Sang Fatamorgana

72 3 0
                                    

Namaku Reina, aku suka coklat panas dan tidak suka hujan. Bagi sebagian orang, hujan membawa kebahagiaan. Tapi bagiku tidak, hujan membuatku harus repot-repot memakai jas hujan atau menarik selimut tebal-tebal. Karena jujur, dinginnya hujan aku tidak suka.

Cukup tentang aku, mari kuperkenalkan dengan Gana. Galvaro Narendra nama panjangnya. Kuakui, dia cukup tampan, tubuh tinggi dan dada bidangnya cocok dengan hobi dia yang suka bermain basket. Jangan berpikir macam-macam, kami hanya teman dekat. Walau aku berpikir lebih pun rasanya Gana sangat mustahil untuk berpikiran yang sama, dia terlalu kaku dan cuek.

Sikapnya memang dingin ke semua orang. Bahkan, berteman 12 tahun dengan dia tidak meredakan kadar dingin dari sikap dia ke aku. Untung aku sabar, Gana.

Gana memang dingin, tapi bukan berarti tak peduli. Gana yang tiap hari rajin antar jemput aku ke sekolah, yang rela gak ikut tanding basket demi nganter aku yang lagi sakit, dan bodohnya Reina yang lupa bawa topi waktu upacara, Gana selalu rela minjemin topinya walau akhirnya dia yang dihukum. 

Bahkan, beda kelas gak jadi penghalang kami untuk dekat.

Jika kalian berpikir aku naif dengan mengatakan tidak menaruh hati sedikitpun pada Gana, mungkin ada benarnya. Ada yang bilang pertemanan diantara lawan jenis tidak mungkin tidak menimbulkan rasa, mungkin ada benarnya. Aku tidak suka dinginnya hujan, tetapi di dekat Gana yang sedingin itu malah membuat aku merasa hangat. Ada apa ini?

Ternyata, aku memang berharap lebih.

Nyatanya, Reina memang menginginkan Gana.

Pertanyaannya, apa aku sedang berjuang sendirian?

.

.

.

"Reina!" sapa Gana dari tepi lapangan.

Tak seperti biasanya, aku memilih pura-pura tidak dengar dan tetap berjalan. Iya, aku memilih menjauh atau lebih tepatnya mencoba. Bahkan, tadi pagi aku memilih berangkat sekolah sendiri. Tak seperti biasanya yang selalu bergantung pada Gana. 

Gana. Gana. Gana. Bagi Reina, kehadiran Gana sudah seperti 'titik' pada sebuah cerita, kehadirannya sangat diperlukan dan memang selalu ada.

Menjauh memang salah, tapi setidaknya itu memberiku ruang dan jeda. Sebab di dekatnya, rasanya jantung ini berpacu puluhan kali lebih cepat dari manusia normal.

Sudah puluhan kali pula aku mengabaikan telepon dari Gana, membalas dengan singkat semua pesan masuk darinya, dan selalu menghindar setiap bertemu Gana di sekolah. Jujur, ini menyiksa. Tapi kelihatannya tetap lebih baik daripada aku harus tetap dekat dengannya dengan berpura-pura tegar, padahal sedang berusaha memupuk dalam-dalam rasa yang selalu ingin naik ke permukaan.

Sudah 1 minggu mencoba, tapi tetap tak mengubah rasa apapun. Aku tetap mengharapkan Gana. Reina tetap menginginkan Gana! walau aku tau memilikinya hanya suatu ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. Kenapa? karena kamu, hanyalah semu! wahai Gana, sang Fatamorgana.

.

.

.

"Selamat ulang tahun, Reina!" ucapan satu kelas itu sukses ciptaka rasa haru. 

Terlalu memikirkan Gana membuat aku lupa bahwa ini hari ulag tahunku. Setelah berhari-hari dibuat penat, setidaknya hari ini aku bisa bernapas.

"Cie tua, mana nih pasangan hidupnya Reina yang kemana mana selalu berdua udah kayak sendal swallow?" gurau Mira,

"Gana cuma sahabat, Ra!" jawabku yang sedikit kesal.

"Tapi akhir-akhir ini aku lihat kalian jarang bareng lagi, lagi berantem ya?"

FatamorganaWhere stories live. Discover now