CH.0

20 0 0
                                    

Jari jemari pemuda itu bergerak lincah di atas kedipan layar sebuah smartphone lebar. Lingkaran yang terus bermunculan diiringi alunan musik selalu tepat tersentuh olehnya. Meskipun lingkaran itu muncul dengan cepat, bagi matanya gerakan lingkaran itu sangat lambat. Tidak ada yang terlalu cepat bagi mata yang dapat melihat gerakan sayap seekor lalat.

Garis horizontal yang bergerak bolak balik sebagai penanda waktu untuk menyentuh lingkaran, berangsur-angsur menghilang bersamaan dengan suara musik yang berhenti terdengar. Game telah selesai.

Dia memegang smartphone itu dengan tangan kiri kurusnya, sementara tangan kanannya memijati tengkuk leher yang terbebani sedari tadi. Bunyi tulang yang bersinggungan terdengar saat ia mengayunkan kepalanya dari kiri ke kanan.

"wah high score lagii???"

Suara melengking yang ceria terdengar dari belakangnya. Pemuda itu menoleh dan mendapati seorang gadis berdiri di dekatnya. Pemuda itu mendesah sembari mengenakan kacamatanya. Suara hembusan nafasnya terdengar seakan-akan menunggu adalah pekerjaan yang berat.

"lama sekali, aku sampai bisa memainkan empat lagu berturut-turut..." ucap pemuda itu.

"harusnya mas Wir baca buku dengan waktu sebanyak itu, daripada main game," balas gadis itu. "tapi singgah swalayan dulu ya, Balqis mau beli sayur," sambungnya.

Wira tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang lelaki. Rambut hitamnya yang sedikit ikal terlihat agak kemerah-merahan seperti langit di kala senja. Tangan kirinya di masukkan ke saku celana, sementara tangan kanannya menjinjing sebuah tas berwarna hitam sewarna dengan sepatu yang membungkus kakinya.

Di sisinya, Balqis berjalan dengan riang. Rambutnya yang diikat ke belakang berayun mengikuti badannya. kedua tangannya menggenggam strap ransel biru yang berada di punggungnya. Dua buah hand protector yang digunakan dalam kegiatan ekstra kurikuler yang ia ikuti, sengaja digantung di ranselnya.

Mereka tiba di depan sebuah rumah kecil. Rumah itu terlihat mencolok dibanding rumah lain sekitarnya yang terlihat jauh lebih besar. Pintu teralis besi mengayun ke dalam saat di buka. Sebuah jembatan pendek bermotif kayu menghubungkan rumah itu dengan jalanan, yang dipisahkan oleh sebuah kolam ikan. Pada salah satu sisi kolam itu ada sebuah tanaman bonsai. Balqis melemparkan roti yang sudah dicuil kecil-kecil ke kolam itu saat Wira membuka pintu rumah mereka.

Wira meletakkan kantung berisi buah dan sayuran yang mereka beli di swalayan tadi ke atas meja kayu berbentuk lingkaran di ruangan tengah. Tanpa satupun kursi di dalamnya, ruangan 4 kali 5 meter jadi terasa lebih longgar. Ia duduk bersandar pada dinding yang berbatasan langsung dengan bagian luar rumah, menyalakan televisi yang berada di hadapannya.

"ganti baju dulu lah," tegur Balqis yang sudah mengganti seragamnya dengan baju rumahan berwarna biru.

Wira hanya bergumam sambil mengangkat tangannya malas. Balqis menuju ke dapur yang terlihat seperti bar dan menyatu dengan ruangan itu. Dengan cekatan dirinya menggunakan pisau untuk memotong sayuran yang tadi mereka beli. Tidak butuh waktu lama, sepanci sup hangat telah tersaji.

"kira-kira mama pulang jam berapa ya?" Tanya Balqis sembari memotong sebuah apel.

"rumah sakit sebesar itu pasti sibuk sekarang, lihat ada gedung terbakar tadi," jawab Wira sambil menunjuk arah televisi.

Balqis mengangguk mendengar penjelasan Wira. Mereka berdua tahu betul sesibuk apa ibu mereka yang berprofesi sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta terbesar di kota ini. Terlebih setelah ayah mereka gugur saat menjadi relawan ketika ada sebuah bencana, ibu mereka beberapa kali meminta lembur demi menaikkan gajinya, sedikit. Bahkan Wira ikut bekerja sambilan di sebuah kafe pada akhir pekan. Balqis sebenarnya ingin ikut membantu, namun Wira dan ibunya melarang, mengingat Balqis adalah salah satu siswi berprestasi yang sedikit lebih sibuk dibanding lainnya. Maka dari itu, ia selalu mempersiapkan untuk sarapan dan makan malam setiap harinya.

Tapi tetap saja raut muka Balqis terlihat sedih.

Perkiraan Wira meleset. Terdengar suara derik khas dari pintu kayu yang terbuka. Sesosok wanita yang tidak terlihat berusia pertengahan 40-an memasuki rumah itu. Nafasnya terdengar sedikit memburu. Melihat wajahnya yang hampir persis dengan Balqis, orang-orang dapat menebak secantik apa wanita ini semasa gadisnya dulu. Bahkan sisa-sisa kecantikan itu masih tertinggal padanya.

"loh, sudah pulang ma?" Tanya Balqis pada wanita itu.

"iya dong, kan hari ini spesial," Wanita itu mengiyakan sambil tersenyum.

Wanita itu mengeluarkan sebuah kotak putih kecil yang berisi kue tart dengan sebuah lilin di atasnya. Tanpa terasa mata Balqis berkaca-kaca, namun gadis itu menahan perasaannya sekuat mungkin. Ia bukan lagi seorang anak kecil. Hari ini ia tepat berusia 16 tahun. Ruangan 4 kali 5 meter itu kini menjadi ruangan dengan tingkat kebahagiaan yang hakiki. Balqis dalam hatinya berharap hal ini akan berlangsung selamanya.

Namun tidak ada yang tahu takdir esok hari.

Yayımlanan bölümlerin sonuna geldiniz.

⏰ Son güncelleme: Jan 08, 2019 ⏰

Yeni bölümlerden haberdar olmak için bu hikayeyi Kütüphanenize ekleyin!

Pandhurya : Anak-anak PandawaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin