10

18 10 3
                                    

Malam ini begitu dingin, seakan angin malam siap memberikan kesan beku pada saraf dan menusuk tulang hingga ngilu. Dingin, tenang, sepi dan lenyap.

Inilah malam malam yang selalu ku habiskan setiap harinya. Berdiam diri dikamar, membungkus diri dengan selimut putih tebal.

Aku butuh lebih, bukan hanya sekedar selimut putih sutra yang membungkus ku hangat. Bahkan hangatnya tak menenangkan. Aku butuh lebih dari selimut ini, aku butuh pelukan.

Merindukan sebuah pelukan, aku butuh. Pelukan yang sangat menenagkan jiwa. Pelukan eomma.

Kepalaku berdenyut layaknya nadi yang mengalir darah di dalamnya. Anehnya, aku merasa semua saraf ikut bergetar. Otakku seperti jungkir balik saat dialog konyol itu terus saja melintas tanpa aturan.

Aneh ya, akhir akhir ini aku sering sakit kepala. Dengan gusar aku menarik kasar rambut rambut panjangku tanpa keluh, berharap rasa sakitnya berkurang.

Keringat pelan pelan bermunculan di area kulit kepala hal itu serentak dengan sakit yang semakin menjadi jadi di dalam kepalaku. Tak segan segan aku memukul kepalaku frustasi.

Sakit ini sulit dalam jangkauan ku. Aku bisa menahan sakit seperti dulu, tapi tidak sekarang. Kamar terasa sesak olehku. Nafasku tercekat seakan kehabisan oksigen. Oksigen seakan enggan dihirup olehku.

Aku merindukan eomma. Appa terlalu sibuk dengan urusannya. Kehilangan eomma bukan lah hal yang tepat untuk keadaan ku yang sepi.

Aku menatap lurus kedepan, tepatnya ke arah jendela kamar. Suasana kamarku damai, tapi tidak denganku.

Aku mengambil gerakan paksa. Berjalan gontai keluar kamar mencari segelas air. Aku harap air masih mau bercengkrama dengan tenggorokan ku yang tiba tiba tandus.

Lampu dapur terlihat suram. Ah mungkin saja pembantuku sudah terlelap. Aku seperti orang gila dengan rambut seperti singa dan kulit sepucat mayat.

Tanganku bergerak membuka lemari es dengan lemas, memperhatikan isinya dengan teliti, mencari sebuah susu segar yang tersisa.

"Appa ingin menikah lagi, bagaimana?"

Aku tercekat, seakan baru saja dimantrai agar lumpuh seketika. Sensasi hangat dingin terus kurasakan di dalam tubuh saat kalimat pengundang kematian itu tiba tiba menampakkan dirinya.

Aku mencoba mengabaikan perkataan apa tadi sore. Biarku beritahu sedikit, sepulang makan siang bersama Hanseol saem, appa mengejutkanku dengan pertanyaannya.

"Appa ingin menikah lagi, bagaimana?"

Aku benar benar tidak bisa mengerti, bagaimana bisa appa bertanya seakan kematian istrinya sudah berpuluh puluh tahun?

Tersadar, aku segera mengambil kotak susu. Mataku bergerak mencari gelas biar ku tuangkan susu ke dalamnya.

Tepat ditengah meja makan, deretan gelas kaca berbaris rapi menunggu digunakan. Aku mengambilnya acak. Kulitku bersentuhan dengan gelas kaca itu, dingin, sedingin angin malam.

Aku memperhatikan gelas itu. Dalam sepinya malam aku larut saat gelas kaca itu menarik seluruh perhatianku. Memperhatikan biasan cahaya lampu pada permukaannya yang licin.

Aku tersenyum penuh arti. Sebuah memori muncul tiba tiba tanpa di undang. Bagaikan rangkaian film yang tak sabar untuk di tonton.

╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗

   
  Flashback

Dua orang itu berbicara empat mata, duduk di ruang makan dengan tegang dalam satu frame. Awalnya hanya berbicara, kemudian tak segan melontarkan tatapan dingin.

Ending SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang