11. Another Me

3.9K 353 15
                                    

Dukung cerita dengan meninggalkan vote serta komentar.

Playlist;

Eric_Nam_(에릭남)_-_그_밤_(The_Night)

***

Wanita berambut ikal itu termenung dengan sorotan kosong menatap hampa pemandangan dari luar kaca mobilnya, semilir angin memang bagian dari hal yang digemarinya, menunduk sembari tak hentinya memegangi pergelangan tangannya, ia perlahan mengembangkan senyum kecil. Ternyata.. begini toh rasanya tak dipandang aneh, sungguh membahagiakan dan terlihat beda juga. Baru kali ini wanita yang memiliki rambut berwarna pirang itu merasakan sensasi lega sebab tak ditatap dengan sorotan jijik oleh orang di luar lingkungannya.

Sekali lagi, wanita bermanik cokelat itu memandangi pergelangannya, lalu tak lama ia memberi usapan lembut di sana, bekas tarikan dari pria asing itu masih jelas terekam di kepala. Venus... merasa terharu. Apa dirinya sudah tak sekotor dulu?

"Kamu kenapa, sayang?" Venus tersentak, dengan segera ia melepas cengkeraman di tangan yang lainnya, memandangi seseorang yang mempunyai pengaruh besar di hidupnya berada tepat di sisinya, wanita pucat itu tersenyum sebab merasakan usapan lembut di kepala yang diberikan sang Bunda. "Ada masalah? kamu jangan banyak fikiran gitu ah, apa Venus gak suka ya kita pindah?"

Venus berkedip, sang Bunda terlihat tak nyaman melihat raut pucat yang semakin hari semakin terlihat dari wajah sang puteri. Memang, sejak insiden memalukan yang dialami anak satu-satunya empat tahun lalu, Arumi- wanita berusia sekitar tiga puluhan itu kini berubah protektif dan berusaha akan selalu ada untuk puteri kesayangannya itu, karena Arumi tak ingin gagal lagi menjaga permatanya, sudah cukup penderitaan yang dialami Venus yang bahkan tak tahu apa-apa itu, sumpah mati Arumi tak ingin Venus kembali sakit jiwanya lagi.

Karena.. demi Tuhan, Arumi yang lebih hancur jika harus lebih lama melihat Venus menderita dan tak pernah bergairah lagi menjalani hidupnya. Permata yang dulu ceria mengapa terlihat suram? Mengapa keluarga yang harmonis sejak dulu cepat sekali direnggut, Tuhan? Dan mengapa Venus yang bahkan kala itu masih berusia belia harus menerima tamparan keras dalam hidupnya.

Ini tidak adil. Benar-benar tak bisa diterima lapang oleh Arumi. Hukuman ini terlalu menjijikan jika harus diterima sang puteri. Arumi.. sudah sangat sakit hati.

"Venus mau kita gak usah pindah aj-"

"Aku seneng di sini." Potong Venus cepat, Arumi tertegun melihat netra kelam itu berubah binar seperti dulu. "Tadi aja ada yang enggak jijik megang aku, orang-orang di sini sepertinya baik-baik, Ma."

Venus menatap lurus ke depan, ia tersenyum bahagia. "Aku udah gak kotor lagi." Arumi menelan saliva, matanya terasa panas seketika. "Dia.. lucu orangnya. Cowok aneh, masa narik tangan aku sembarangan."

Dengan malu-malu Venus menutup wajah dengan ke dua tangannya, Arumi tersenyum seraya mengusap sayang surai puterinya. "Jadi, cowok itu siapa?"

Venus berkedip, sesaat tatapan binar itu kembali berubah kelam. Venus perlahan menunduk dalam, sepertinya kebahagiaan ini akan berakhir sia-sia. "Aku gak tau. Kita cuma gak sengaja ketemu tadi di Bandara."

Arumi tersenyum manis, sementara tangannya mulai mencari benda pintar di dalam tasnya. "Venus mau ketemu lagi sama dia?"

Menoleh dengan cepat, Venus berkedip polos menatap sang Bunda yang masih saja tersenyum hangat. "Emang bisa?"

"Bisa dong, sayang." Venus menyerengit. Terdengar mustahil untuk bisa bertemu dengan pria asing itu lagi. Venus saja yang tahu rupanya merasa ragu, tapi sang Bunda malah terlihat biasa saja menanganinya, seolah mencari pria itu mudah saja di tengah-tengah penduduk Bandung yang memang tidak diragukan sangatlah banyak isinya. Lagipula Bundanya'kan tak tahu rupa pria asing yang dijumpainya tadi seperti apa. Ahh, pasti ia hanya ingin menenangkan Venus saja.

Menyebalkan.

"Tadi Mama udah suruh orang, buat cari tau tentang sosok yang udah buat anak kesayangan Mama ini kasmaran."

Eh?

"Apa Venus bahagia? mau gak ketemu Dia?" Arumi terharu, sudah lama rasanya tak melihat raut tak biasa yang dipancarkan puterinya. Terlihat, Venus semakin menunduk di sana, tak bisa dipungkiri perasaannya memang sedikit malu mendengar sang Bunda yang akan mempertemukannya lagi dengan pria Bandara itu.

Mengangguk pelan, Venus bergumam terimakasih seraya memeluk sayang sang Bunda. Sementara di sana, Arumi tak kuasa membendung tangisnya. Apapun asal puterinya bahagia, wanita itu siap melakukan segalanya. "Mama akan pastikan, secepatnya.. Venus bisa bertemu dengan sosok yang tadi di Bandara."

***

"Astaga!" Neraca membulatkan matanya, tubuh wanita itu refleks merapat ke depan sebab Damai dengan sembarangan mengerem laju kendaraan. "Ahh, itu kenapa Incess gue nunggu di depan istana?"

Menggigit pipi dalamnya, Neraca membuang napas kasar menahan diri untuk tidak menendang pantat pria yang sedang memboncengnya. Dasar tidak ada kerjaan! Sembarangan saja berhenti di tengah jalan begini, dan ini.. apa-apaan sih? Damai malah berdiri dari motornya lalu tidak tahu malu malah terang-terangan mengintip sebuah rumah melalui celah pembatas pagar.

"Merica, gantian. Lo sekarang yang bawa motornya!" Damai turun dari motor, pria bermata sayu itu kemudian nyengir sebab melihat raut Neraca yang berubah menandakan wanita itu benar-benar syok dibuatnya. "Nanti gue jelasin, yang terpenting untuk saat ini lo boncengin gue."

"Eh!" Neraca memekik, Damai pindah ke jok penumpang setelah tadi mendorong pelan punggung tunangannya, "tapi aku-"

"Let's go!" Damai memotong riang, sementara tangannya cekatan memasangkan helm untuk Neraca. Selesai dengan pekerjaannya, Damai lalu memiringkan kepala- memandang lucu wajah Neraca dari samping kirinya. Ahh, apa wanita ini selalu terlihat bingung ya? Damai jadi merasa suka jika setiap waktu bisa melihat ekspresinya. "Nang, ayo tancap gasnya!"

Neraca mengerutkan dahinya. Damai dengan santai memeluk Neraca dengan jiwa kesenengan tiada terkira. "Gue takut jatoh ya ini, bukan bermaksud modus sama lo, Nang."

"Nang?" apalagi coba sebutan Damai untuk dirinya. Dasar konyol, tadi sebut Neraca Merica, sekarang Anang, terus besok-besok apa coba? "Kamu gak bisa apa panggil aku biasa aja." Kata Neraca datar, tapi tatapannya masih jatuh pada sepasang tangan yang sekarang masih melingkari posesif perutnya.

Damai menaikan sebelah alisnya, kembali memiringkan kepalanya dungu, dengan polos pria itu berucap. "Nang itu maksudnya tunangan."

Deg.

Neraca menelan saliva, tunangan ya?

"Ayo! ahh, lo mah lama. Begini, Nang- eh eh-!!" Merasa panik karena Damai menancap gasnya kekecengan, Neraca membolakan mata saat motor itu melaju tanpa kuasanya. "Pelan-pelan, Merica!"

"ELO YANG GASNYA KEKENCENGAN!" Neraca menjerit diantara laju motor yang berjalan mulai tidak beraturan, perlu dicatat! Neraca sudah lama tidak pernah mengendarai kendaraan beroda dua. "GUE LUPA CARA BAWA MOTOR, DAMAI!"

Wajah Damai berubah pucat, pria itu semakin erat memeluk Neraca, Damai tidak tahu jika tunangannya ternyata belum lihai membawa sebuah motor yang dulu menjadi kegemarannya. Ahh, kenapa terasa mengerikan. Damai tak ingin mati muda. "Merica, awas!!"

"WAAAAAHHH!!!!"

BRAK!

"DAMAI!"

"ACA!"

***

Dan.. selesai.

Damai dan Neraca akhirnya mati konyol sebab menabrak pohon bringin yang berada persis di depan rumah Oma. Wkwk😂😂

Timpuk authornya.. incess emaknya Damai lagi kebanyakan halu nueh soalnya haha.

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang