VOTE!
VOTE!"Oalah, Randu, Randu...." Mama tiba-tiba saja tergelak, "Ya jelas ae nggak gadis, la wong, wes mbok bolongi," timpal Mama sambil menoyor lembut kepala anak bungsunya. "Anak sekarang, kok, yo, geblek, men." Mama masih terkekeh geli.
Randu mendengus pelan. Lalu masuk ke kamar.
Kini giliran aku yang tak mengerti. Di luar dugaan, Mama sama sekali tak mempermasalahkan. Apa ibu mertua itu mengerti tapi pura-pura tidak paham. Atau jangan-jangan sebenarnya ia tahu tapi pura-pura tidak tahu. Ah ... entahlah.
Setelah membereskan meja makan, aku merasa serba salah. Serupa tahanan yang baru saja keluar dari bui. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Hendak masuk ke kamar, ada Randu. Hati ini merasa tak enak, jengah. Tetap di luar, yang bisa kulakukan hanya menonton teve, dan aku rikuh jika harus bersama Mama. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke kamar saja.
Pelan, kuraih gagang pintu jati berpelitur coklat. Semoga saja tidak terkunci. Dengan hati ragu, kudorong daun pintu itu. Syukurlah, ternyata tidak. Kamar berukuran tiga kali empat meter ini terasa asing. Ada perasaan aneh yang menelusup, saat aku lihat Randu duduk di sisi ranjang dengan laptop di pangkuannya. Aku merindukan sosok Randu yang lain, yang lembut dan oenuh kehangatan.
Menyadari kehadiranku, ia menoleh padaku lalu berkata, "Maaf."
Aku segera membuang muka, karena tertangkap basah tengah memadangnya.
"Maaf untuk apa?" sahutku datar.
"Aku tadi keceplosan," timpalnya lemah. Aku menangkap ada penyesalan dalam intonasi suaranya.
Ada perasaan hangat yang menjalari tubuh. Apakah Randu sudah bisa menerimaku?
"Untuk apa minta maaf, bukannya itu kenyataannya," sahutku ketus.
Randu mengeram. Kemudian ia menutup laptop dan meletakkannya di atas nakas. Aku melangkah ke sisi kanan dipan jati berukuran queen. Menyandarkan tubuh di headband dipan.
"Tapi aku nggak mau ada orang tau tentang masalah itu," lelaki bermata elang itu berkata tanpa melihat ke arahku.
Sungguh, aku tak mengerti apa mau Randu sebenarnya. Dia sendiri yang mengatakan di depan ibunya, tapi dia tak ingin orang tau masalah ini. Maunya apa?
"Kenapa?" Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Hati ini mulai merasa geram.
"Karena aku nggak mau aib ini sampai bocor," ucapnya seperti orang putus asa.
"Aib?" Cepat, aku menimpali perkataannya dengan pertanyaan baru.
"Ya, tentang kamu dan ketidakberuntunganku memperoleh wanita yang sudah tidak gadis. Ngerti!"
Matanya menatap nyalang padaku. Ya ... Tuhan, mulai lagi. Sampai kapan masalah ini akan selesai?
"Nggak! Aku bukan aib. Tapi yang sebenarnya aib itu dirimu. Tentang kebodohanmu, tentang ketidak tahuanmu, dan kenaifanmu, yang telah menghakimi aku secara semena-mena!"
Hati ini benar-benar tidak terima disebut aib oleh lelaki berambut ikal itu. Lalu sebenarnya untuk apa dia mempertahankan aku. Baiknya sudahi saja pernikahan ini.
"Kau!"
Rahangnya mengetat, napasnya mulai memburu. Sengaja aku pancing sekalian. Aku tak peduli ada Mama di luar. Namun, aku masih bisa mengendalikan emosi.
"Kenapa harus malu? Mengapa harus menganggap ini aib? Justru seharusnya aku yang malu. Punya suami bodoh macam kamu!" ujarku sengit.
Sebenarnya hati ini sudah lelah berdebat masalah ini terus. Segala penyangkalan-penyangkalan yang kuberikan tak mampu meyakinkan Randu tentang sebuah kejujuran. Dan sekali lagi, pertengkaran ini tidak terelakkan. Di mana masing-masing orang bertahan dengan egonya.
"Grey ... kamu semakin nglunjak, ya! Ingat aku akan buat perhitungan denganmu. Akan kubawa sepuluh gadis yang masih perawan di hadapanmu!"
Seperti ada sebilah sembilu menghunjam tepat di ulu hati. Kata-kata Randu meninggalkan seberkas rasa yang begitu perih di ceruk hati. Sakit yang akan kuingat sepanjang hidup. Sebuah rasa yang membuatku sesak, karena merasa tersayat. Saking sakitnya, tetesan-tetesan embun di sudut mata, telah berubah menjadi anak sungai di pipi.
"Baguslah, coba saja!"
Di tengah isakan yang tertahan. Aku masih sempat menjawab tantangannya. Tak kurasakan lagi, rindu yang tadi sempat menyentuh. Lenyap. Melihat Randu saat ini, aku seperti bertemu dementor dalam cerita Harry Potter. Sosok yang selalu menghisap kebahagiaan pada seseorang yang ditemui. Itulah yang kurasakan saat ini. Linglung.
Kami saling menatap nyalang. Darahku serasa mendidih. Udara kamar ini terasa amat pengap.
"Grey, Randu! Sini keluar sebentar!"
Suara Mama terdengar memanggil kami dari luar. Kami saling, melempar muka lalu beringsut menjauh. Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha menetralkan hati yang memanas.
"Grey, Randu! Sini bentar, deh!" Ibu mertuaku mengulangi panggilannya. Mau tidak mau, kami harus menghentikan perdebatan. Dan bersikap seolah-olah baik-baik saja. Bisa? Entahlah. Aku merasa seperi seorang artis, yang harus berganti peran secepat mungkin, sesuai dengan tuntutan skenario.
Randu keluar dan menuju meja makan, tempat ibunya memanggil. Aku membuntutinya, dengan perasaan masih tak karuan.
"Iya, Ma! Ada apa, sih?" tanya lelaki yang baru bertengkar hebat denganku dengan gusar. Sementara ibu mertua terlihat bersemangat mengaduk-aduk sesuatu.
"Ini, Mama udah buatin ramuan khusus untuk kalian berdua." Wanita paruh baya itu menghentikan adukan sendoknya. "Jamu kuat, buat kamu," Mama menyodorkan sebuah gelas pada Randu, "dan yang ini jamu galian rapet buat kamu, Nduk." Kali ini Mama langsung menyodorkan gelas satunya padaku.
"Ck ...." Randu mendecak. Lalu melengos, tak mengindahkan permintaan ibunya. Sedangkan aku masih bungkam.
Melihat kami yang masih bergeming, wanita paruh baya yang mirip dengan menteri kelautan ini terlihat kesal, "Eh ... kalian ini nggak menghargai usaha Mama. Orang tua sudah capek-capek bikin. Malah dicuekin."
"Yo wes kalau gitu," timpal ibu mertuaku lagi, sambil membawa kedua gelas yang katanya berisi jamu itu ke tempat cucian piring.
"Sini, Ma. Grey minum. Makasih, ya, Ma." Tak tega melihat Mama kecewa, aku bergegas memyusulya lalu meraih jamu yang ia buat untukku.
"Nah gitu dong. Selain merapetkan, ramuan ini juga menguatkan kehamilan," tukas Mama dengan sumringah.
"Grey nggak hamil, kok, Ma," bantahku cepat.
"Wes ta lah, kamu nggak usah ngeles. Kamu sekarang sedang isi."
Aku sedikit heran. Kenapa Mama bisa seyakin itu. Jangan Tuhan, jangan....
Bersambung
YOU ARE READING
Darah Perawan (OPEN PO)
RomanceKekisruhan rumah tangga Randu dan Grey ini bermula pada saat malam pertama. Setelah mereguk kenikmatan dunia, justru Sang suami bermuram durja. Ia muntab, karena tahu sang istri tidak memiliki tanda kegadisan yang umum dimiliki oleh seorang perawan...