1 - Renjana

1.2K 18 2
                                    

Depok, 1 Maret 2014

Belum ada kata 'apa kabar' atau sekadar 'hai' yang terucap dari kamu maupun aku, yang menandakan bahwa percakapan kita harus segera dimulai. Seolah ada kekuatan lain yang hadir, memaksa kita untuk bungkam. Kamu, yang biasa berekspresi ini-itu tanpa ragu, mengapa tak bicara lebih dulu? Dan aku, mengapa aku mendadak gagu?

Aku menangkap pesan dari ekspresi itu, sinyal serupa yang coba kita pancarkan dengan gelombang masing-masing: kita sama-sama tak tahu jawabnya apa.

Tiga menit berlalu. Seratus delapan puluh detik yang kita habiskan dengan mulut terkunci, dan entah kenapa kita masih betah di sini. Aku sendiri masih nyaman dengan kamu yang diam. Kali ini, tiada resah atau gundah yang bisa jadi alasan untuk pergi duluan.

"Kamu masih rajin nulis, Dek?"

Kebisuan yang telah kita bangun akhirnya pecah oleh kalimat tanya yang begitu terkesan dibuat-buat. Siapa pun tahu itu. Seperti memang disiapkan untuk sekadar memulai percakapan, karena bukan itu yang benar-benar ingin kamu ucapkan. Lima tahun sejak kepergianmu, ini kali pertama aku mendengar lagi suara itu. Ternyata, tak banyak berubah. Nada suaramu tak jauh berbeda dengan lima tahun yang lalu, hanya saja terdengar sedikit ragu.

Kamu lantas menatapku, tepat di bola mata. Tatapan teduh itu seolah mengulangi pertanyaanmu yang belum juga kujawab.

Tampaknya, kamu mulai terbiasa dengan suasana ini. Sedang aku masih saja canggung.

"Masih." Akhirnya, keluar juga suara dari mulutku. "Dua bukuku udah terbit. Besok siang, rencananya bakal ada launching buku ketiga. Kumpulan prosa-prosa, kayak yang dulu sering ditulis di blog."

Aku menjawab sambil melengkungkan bibir, senyum yang juga dibuat-buat. Entah kamu masih ingat atau tidak tentang blog dan tulisan-tulisanku. Seberapa berkesan pun kenangan kita waktu itu, lima tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk melupakannya. Bahkan, barangkali lebih dari cukup.

"Hebat ya, udah kukira. Itu mimpi kamu dari dulu, kan? Menginspirasi orang lewat tulisan. Udah lama kayaknya aku enggak mampir ke blog kamu, Dek. Masih yang lama?"

Sudah kuduga. Kamu pasti sudah melupakannya.

"Masih Kak, cuma sekarang ganti dot com. Udah hampir nerbitin tiga buku, agak kurang nyaman kalau masih pakai domain Wordpress."

Kamu tersenyum. Sepertinya yang ini tulus.

Aku mulai terbiasa. Kukerahkan segala kemampuanku dalam bersandirwara untuk menyembunyikan kegugupan dan mencoba untuk lebih cair—jangan sampai aku terlihat canggung.

'Kak', sapaan itu kini terasa asing. Bukan hanya di lidah dan bibir, tapi juga dalam pikir. Kamu bukan lagi kakak kelasku. Sekarang kita sama. Sama-sama sudah lulus dan tentu saja sama-sama sudah tak kuliah. Hierarki senior-junior itu sudah sirna. Aku sekarang penulis, dan kau? Aku tak tahu apa aktivitasmu sekarang. Sudahlah, toh aku belum punya panggilan baru buatmu.

"Lima tahun enggak ketemu, ke mana aja Kak?"

Kalimat itu akhirnya meluncur juga. Pertanyaan yang sudah lima tahun tertahan, tersimpan dan terkunci rapat di bagian paling dalam dari memori otak yang biasa aku gunakan. Pertanyaan yang mungkin, bila kamu jawab, akan membuatku mengerti dengan keadaan yang kamu rasakan. Pertanyaan yang mungkin, bila kamu berterus terang, mampu merobohkan dinding prasangka yang telah terbangun sendirinya sejak lama. Berterus terang tentang nomor yang tiba-tiba tidak bisa dihubungi, tentang akun-akun yang mendadak hilang, dan semua informasi yang selama ini seolah kamu rahasiakan.

"Menurut kamu, aku ke mana?"

Kenapa kau balik bertanya?

"Ke Planet Mars mungkin, bosen hidup di bumi."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 07, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tuhan Maha RomantisWhere stories live. Discover now