Bagian 1

19 1 0
                                    

Aku melepas kacamata bingkai hitamku. Lelah menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan aku mengambil obat penghilang pegal, membuka tutupnya, lalu tanpa berpikir panjang aku menelan obat itu, menyisakkan rasa pahit di kerongkongan.

Namun beberapa saat kemudian,

BRAAAAKKKKKK!

"Dasar anak tak tahu diuntung!"
"Kau pikir ini rumahmu hah?!??!"
"Kau bahkan tidak lebih layak dari sampah daur ulang."

Orang itu menarik rambut hitamku terus menerus. Ia menamparku dengan buku catatan kesayanganku, merobeknya hingga menjadi kepingan. Ia Memukul tubuhku yang sudah pegal. Ini menambah rasa sakit. Aku tidak bisa teriak, Bibirku kelu. Obatku berserakan dilantai, aromanya menyeruak dikamarku.

Orang itu terus memukulku dengan benda-benda yang ada disekelilingnya.

Tolong hentikan, ini sakit.

Aku tak bisa berteriak. Ini terlalu sakit, bibirku menjadi kaku karnanya.

"Jangan lupa membersihkan dapur dan ruang tamu! Ingat! Seharusnya kamu bersyukur terlahir di dunia ini."

Iya, sepertinya terlahir ke dunia ini saja sudah sangat bersyukur.

Orang itu lagi-lagi menarik rambutku. Membenturkannya ke ujung meja.

BRAKK!

Ini sungguhan sakit.

Benturan itu tepat mengenai kepalaku. Darah mengalir deras.

tess
tess
tess

Tetesannya masih terdengar,
Sakit. Mendengarnya membuatku sakit, apalagi menyadari bahwa itu darah yang ada di kepalaku.

Kenapa semuanya gelap?

Aroma obat penghilang pegal samar-samar mulai menghilang dari indra penciuman.

🌻

SchizopherniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang