17. Hatinya Buat Aku Aja

121 20 4
                                    

     "Nis, bangun!" ucapnya sambil menggoyangkan tubuh Anisa.

     Ia berhenti dan memarkirkan motor di dekat tiang lampu. Rasa pusing di kepala membuat pandangannya kabur. Ia berulang kali mengerjap, tetapi rasa sakit itu membuat tubuhnya lemas.

     "Bangun, cantik...."

     Andrea meraih tubuh Anisa dan duduk di samping trotoar. Kepala gadis itu ia senderkan pada bahu. Senyumnya terukir, kemudian menutup mata merasakan sensasinya. Kapan lagi bisa seperti itu?

     Jalanan yang sepi hanya memunculkan satu kendaraan tiap jamnya. Tidak ada seorang pun yang mau menolong. Mungkin mereka takut itu adalah akal-akalan para begal.

     Angin malam berhembus kencang memaksa awan hitam menjauh. Beberapa helai rambut Anisa terbang hingga masuk ke dalam mulut Andrea. Anehnya, laki-laki itu tidak terbangun dan malah nyenyak dengan rambut yang ia kira adalah tangan Anisa, dalam mimpinya, gadis itu sedang memberikan suapan terakhir mi lidi.

     "Argh," desahnya.

     Anisa menarik rambutnya yang masuk ke dalam mulut Andrea. Rasanya sakit sekali, seperti dijambak.

     "Kamu, ih... Bangun, dong!" Anisa menyingkirkan tubuh Andrea, tetapi laki-laki itu malah semakin lengket.

     Anisa memegang keningnya yang masih berdenyut. Kedua matanya menyeret sekitar, memastikan bahwa ada orang lain yang bisa menolong.

     Ia berdiri tertatih-tatih. Hujan saat itu sudah sedikit mereda. Hanya ada beberapa tetesan kecil yang cukup menganggu. Perlahan Andrea digusur dan dinaikan untuk duduk di jok motor.

     "Ini cowok berat banget sih!"

     Anisa menepuk kedua telapak tangan setelah berhasil membuat Andrea duduk di motor. Ia naik dan mulai menyalakan sepeda motornya.

     Napasnya tertarik sebentar. "Sama kayak naik motor, kan. Bissmillah!" Ia beringsut pergi, tetapi melupakan satu hal—standar yang tidak dinaikkan.

     Andrea yang masih lemas hanya mengikuti alur. Tubuh Anisa ke depan, ia juga ikut ke depan. Hingga tidak disadari, kepalanya berulang kali menempel pada punggung Anisa.

     "Ih, nempel -nempel lagi!" Ia mendelik. "Awas aja kalau nanti udah bangun."

     Ia cemberut. Menarik gas dan tidak pernah memedulikan standar yang masih belum naik. Sedangkan di depan terdapat polisi tidur. Anisa panik, ia tidak sempat mengerem hingga akhirnya keduanya terlempar dari atas motor.

     "Adih, sakit banget," kata Anisa sambil memegangi tangannya yang memar.

     Andrea terbangun. Ia memegang kepalanya yang masih berdenyut. Tubuhnya semakin melemas. Ia tidak dapat berdiri, bahkan menatap Anisa lama-lama pun tak bisa.

     Anisa berjalan mendekati Andrea. Ia menggusur laki-laki itu ke samping pohon. "Maaf, bukannya aku tega. Tapi kamu gak boleh masuk, nanti Papah marah."

     Anisa membuka gerbang rumahnya dan segera menghampiri pintu. Ia diam lalu menoleh ke arah Andrea.

     "Tapi kasian," batinnya.

     Tanpa pikir lama ia segera menemui Andrea dan menggusur tubuh Andrea ke dalam rumah. Gerbang yang tadi terbuka kini ditutup setelah sepeda motor dimasukkan.

     Anisa mendudukkan Andrea di kursi teras. Ia berlari mengambil kotak P3K di bawah tangga, lalu kembali lagi duduk di samping Andrea.

     Ia membasahi kain dengan air dan mengelapnya pada luka di kening Andrea. Ia juga membasahi kapas dengan alkohol dan melakukan perban untuk menutup lukanya.

MENITI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang