Dia Membuntuti #part 1

103 2 0
                                    

Lelaki yang berdiri diam itu... menunggu di tempat sampah... akan mendatangi siapa pun yang mengusiknya.

***

YANG PALING menjengkelkan dari semua daftar kegiatan rumahan adalah: membuang sampah. Hrrr, bukan hanya karena kegiatan itu membuatmu harus berurusan dengan kotoran—dan kotoran biasanya kalau tidak jorok maka basi; dan yang pasti busuk—tapi lebih karena membuang sampah adalah, 1. Kegiatan yang paling dihindari semua orang, 2. Sampah yang kau buang bisa membongkar kualitas hidup keluargamu, 3. Pergi ke tempat pembuangan sampah sama sekali tidak asyik dibandingkan pergi ke semua tempat lainnya. Itu tiga alasan yang membuatku jengkel saban kali mendapat giliran buang sampah. Tapi, seakan semua itu belum cukup, masih ada satu alasan lagi mengapa aku sangat sangat berusaha menghidari tugas buang sampah, 4. Tempat pembuangan sampah di desaku lebih mirip jurang pembuangan mayat daripada lahan kosong penampungan sampah. Apa yang bisa membuatmu lebih tersiksa dari melakukan tugas tak menyenangkan di tempat mengerikan?

Satu keresek hitam besar kucantelkan pada pengait di bagian depan sepeda motor, memasang wajah cemberut, mendengar ibu sekali lagi ngomel tentang kebersihan rumah, memutar kunci sepeda motor, dan aku pun melaju setelah lima belas menit sebelumnya bersungut-sungut. Tempat—atau lebih tepat kusebut jurang—pembuangan sampah ini ada di sebelah selatan desa, cukup jauh meninggalkan wilayah pemukiman dan melewati beberapa ladang jagung. Pada musim kemarau seperti ini, di mana tanah merah mengering dan tanaman-tanaman merunduk layu, ladang-ladang itu lebih sering sepi daripada ramai.

'Jurang' pembuangan sampah di desa kami berupa sebuah cekungan sangat besar di permukaan tanah. Itu bukan cekungan alami, beberapa puluh tahun lalu sebuah pabrik pengolah bata berbahan dolomit pernah beroperasi di sana. Mereka menggali batu, memotong dengan gergaji baja dalam bentuk persegi panjang, dan menjualnya ke seluruh kabupaten. Begitu batu-batu itu habis, tinggal bagian yang terlalu keras untuk digergaji atau terlalu rapuh untuk dipotong, mereka mencampakkan desa kami dengan menyisakan kubangan besar tak berguna serta belasan keluarga tanpa kerja. Tak lama kemudian pemerintah desa memfungsikan kubangan itu sebagai tempat pembuangan sampah. Jurang pembuangan sampah.

Ada sesuatu yang bisa dibilang misterius tentang tempat itu. Kau bisa melihat asap selalu mengepul dari suatu tempat di lereng yang penuh tertutup sampah. Setiap hari selalu saja ada asap mengepul. Aku tahu asap itu berasal dari pembakaran, api itu pastilah disulut seseorang untuk mencegah jurang penuh sampah. Tapi, bisakah api itu terus menyala sepanjang hari setiap hari? Yang benar saja! Memangnya siapa yang mau merelakan diri setiap hari datang ke kubangan sampah dan menyulut api di lerengnya yang terjal? Menurutku, paling masuk akal seminggu sekali seseorang yang begitu peduli pada lingkungan akan turun membakar sampah, bukan setiap hari.

Berikutnya, tempat pembuangan sampah ini tak pernah sepi, baik oleh kucing liar maupun oleh para pemulung. Keduanya tak pernah lelah mengorek timbunan sampah. Ok, kalau pemulung berkeliaran di tempat pembuangan sampah memang wajar, kucing liar berkeliaran di tempat sampah juga bisa diterima akal, tapi... apa yang kau katakan untuk peristiwa-peristiwa seperti ini: kau sedang membuang sampah, dan kebetulan tempat itu sedang sepi, hanya ada kau seorang, lalu tiba-tiba seekor kucing hitam—KUCING HITAM—melompat keluar dari gundukan smpah. Apa pendapatmu? Atau, ketika kau sedang bersiap melemparkan keresek sampah mendadak kau dengar suara mengeong lemah dan melas, hampir seperti meratap, dari balik tumpukan sampah di dekatmu, tidakkah kau mengira di sana ada kucing yang tertimbun sampah dan butuh bantuan? Tapi apakah kau bersedia menuruni jurang sampah untuk menyelamatkan kucing yang hanya kau dengar suaranya? Kejadian seperti itu setiap hari terjadi di tempat pem— maksudku jurang, jurang pembuangan sampah desaku.

Hingga akhirnya sore ini, ketika motor bebek tuaku sampai ke jurang pembuangan sampah dan aku bergegas turun untuk melemparkan sam—tunggu, apa itu?

Dia MembuntutiWhere stories live. Discover now