Sudah berkali-kali Leya membasuh muka di depan cermin kamar mandi, namun semu hitam di bawah matanya tidak kunjung memudar. Wajah lelah akibat begadang juga tidak berencana hilang. Ia sudah sepenuhnya sadar dari pengaruh minuman semalam, penglihatannya juga sudah jelas. Sesaat ketika beranjak dari kamar mandi, ia terhentak selangkah ke belakang, ketika di sana sudah ada Algi.
"Aduh Algi ngagetin !" Leya agak meringis setelah bau alkohol belum hilang juga dari badan pemuda itu.
Algi nyengir kuda. "Maaf,"
Kemudian, pintu kamar Kian terbuka. Pemuda itu secepat kilat menubruk dua orang di depan kamar mandi, lalu menjorokan kepala ke closet duduk.
Seketika, Leya dan Algi mendengar suara seisi perut keluar dengan sangat lancar. Tak lama, Dendra, Tevi, serta Fariz bersamaan keluar kamar. Seolah suara muntah Kian menular, mereka mendadak berebut ingin mendapat giliran setelah Kian.Dari lantai satu, Kak Nesa sudah berteriak hingga tenggorokan serak, untuk menyuruh Kian, Leya dan yang lain makan. Setelah berhasil membuat mereka turun, Kak Nesa heran tak ada satupun yang terlihat punya nyawa.
"Ini kapan dibersihinnya ?" Kian beralih. Ia mendapati peralatan ikan panggang sudah bersih tidak terpampang lagi, ceceran makanan dan cemilan yang semalam dia dan teman-teman tinggalkan juga tidak ada di sana. Lantai satu seperti ruangan baru."Tadi pagi, sama Mang Dadang," Kak Ado menjawab. Mang Dadang ini, orang Bandung yang sudah setia menjaga Villa enam tahun belakangan.
Kian, Leya, disusul teman-teman berhambur ke meja makan.
"Kalian semalam habis kerja rodi ya? Dibangunin sarapan, nggak ada yang turun. Kita tinggal jalan-jalan sampai siang, belum juga pada bangun. Ini udah sore, jam delapan pesta mulai lho," Kak Nesa geleng-geleng, tak habis pikir mengapa acara bakar-bakar bisa menyita begitu banyak tenaga muda-mudi di depannya.Tidak ada yang berniat merespon, takut salah kata, takut bikin curiga.
"Nanti kita ke venue duluan. Ayah Bunda langsung kesana untuk persiapan. Kalian nyusul jam tujuh aja," Kak Ado memerintah.
"Di kamar kakak ada baju buat kalian, nanti Kian ambil ya," ujar Kak Nesa, yang semalam pulang larut karena keliling mencari setelan dan gaun untuk Kian dan teman-temannya.
"Makasih Kaaak," mereka menjawab serentak.
*
"Yaaaa," Kian berteriak dari ruang televisi lantai bawah. Di sana sudah ada Algi, Fariz dan Dendra, lengkap dengan balutan jas dan tuxedo.
"Bentaaar ! Tevi lagi catokan," seru Leya dari lantai atas yang notabene dari sejam lalu, jawabannya hanya ia ganti nama. Sebelum Tevi, Runa yang kata dia masih sibuk memoles wajah.Sesaat ketika Kian akan bangkit meniliki apa yang sedang terjadi di lantai atas, Leya turun dari tangga, diikuti oleh Runa, Vane, dan Tevi di belakangnya. Ada tiga pemuda di sana yang tersenyum tipis, untuk beberapa detik terpaku pada Leya yang mengenakan dress merah selutut, dan rambutnya ia biarkan tergerai bebas.
"Cantik," suara Algi agak lirih, tapi Kian mendengarnya. Melihat sorot tajam mata Algi ke Leya, dan senyumnya yang tidak kunjung usai, Kian teringat adegan di lapangan ketika mengajak Algi tour keliling sekolah, ia secara gamblang mengatakan bahwa sebentar lagi pemuda itu juga akan suka kepada Leya. Dan sekarang, Kian membatin. Udah, ternyata.
*
Semua girang ketika sampai di tempat pesta. Sebuah Villa kayu tiga lantai, berukuran megah di tengah danau, yang untuk kesana perlu melewati jembatan lima puluh meter panjangnya. Lampu dan bunga bertebaran di sepanjang jembatan dan sekeliling Villa, membuat pemandangan malam jadi begitu mempesona. Tamu-tamu sudah mengantri untuk menunjukan undangan kepada penjaga meja di pintu masuk, mereka juga langsung diberi souvenir berupa kotak yang Tevi belum tahu isinya. Tema pesta sepertinya semi formal, karena tidak ada yang berpenampilan biasa-biasa saja, tapi juga tidak ada yang heboh seperti akan melewati red carpet di acara penghargaan. Ia kira, akan ada pesta biasa, sekedar menyalurkan kegembiraan atas kehamilan Kak Nesa. Tapi yang di hadapannya justru lebih mirip ajang kawinan.
"Pantes Kak Nesa survey tempat doang sampai pulang tengah malam," Dendra nyeletuk, ia seperti menjawab pemikiran Tevi yang tidak disuarakan.
Mereka turun di parkiran, dan mulai menikmati setiap langkah di jembatan. Kecuali Kian dan Leya, satu persatu menunjukan undangan yang untung tidak mereka lupakan untuk dibawa.
Di dalam Villa, mereka disambut oleh Kak Nesa dan Kak Ado yang melihat mereka datang ketika sibuk menyapa tamu lain.
