matanya menyorotku tajam. Sangat tajam hingga aku merasa kalau aku membalas tatapannya, mataku akan sobek dibuatnya.

"Kemarin kau habis pingsan, dan sekarang kau makan makanan pedas! Aku tahu kalau kau menahan supaya tidak terlihat kalau kau kepedasan! Jadi tidak usah berpura-pura! Bagaimana kalau kau sakit lagi?"

the BLUE SNOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang