12,0; senja

106 12 12
                                    

.

Lelaki itu terduduk tegak sejajar headboard tempat tidurnya. Matanya menatap lurus pada dinding kosong di depannya. Ini sudah sore. Ia bisa mendengar pintu rumahnya dibuka. Ia mendengar orang-orang bicara. Ada yang datang, mungkin juga ada yang pergi.

Pintu kamarnya dibuka, seseorang masuk. Ia tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ia tidak peduli.

"Mas Senja," sapa pendatang tadi. Ia masih bergeming di tempatnya. Masih tidak menunjukkan tanda-tanda hidup kecuali matanya yang terbuka dan napasnya yang teratur. "Sudah bangun?" lanjutnya.

Pendatang ituㅡseorang wanita paruh bayaㅡlalu mendekat untuk memeriksa keadaannya. Ia tidak melawan. Tidak pernah punya niat untuk melawan. Terutama pada wanita ini, Mbak Mar, orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.

"Saya pamit pulang ya, Mas. Mas Gala sudah di rumah,"

Dulu, ia akan menanggapi kalimat pamitan beliau dengan senyum, sambil menyampaikan beberapa pesan yang dirasa perlu. Tapi sekarang, menoleh pun ia enggan.

Mbak Mar membereskan beberapa benda di dekatnya sebelum akhirnya berpamitan sekali lagi dan keluar dari kamarnya, menutup pintu dengan hati-hati.

Setelahnya, iaㅡSenja, atau Yoga, atau siapa pun, ia sudah tidak tahu lagi siapa dirinyaㅡmenghembuskan napas sambil menoleh perlahan ke pintu kamarnya yang kini tertutup rapat.

Ia tidak gila.

Senja Aryoga sama sekali tidak gila.

Yoga bisa mengingat beberapa hal, ia masih memahami saat orang-orang di sekitarnya bicara. Ia masih bisa beraktivitas seperti orang normal jika ia mau.

Hanya saja, terkadang, isi kepalanya dapat mengabur tiba-tiba. Membuat ia tidak ingat apa-apa. Membuat ia kehilangan arah. Dan dalam kekosongan itu, hal-hal buruk memenuhinya. Kalimat-kalimat buruk. Kenangan-kenangan mengerikan. Hingga kemudian ia kehilangan kendali atas pikirannya sendiri.

Ia kehilangan dirinya.

Anak kamu itu emang bisanya cuma bikin malu!

Kamu urus dong anak kamu! Ngurus anak aja nggak becus!

Kamu pikir aku gak nyesel nikah sama kamu?!

Gue benci sama lo.

Lo pikir kenapa selama ini gue mau temenan sama lo? Cuma karena gak enak sama yang lain.

Lo siapa sih, Ga?

Mending dia mati sama gue daripada gue harus liat dia sama lo.

Yoga menutup telinganya. Tubuhnya gemetar seperti orang menggigil. Ia memejamkan mata, berusaha mengusir suara-suara gila itu dari dalam kepalanya.

Tidak.

Ia tidak bisa.

Suara-suara itu tidak berhenti.

Siapa dirinya?

Apa yang salah?

Ketakutan apa ini...? Perasaan kehilangan, ketidaktahuan. Perasaan sedih yang menggerogotimu sampai habis...

Yoga bergerak acak dalam kekalutannya. Tangannya tidak sengaja menyenggol gelas di atas nakas hingga terlempar, menabrak dinding, dan jatuh berantakan menjadi serpihan.

Suara jatuhnya membuat Yoga terkejut dan menoleh ketakutan. Tubuhnya masih gemetar. Namun semuanya perlahan kembali ke tempat semula, menjadi jelas. Pikirannya, dirinya, kewarasannya. Seolah tidak pernah kemana-mana.

Ia masih berusaha mengeja identitasnya dalam kepala ketika pintu kamarnya menjeblak terbuka.

Sosok Gala muncul di sana, dengan raut cemas. Adik tirinya itu memandang berkeliling. Matanya menangkap pecahan gelas yang tersebar di sudut kamar, lalu menghela napas panjang, seolah lelah. Gala melangkah masuk.

Yoga masih diam di tempatnya.

"Jangan dijatohin," kata Gala sabar, sambil memunguti pecahan gelas itu dengan hati-hati, satu-persatu. "Kalo kena kaki lo terus luka, gimana?"

Yoga ingat siapa Gala. Bagaimana dulu mereka saling membenci satu sama lain. Bagaimana dulu Yoga tiba-tiba ikut bersedihㅡmeski tidak menunjukkannyaㅡsaat ibu Gala meninggal. Yoga ingat semuanya.

Itu artinya, dia tidak gila, kan?

Sungguh, Yoga sebenarnya sudah gatal ingin bertanya sejak pertama kali Gala muncul kembali di hadapannya dan bersikap sangat baik padanya. Tapi lelaki itu memilih diam. Yoga memilih untuk tidak bicara satu kata pun lagi, pada siapa pun.

Ia pernah bicara begitu banyakㅡterlalu banyakㅡpada seseorang. Orang yang ia kira begitu baik. Yang ternyata justru membencinya. Jika orang yang sangat ia percaya saja ternyata tidak menyukainya, bagaimana dengan Gala? Yang dengan terang-terangan pernah sangat membencinya?

"Gue nggak suka lo," kata Gala lagi, mengulangi kalimat Yoga beberapa tahun lalu. "Tapi gue tahu rasanya nggak punya siapa-siapa."

Keduanya lalu saling menatap. Untuk sepersekian detik, Yoga mengubah sorot matanya. Berusaha bicara tanpa bersuara. Meminta Gala supaya tidak mendekat.

Supaya tidak mengusik hidupnya.

"Awalnya gue nggak mau ikut campur," Gala menghela napas. "Tapi ternyata, masalahnya nggak sesederhana yang gue pikir."

Gala menatap Yoga lekat.

"Kalo gue berniat bantuin lo, lo bisa kan, bantuin gue juga?"

Isi kepala Yoga mulai kembali berputar sampai-sampai ia takut dirinya akan hilang sekali lagi. Tapi ingatan-ingatan buruknya belum mengambil alih. Ia masih bisa mengendalikan diri.

Yoga masih ingin mendengar segala omong kosong yang dikatakan Gala.

"Bantuin gue, Bang," ucap Gala lagi. Ini pertama kalinya ia menyebut Yoga dengan sebutan Abang. "Gue tahu lo nggak gila. Gue masih bisa liat mata lo hidup."

Yoga tertegun.

"Gue yakin lo bisa sembuh sepenuhnya dan balik normal kayak dulu kalo lo mau. Lagian," Gala berhenti sebentar, memandang keluar jendela. Ke arah langit senja yang mulai oranye. "Ada orang lain yang juga harus sembuh, selain lo."

Mata Yoga mengerjap beberapa kali, merespon kalimat Gala.

Itu pertama kalinya ia merespon orang lain yang berusaha berkomunikasi dengannya, setelah satu tahun.

Sayangnya,

Gala tidak melihat.





🆙🆙🆙


Damaged✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang