Mutualisme 6.2

3.6K 477 139
                                    

Tak ada waktu yang lebih menyenangkan dibanding jam olahraga yang kosong. Bagi Alin, terutama, yang benar-benar parah dalam olahraga. Meski dia tak bisa pergi ke mana-mana selain berada di lapangan sampai jam olahraga berakhir, setidaknya dia bebas dari keharusan memukul bola voli atau melempar lembing. Alin tak sendiri dalam hal ini. Mayoritas kaum hawa XI-IPA-1 lebih memilih memenuhi tempat duduk berpeneduh di samping lapangan, menonton murid-murid cowok bermain bola voli, dibanding ikut berpanas-panas dengan mereka.

"Menurut lo bagusan mana?" Desna menunjukkan isi galeri ponselnya. Dia sedang menunjukkan foto beberapa rangkaian bunga yang semalam dia buat.

Alin menggeser layar, mengamati foto demi foto yang tersaji. Dia tidak terlalu paham bagaimana menilai suatu rangkaian bunga selain melihat penampakan visualnya. Bagus atau tidak. Itu saja kriterianya.

"Semuanya bagus," jawan Alin. Dia berkata jujur. Tiga rangkaian bunga yang Desna tunjukkan memang semuanya bagus.

"Yah, nggak asik banget," balas Desna agak kecewa. "Pilih satu yang menurut lo bagus, dong."

Alin mendesah. Desna tidak akan berhenti menerornya sampai Alin benar-benar memberinya satu pilihan, lengkap dengan alasan loginya. "Bentar, gue lihat dulu lebih dekat."

Ada tiga rangkaian bunga. Tiap rangkaian menampilkan bentuk dan komposisi warna yang berbeda-beda, dengan beragam kombinasi bunga dan dedaunan. Semuanya tampak cantik. Alin tidak ingin memilih salah satu saja.

Berkali-kali Alin menggeser foto demi foto. Tetap, dia masih sulit memutuskan. Pilihan terbaiknya jatuh pada rangkaian berbentuk kerucut dengan bagian dasar berupa dua daun lebar yang entah apa namanya. Bertangkai-tangkai krisan warna-warni membentuk dasar kerucut yang dipuncaki oleh belasan tangkai mawar merah yang baru setengah mekar. Sangat cantik.

"Yang ini." Akhirnya Alin memutuskan. Dia menunjukkan pilihannya.

Desna mengangguk dan mulai mencermati foto pilihan Alin. Mungkin sedang menganalisis pilihan Alin. Setelah ini, mungkin dia akan tertawa. Mengatakan betapa payah Alin dalam memilih. Tapi, setelah sekian menit terdiam dan mengamati, tak ada komentar mengejek apa pun dari Desna. Alih-alih ejekan, yang keluar dari mulutnya justru kalimat paling biasa yang bisa Alin bayangkan.

"Gue juga paling suka yang itu, meski bikinnya paling makan waktu," komentar Desna. "Upload ke IG, ah. Pasti banyak yang nge-like."

"Diusir dari kelas, nilai ulangan nol, gimana rasanya?" Pertanyaan itu sekonyong-konyong merusak kedamaian Alin.

Alin dan Desna langsung menoleh ke sumber suara, hanya untuk mendapati Ega yang sudah duduk tak jauh darinya. Duduk di samping Ega, ada gerombolan geng bangku belakang yang sedang beristirahat dari permainan. Remi ada di antara mereka.

Alin langsung mendelik marah pada Ega dan gerombolannya. "Itu pasti ulah salah satu dari lo atau Remi, kan? Cara kalian balas dendam ke gue."

"Udah gue duga lo bakal nuduh gue atau Remi," balas Ega santai, sedikit mencibir. Terlihat terlalu santai malah, seolah dia benar-benar tidak bersalah.

Melihat wajah santai Ega, Alin rasanya ingin mengumpatkan rangkaian kata-kata kotor. Tapi, dia mencoba menahan diri. "Memang itu, kan, kenyataannya? Lo, Ga, terutama, pasti dendam banget sama gue karena gue udah gagalin rencana lo buat nyontek di ulangan Pak Jon."

"Gue emang marah sama lo karena kejadian itu," jawan Ega. Ada tekanan dalam suaranya. "Tapi, gue nggak akan pernah pakai cara kayak gitu. Gue tukang nyontek? Iya. Gue preman kelas? Iya. Ngefitnah orang? Sorry aja, Lin. Itu bukan cara gue. Gue kalau nggak suka sama orang bakal langsung bilang nggak suka. Marah langsung samperin. Nggak pakai cara pengecut kayak gitu."

SIMBIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang