BAB 4

5.8K 646 40
                                    

Atas nama cinta,

Keringnya gurun mengalirkan zam-zam

Atas nama cinta,

Perpisahan berbuah kekosongan

Menelan warna nyala api bahagia

Melukai meski menyelesaikan

Musa baru saja selesai membaca ulang kisah perang Badar. Sebuah perang antara kaum muslimin Madinah dan kaum kafir Quraisy yang dimenangkan oleh kaum muslimin.

Kisah yang paling disukai Musa sejak kecil. Tentang batas antara kebenaran dan kebatilan yang begitu jelas diperlihatkan. Masih dibalut kekagumannya terhadap Rasul dan kuasa Allah yang tak berujung, Musa merajut ilustrasi di kepalanya.

Tentang tiga ratus pasukan yang dipimpin langsung oleh Muhammad SAW, didampingi malaikat-malaikat utusan Allah, mengalahkan seribu pasukan kafir bersenjata lengkap. Semakin diulang, kisah itu terasa semakin mengagumkan dan selalu mampu membangkitkan semangat Musa.

Sebuah suara mengudara, menghapus seluruh gambaran dalam kepala Musa. Menggantikannya dengan pemandangan nyata bangunan istana Zaira. Ditolehnya sumber suara itu.

"Yang Mulia," panggil seorang prajurit istana. Prajurit itu bertubuh kekar, berjanggut, dan sedikit lebih tua dibanding Musa.

"Ada apa?" tanya sang Raja.

"Rombongan dari Graha ingin menghadap Anda, Yang Mulia. Kedatangannya dipimpin oleh Pangeran Salman," lapor sang prajurit, masih menundukkan kepalanya.

"Di mana mereka sekarang?" seketika sikap Musa berubah sigap.

"Kami menahannya di gerbang istana, Yang Mulia."

"Kawal mereka sampai ke ruang pertemuan. Aku segera ke sana," titah Musa seraya meletakkan kitabnya.

"Baik, Yang Mulia," ucap prajurit sebelum akhirnya pamit undur diri yang kemudian dibalas anggukan oleh Musa.

Musa beranjak dari ruangan yang dindingnya dipenuhi kaligrafi puisi-puisi ayahnya. Ruangan yang biasa digunakannya untuk berpikir dan memahami konsep-konsep kehidupan, ayat-ayat Al-Quran, Sirah Nabi, dan berbagai kisah pejuang Islam terdahulu.

Di sana juga tersimpan koleksi buku milik ibunda, beliau menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan pengobatan, begitu pula buku-buku syair dan perhitungan milik Shofiya. Lagi-lagi Musa bersyukur karena Allah telah menempatkan orang-orang terbaik untuk mendampinginya.

Di tengah perjalanan menuju ruang pertemuan, Musa melewati jembatan yang bermuara ke lorong-lorong istana. Masing-masing lorong mengarah ke ruangan-ruangan penting seperti ruang rapat, ruang sidang, masjid, dan dapur istana.

Di bawah jembatan, terdapat taman yang terhubung dengan tempat Sang Raja berlatih pedang, kemudian lurus menuju puri ratu, ruang keputrian, dan kamar para wanita penghuni istana.

Ketika menuruni tangga dan memasuki lorong menuju ruang rapat, di kanan koridor terdapat lorong menuju ruang singgah tamu-tamu kerajaan.

Langkah Musa terhenti. Ia teringat bahwa semalam, sang ibu berkata bahwa Shofiya akan menyambut istri-istri dan putri para bangsawan dengan membagikan pengetahuan tentang membuat ramuan kecantikan khas Zaira. Dan seketika Musa mendapatkan jawaban mengapa Shofiya tidak bersamanya di ruang belajar sejak tadi.

Sebagian dari diri Musa ingin berbelok dan menengok bagaimana Shofiya membagikan ilmunya. Sesuatu yang selama ini dikagumi Musa.

Shofiya yang cerdas dan suka sekali berbagi. Bahkan, saat mereka masih kecil dulu. Shofiya yang suka sekali membaca lebih dulu menguasai sejarah peradaban Islam di tanah mereka dibandingkan teman-teman seusianya. Musa tidak memungkiri bahwa banyak kisah-kisah kepahlawanan raja, ratu, dan panglima Zaira terdahulu yang ia dapat dari Shofiya, bukan dari membaca.

Kamu akan menyukai ini

          

Lalu lalang pengawal dan dayang istana membuat Musa mengesampingkan keinginannya. Ia teringat dengan salah satu pemimpin wilayah yang baru saja ia takhlukkan, menunggu di ruang pertemuan. Dengan sebersit kekecewaan yang tidak biasanya timbul, Musa memilih melangkah menemui tamunya.

****

Setibanya Musa di ruang pertemuan, seluruh penasihat, menteri, panglima, serta pengawal berdiri untuk memberi hormat.

