Twenty Three : Revenge

918 37 0
                                    

*******************************

[Unedited]

Harry POV

Beberapa jam yang lalu merupakan salah satu momen paling menegangkan bagiku. Seperti aku berada di ambang kehidupan dan kematian saat menunggu jawaban pasti.

The calm before storm memang benar. Pagi ini bisa kuakui memang hari paling damai dan menenangkan dalam hidupku. Tapi semuanya harus berubah hanya dalam hitungan beberapa detik. Dan kusadari semuanya ulahku.

Jika aku tidak duduk, aku mungkin akan terperanyak jatuh. Jika Sarra tidak di sebelahku yang tertidur sekarang ini, aku mungkin akan gila dan melakukan hal hodoh seperti yang kulakukan dulu. Sentuhannya tidak tahu kenapa membuatku tenang di dalam situasi sekarang ini. Aku memang membenci perempuan clingy, tapi dengannya menaruh kepala di pundakku dan melingkari tangannya di lenganku, aku menyukainya.

Yang terpenting, bocah itu membuatku hampir hilang akal. Jika bukan karena dokter pribadi yang kuperintahkan untuk selalu standby saat aku di villa pribadiku di pulau ini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padanya sekarang.

Terjebak di pulau dengan hujan besar, membuat suasana hatiku makin gelap. Kapan Cara sadar?

Dokter bilang Cara sudah stabil sekarang. Hanya tinggal menunggu obat untuk bekerja sebagaimana mestinya. Tapi kecemasan berlebihan di dalamku ini berkata lain.

Sekarang, duduk di dekat ranjang kasur di mana ia berbaring, aku melihat ia bernapas dengan tenang. Di terlihat sangat tenang seperti ia berada di dalam mimpi yang indah. Tapi aku berkata terlalu cepat.

Mendadak alisnya beradu, tubuhnya mulai bergetar membuat ranjangnya ikut demikian.

Dengan hati-hati, aku meletakkan kepala Sarra di atas bantal cushion sebelum aku menghampiri Cara yang mulai terlempar-lempar di kasur sambil berteriak menangis.

"Psst. Aku di sini. Tak apa," bisikku lembut sambil menggenggam tangannya yang daritadi seolah ingin meraih sesuatu. Saat merasakan genggaman tanganku, ia mengeraskan cengkramannya.

"Papa... Mama, jangan tinggalkan aku...," katanya dengan suara parau. "Aku takut."

Air mata makin meluruh deras di wajah mungilnya. Tak kusadari tanganku sudah meluncur untuk menghapus buliran air mata yang akan terjatuh lagi. Lalu kukecup keningnya dengan lembut.

"Aku tidak akan membiarkan apapun menyakitimu, gadis kecil. Aku di sini," bisikku lagi.

Lagi-lagi, hal ini membuatnya mulai berhenti menangis dan sesegukkan. Ia memeluk tanganku seperti nyawanya tergantung padaku.

Sebenarnya ini bukanlah pertama kali bagiku melihat Cara bermimpi buruk. Terkadang, saat aku terbangun di tengah malam karena permasalahan yang serupa, aku mendengar Cara berteriak seperti seseorang mengejarnya dan mengambilnya dari orang yang ia sayangi. Awalnya kudiamkan, tapi perlahan aku mulai melakukan hal yang seperti sekarang ini kulakukan.

Aku masih penasaran mimpi seburuk apa yang dialami gadis tak berdosa ini?

Ralat, walaupun ia sedikit berdosa karena dengan lihai membohongiku.

Pikiranku terputus saat aku merasakan ponselku bergetar dari kantong celanaku. Saat aku melihat layar ponselku, yang ternyata dari Lee atau mantan tangan kananku di duniaku dulu. Dia tidak pernah meneleponku setelah menjabat posisi baruku. Apa masalahnya sekarang?

Aku bergegas berdiri dan berjalan keluar kamar Cara, ke lorong yang sepi dan berhenti di jendela besar.

"What?"

          

"Tuan. Kami punya masalah besar." Dari nada bicaranya sepertinya ini sangat urgent, walaupun aku sangat berhasrat ingin menutup telepon ini.

"Katakan."

"Sekelompok orang asing menghancurkan beberapa warehouse negara ini dan mencuri senjata di dalamnya," ujarnya.

"How the fück is that possible?" umpatku. Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya, tidak selama pemerintahanku sebelumnya. Teknologi Sieghart tidak bisa dibobol dengan mudah.

"Kami yakin ini ulah pengkhianat. Kami tidak tahu menahu tentang ini sampai kami mengunjungi warehouse untuk melakukan checkup karena kami kehilangan kontak mereka."

Aku mencapit hidungku. "Pengkhianat lagi? Bukan berita baru kan? Beritahu aku kenapa aku harus peduli akan hal ini lagi?"

"Kami percaya bahwa ini yang harus kami lakukan sejak tuan Axel Sieghart mengundurkan diri."

"Kau bilang apa?!" teriakku, terkejut. "Beraninya. Kapan dia keluar?"

"Seminggu ya lalu, terlalu mendadak kataku. Dia bilang tuan yang akan handle ini lagi. Kami tidak bisa mengkontakmu saat itu sampai malam ini. Kami perlu perintah darimu sesegera mungkin, tuan."

Minggu lalu? Saat aku terlalu sibuk menanggapi fakta bahwa bocah dan ibunya membohongiku? Aku bahkan juga sampai menutup segala akses komunikasi dari siapapun.

"Adakan meeting dengan semua leader tiap negara bagian ini di headquarter sekarang juga. Aku akan segera ke sana sekarang."

"Aye, sir." Kututup teleponku.

Squngguh beraninya Axel keluar dan meninggalkan semua tanggung jawabnya padaku? Dan juga apa yang nenek tua itu pikirkan membiarkannya pergi begitu saja? Aku selalu tahu ia big softie padanya. Tapi bukannya aku jealous, hanya saja dia selalu bisa pergi dari masalah dengan mudah.

Tapi bukan itu poin pentingnya sekarang, aku harus fokus untuk mencari tahu siapa si brengsek yang menganggu waktu tenangku.

"Kau mau kemana?"

Mendengar suaranya membuatku berhenti mendadak saat akan membuka pintu keluar. Sejak kapan ia bangun?

Kudengar langkah kaki mendekat ke arahku, namun tertiba berhenti.

"Kenapa kau bangun?" tanyaku balik, masih belum menghadapnya.

"Aku tiba-tiba terbangun?" balasnya seolah pertanyaanku terdengar konyol di kupignya. "Setelat ini? Bukankah bahaya, apalagi masih hujan kan?"

"Sudah berhenti. Dan aku ada urusan mendadak. Tak apakah untukmu menginap semalam? Akan kuperintahkan juga seseorang untuk mengantarmu pulang dan bawa Cara juga bersamamu."

"Tapi... Cara masih sakit," katanya tak setuju. "Urusan apa sih?"

"Kerja."

"Bisakah ditunda besok?"

"Tidak bisa."

Hening beberapa saat, sampai Sarra membuka suaranya,

"Harry, jangan pergi."

Permohonannya cukup membuatku ingin membatalkan semua rencanaku malam ini.

Setelah membuang napas, aku berbalik untuk berjalan ke arahnya. Mata birunya seolah bersinar dari terangnya bulan malam dari jendela. Dia berdiri, menggunakan pakaian pyjama milikku yang masih terlihat menawan bagiku. Screw it! Dari pandangan awal aku bertemu dengannya, dia merupakan salah satu wanita gorgeous yang pernah kulihat dalam hidupku.

His Little GirlWhere stories live. Discover now