Di Mulai dengan Air Mata

40 5 0
                                    

Betapa bahagianya aku, bersenda gurau, bercanda tawa bersama mereka, sampai terbahak-bahak dibuatnya. Menjadi sebuah tradisi dimana kepulangan selalu di iringi tawa. Sakit perut, lemas, hingga tak bisa berbuat apa-apa hanya karena tertawa. Sungguh indah.

Hari itu, dimana aku merasa tidak terlalu bahagia. Sekelilingku tidak menghiraukan, karena tidak terlihat dalam raut wajahku. Mereka beranggapan bahwa aku sama, seperti mereka. Jauh dalam hati ini terdapat pertanyaan yang mungkin belum bisa terjawab. Merasa ingin bahagia, namun hati kecil menolak. Iya, menolak.

Dari jauh, wajah itu terasa tidak asing. Seperti pernah melihatnya. Penasaran, aku mendekatinya perlahan. Dia seperti ingin menghampiriku, pergerakan kakinya cepat, namun terlihat lemas. Aku tercengang dan berdiam tak bergerak. Terkejut melihat siapa yang tiba-tiba datang. Heran, untuk apa dia menemuiku. Ketika ingin memalingkan wajah, dia tetap melaju dengan sekuat tenaga untuk menghampiriku. Terlihat, raut wajah yang seperti ingin menyampaikan sesuatu padaku. Hatiku berpacu kencang tak beralasan. Aneh! Untuk pertama kalinya aku merasa hal seperti ini terjadi.

Aku masih merasa bingung dengan apa yang akan terjadi. Saat aku hendak melontarkan pertanyaan, dengan sangat terpaksa, dia menjatuhkan badannya seraya memelukku, dan berbisik "bantu aku!"
Seketika jantungku seperti ingin meledak, air mataku jatuh tanpa terkendali, aku bingung apa yang telah terjadi, semakin lama semakin erat pelukannya. Aku merasa dia sangat kesakitan hingga tak bisa berbuat banyak.

Tak sengaja aku menjatuhkan cup coklat yang berada di tanganku, mataku dengan respect melihat ke arah jatuhnya. Terlihat jelas, darah itu membanjiri rok yang ku pakai. Aku merasa tak karuan, tak tau apa yang harus dilakukan. Aku tak bisa menanyakan apa - apa dalam kondisi itu. Tanganku, bajuku, semuanya darah. Aku menangis seraya berkata "bertahanlah!"

Gedung itu menjadi saksi, saat dia datang bersama darah itu. Untuk pertama kalinya, aku merasa sangat sakit saat melewati gedung yang dulu selalu menjadi tempat ternyaman untukku. Di depan gedung itu, dia membuatku tertawa, dan di depan gedung itu juga, dia membuatku membencinya.

Dark Chocolate Where stories live. Discover now