"Kian, Leya !" mereka menghampiri Kak Nesa yang terus melambai-lambai.
Satu persatu dipeluk Kak Nesa, lalu Kak Nesa menggeret Leya agak menjauh dari kerumunan. Kian hendak membuntut, tapi keburu disuruh Kak Ado menghampiri Ayah dan Bunda sekalian menyapa rekan-rekannya.
Tevi menggeret Runa dan Vane untuk melahap berbagai jenis makanan yang disediakan. Dendra tanpa disuruh, ikut menggeret Algi dan Fariz untuk membeo para gadis.
Salah satu pria setengah botak memajukan kursi ketika Kian sudah duduk bergabung, "Gimana kabar, Ian ?"
Kian merenges, "Baik Om,"
"Makin ganteng aja kamu, udah punya pacar belum ?" wanita seumuran Bunda menimpali.
"Belum Tante," jawabnya.
"Bohong, banyak dia tuh pacarnya. Kayak gue dulu," Ayah ngebanyol. Seisi meja tertawa, lalu melirih ketika perhatian mereka disita Kak Nesa dan Kak Ado yang naik ke atas panggung kecil yang disulap sedemikian rupa. Tangan Ayah Hadi sudah menyatu dengan tangan Bunda. Sedangkan Kian fokus dengan apa yang akan Kak Nesa dan Kak Ado sampaikan.
Setelah basa-basi pembukaan dengan mengucap terima kasih kepada mereka yang ada di ruangan, Kak Ado menarik napas sebentar sebelum melontarkan kalimat lanjutan.
"Ada dua maksud, kenapa pesta ini diadakan. Yang pertama, saya beserta keluarga, dengan hati yang sangat berbahagia ingin mengumumkan berita gembira. Bahwa Lanesa Haditoro, istri saya, sedang mengandung anak pertama,"
Seraya ruangan ramai, Bunda sudah berkaca-kaca, Ayah mengelus pundaknya pelan. Sedangkan Kian masih tidak bisa membayangkan ia akan punya keponakan.
"Lalu yang kedua . . " dengan sekejap sebelum Kak Ado melanjutkan, semua lampu padam. Suasana tentu jadi sedikit ribut. Kemudian di atas panggung, ada satu lampu sorot yang menerjang seseorang di bawahnya. Bukan Kak Nesa, Bukan Kak Ado, karena mereka sudah lenyap dari sana.
Kaleya Asagi sedang tersenyum bersiap menyambung kalimat Kak Ado, "Yang kedua, hari ini Villa yang sedang kita tempati, akan resmi jadi kepemilikan putra bungsu Bapak Hadi . . " Leya mencari Kian dengan matanya, "Kiandanu Haditoro,"
Kian menyembunyikan kebingungannya dengan berusaha memasang ekspresi sedatar mungkin. Ia mengangkat alis tanda bertanya kepada Ayah dan Bunda.
Ayah mendekat ke telinga Kian, "Waktu Kak Ado sampai di Indonesia, dia langsung transaksi beli Villa ini,"
"Buat apa ?" Kian masih tidak mengerti.
"Soalnya sebentar lagi dia mau ngajak orang tuanya pindah ke Villa keluarga kita, buat bantu ngurus Kak Nesa. Kak Ado nggak mau hidup di Jakarta," lanjut Ayah.
"Tuh, kamu cari istri yang kayak suami Kakakmu, peduli ke pasangan sampai polusi aja nggak boleh dekat-dekat," Bunda menyambar. Ayah terkekeh lirih.
Tentu saja Kian akan risih kalau sedang berlibur ke Bandung, harus seatap dengan mertua Kak Nesa. Apalagi, pikiran penat sedikit, Kian akan langsung lari kesana. Kian kemudian merenges, ia tidak ada masalah dengan Villa yang baru. Ia juga suka dengan Kakak Ipar yang sungguh peka. Lalu perhatian pemuda itu ditarik paksa oleh denting piano dari arah panggung. Kian dan Algi tahu betul jari siapa yang memainkan. Sementara untuk Fariz, Vane, bahkan Tevi dan Runa, pertama kalinya tahu bahwa Leya mahir bermain nada.
Di panggung, Leya sangat bercahaya, lantunan setiap melodinya seirama dengan wajah yang mempesona. Kemudian melodi itu berhenti. Leya meraih mic, dan mulai menyuarakan lirik. Ujung bibir Kian terangkat, mendapati seluruh tamu undangan terpaku ke arah Leya. Satu lagu usai, Leya turun dari panggung diiringi tepuk tangan.
Kian dengan cepat memburu gadis itu, yang terlihat langsung keluar dari ruangan, menuju jembatan.
Itu kali pertama Leya mau bermain piano di hadapan orang banyak, dan Kian tahu pasti Kak Nesa yang sudah membujuknya supaya setuju, ia juga tahu kalau Leya pasti merasa terganggu. Sejak dulu Leya memang selalu kaku kalau jadi pusat perhatian, mungkin itu salah satunya ia memilih jadi sedikit pendiam.
Langkah kaki Kian terhenti ketika Leya sudah ada yang menemani. Ada sesuatu yang aneh di dada pemuda itu, ketika menyaksikan gelak tawa Leya dengan pemuda di sampingnya. Tawa itu tidak pernah Leya berikan kepada semua yang pernah jadi pacarnya. Tawa itu seharusnya hanya milik Kian. Tapi kenapa Algi juga mendapatkannya ?
***