"Apa yang membawamu kemari, Pangeran Salman? Bukankah penjagaan diperketat sampai Malik selaku panglimaku menyampaikan kesepakatan yang selanjutnya?"

Pangeran Salman memberi salam dengan menangkupkan kedua telapak tangannya.

"Aku menghormati perjanjian kita. Kedatanganku kemari bukan soal itu. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang merupakan kewajibanku sebagai seorang kakak," ujarnya.

Dahi Musa berkerut. "Kakak?"

"Ya, aku kakak dari Putri Arinda, yang semalam, calon suaminya wafat karena sabetan pedangmu tempoh hari."

Seketika keheningan merangkul dimensi Musa dan Salman. Mata keduanya bertemu, saling menelusuri celah masing-masing.

"Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya," Kalimat Musa langsung diamini oleh seluruh peserta pertemuan.

"Aku ingin mengajukan permintaan, atau mungkin bisa kau pertimbangkan sebagai sambutan damai dari Graha."

Jantung Musa mulai mempercepat denyutnya. Suatu perkiraan mengusik pikirannya. Bahkan, nyaris menggugah rasa takut yang selama ini tertidur dalam dirinya.

Sebelum Musa berkata lagi, sambil menekuk lututnya, Salman memohon dengan lirih.

"Tolong nikahi adikku ...." Salman mendongak. "Karena di Graha ..., tidak ada yang mau menikahi wanita yang sudah sempat ditunangkan dengan lelaki lain," imbuhnya.

Kalimat itu menyengat nadi. Menyeret Musa pada kenyataan bahwa gemilang kemenangan membawa serta harga yang harus ia bayar. Bahwa menjadi raja memang tak semudah itu, tak semudah mengayunkan pedang, dan permohonan ini seolah pagi yang membangunkannya dari mimpi.

Pagi itu, keping bahagia dalam hati sang raja runtuh. Keberhasilannya dalam menundukkan musuh ayahnya, kenyamanan yang baru saja diperolehnya saat kembali pada sang ibu, dan perubahan Shofiya setelah ia pulang.

Seharusnya ia tahu, tidak ada siapa pun di dunia ini yang berhak merasakan luapan bahagia sebesar itu dalam waktu lama, apalagi dirinya.

Pangeran Salman dan rombongannya menolak singgah terlalu lama di Zaira. Mereka pulang berbekal harapan atas jawaban raja.

Kini, tinggal lah Musa dengan keputusan yang ia ambil. Sebuah keputusan yang ia bawa sampai matahari senja mengintip sebelum benar-benar ditelan gelap untuk mengingatkannya bahwa hari akan segera berakhir.

Tepat setelah memimpin sholat Maghrib, Musa menemui sang ibu dalam ruangannya. Musa melepas alas kakinya sebelum memasuki ruangan sebagai bentuk penghormatan.

Ruangan ibu suri tampak lengang. Dulu, kamar ini menjadi tempat perlindungan paling kokoh bagi Musa setiap kali ia menghindar dari kejaran Paman Husain atau gurunya. Tidak ada yang berani menembus kamar permaisuri, pikirnya.

Sang ibu menyadari kedatangan putranya. Beliau bahkan bisa membaca kegelisahan yang terpancar dari wajahnya.

"Dia tidak bersalah. Hanya gadis malang yang menanggung derita peperangan. Akan sangat biadab jika aku menolak menikahinya, Bu," ucap Musa frustasi setelah menceritakan masalahnya kepada ibunya.

Dan seperti bocah yang dilanda ketakutan, ia mondar-mandir tidak karuan di hadapan ibunya.

"Kau harus bicara dengan Shofiya. Dia selalu bisa membaca situasi. Ibu yakin dia sudah tahu soal ini," kata ibu suri. Tangannya masih terus menggulirkan butiran-butiran tasbih. Di bawah cahaya penerangan, tampak raut wajah tegasnya yang tak pernah terenggut usia.

Musa tersenyum. Senyuman yang lebih mirip ungkapan pasrah. "Itu yang kutakutkan, aku belum siap melihat reaksinya."

"Lepas mahkotamu dan bicaralah seperti kalian kecil dulu," ujar sang Ibu.

Musa menatap mata ibunya, meminta restu dari sana. Tidak ada cara lain. Ia harus bicara dengan Shofiya. Setelah mengambil napas panjang, Musa mengangguk kemudian pamit untuk undur diri dari hadapan ibundanya.

"Musa," panggil sang ibu. "Jangan buat dia menangis!"

Musa menelan kalimat itu susah payah. Ia bahkan tidak tahu apakah dia punya kuasa untuk memenuhi permintaan itu.

-------------------------- to be continued

-------------------------- to be continued

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.
RAJA, RATU & SELIMUT DEBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang