Mobil berpawakan gagah ini berhenti, tepat di sebuah halaman rumah yang terlihat tua namun sepertinya masih terawat dengan baik. Halamannya luas lengkap dengan taman dengan berbagai tanaman hias yang terlihat segar. Di tengahnya terlihat ada beberapa mainan anak-anak yang tertata rapi, seperti mainan di taman kanak-kanak. Ayunan besi dengan dua tempat duduk yang seirama, jungkat-jungkit dengan lapisan berbagai warna cerahnya dan Dua perosotan permanen terbuat dari semen.
Apa ini sebuah taman kanak-kanak? Aku rasa, tidak. Di lihat dari bangunan yang tak mencerminkan sebuah sekolah untuk anak-anak. Tidak akan kuputuskan untuk bertanya pada pria yang masih duduk di balik kemudi ini. Aku masih tak ingin bicara padanya, setelah dengan santainya dia menyebut nama wanita lain di hadapanku. Masih sebal.
"Ayo turun" ajaknya dengan suara lembut.
Aku masih tak bergeming. Masih terekam jelas bagaimana dia mengucapkan nama 'Za' seolah-olah sedang merayu kekasihnya. Biarkan aku cemburu kali ini! Dia suamiku, aku berhak atasnya.
"Sya?"
Kualihkan pandanganku pada jendela mobil. Tanpa sedikitpun membalas ucapannya.
Segera kubuka pintu mobil di samping kiriku sebelum dia menahan dengan menarik lembut pergelangan tangan yang terbingkai lengan gamis biru navy-ku.
"Ada apa? Apa kau sedang marah padaku?" Tatapnya meminta penjelasan.
Tatapanku masih sama. Kearah jendela, membelakanginya.
"Sya? Apa aku membuat kesalahan?"
Sungguh? Dia masih bertanya apa dia membuat kesalahan? Dia pura-pura tidak tahu atau memang sengaja membuatku geram?
"Sya?" Dia memegang bahuku, mengalihkan untuk menghadapnya.
"Ada apa, Sya? Apa yang membuat bidadariku ini menampakkan wajah masamnya?"
Hello! Dia sedang tidak menggombal, bukan? Aku tak akan terpengaruh dengan bualan gombalnya.
Aku menatapnya di tengah tundukan kepalaku. Menatapnya dalam, bercampur dengan rasa sebal yang tiada tara. Kuhela napas berat, sebelum akhirnya mengucapkan pokok pikiran yang sedari tadi memenuhi otak.
"Siapa Za?" Suaraku melemah.
"Za?" Dia menatapku bingung, seperti tengah bertanya-tanya.
Aku mengangguk pelan.
"Astagfirulloh! Jadi dari tadi kau diam hanya karena itu?" senyumnya mengembang. Di benarkan letak pecinya, yang sebenarnya tidak miring sedikitpun. Menatapku dengan senyum sambil mengelus punggung tanganku, lembut.
"Aku suka cemburumu, Za" Dia menaikkan alisnya.
Aku masih belum mengerti bagaimana jalan pikiran pria yang menikahiku sebulan yang lalu ini. Aku baru saja meminta penjelasan siapa itu 'Za' belum semenit yang lalu, lalu begitu entengnya dia menyebutnya lagi tepat saat aku menatapnya. Apa dia tak memikirkan bagaimana perasaanku?
Katakan bahwa pria ini menyebalkan! Sangat menyebalkan.
Dia mencondongkan badannya. Mendekat kearahku, pelan. Apa yang akan dia lakukan? Dia tidak sedang berniat memakanku, bukan?
Deg! Deg! Deg!
Oh, jantungku! Tenanglah pria di depanku ini bukanlah vampire. Jadi, berdetaklah sewajarnya!
Dia masih mendekat. Hingga napasnya begitu terasa menerpa tepian hijab yang membingkai pipiku.
Cup!
Yassalam! Sadarkan aku! Dia mencium pipiku, ralat! Bukan di pipi, hampir di ujung bibir. Dia menciumku? Sungguh? Disaat aku sedang mencemaskan hatinya tengah berlabuh pada wanita lain!
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Tanpa Gelar
ChickLitApakah kebahagiaan hanya berpihak pada mereka yang bergelar? Bukankah Tuhan menciptakan hambanya dengan segala takdir-takdir baik yang menjanjikan? Aku, gadis tanpa gelar; yang memimpikan kebahagiaan. Bacalah ketika lelah, barangkali mampu menjadi p...