50. Teredam Tangis

903 51 1
                                    

Sudah dari dahulu kala. Bahkan sebelum semuanya tercipta. Jika sampai kapanpun, kehilanganlah yang berperan besar dalam membuka mata manusia. Menyadari jika ia telah melukis luka.

Pada hati yang bukan seharusnya.

Pada hati yang bukan seharusnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Suara jarum jam dinding yang berdetak mengiringi keheningan sepertinya sudah tidak ada artinya lagi untuk seseorang yang kini terduduk dengan tangan gemetar. Noda darah yang mengering di sana mencekam isi kepalanya yang tidak tahu harus berpikir apa selain melinangkan air mata.

Suara gaduh terdengar ketika dua orang berjubah putih itu keluar dari ruangan. Minggu dengan cepat menghampirinya dengan kepanikan dalam dirinya yang bertambah besar. Seorang Dokter melihat penampilannya yang sekarang telah banyak dilumuri darah. Kepala cewek itu juga belum diobati. Minggu menolak tawaran Suster tadi sebelum ia bisa memastikan jika Arga dinyatakan baik-baik saja.

Tapi sepertinya tatapan yang diberikan Dokter dan Suster itu telah membakar ketakutan Minggu semakin pelik.

"Anda keluarganya?" tanya Dokter itu.

"Bu-bukan, Dok." Minggu gugup di tengah rasa paniknya. "Saya..."

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"

Minggu tergelak ketika Marcel dan beberapa orang di belakangnya datang secara bersamaan. Marcel sesaat menatapnya dengan sorot mata membenci. Minggu menunduk, menahan getaran isaknya yang semakin keras.

Seseorang memegangi bahunya dari belakang. Iren datang mengusap punggungnya untuk memberi ketenangan. Kemudian Ivan menyuruh Iren untuk membawa Minggu pergi dari sana. Menenangkan gadis itu sebentar. Percuma memang. Tapi setidaknya Minggu juga harus memastikan keadaannya. Iren memeluk tubuh tegang itu dari samping sambil mulai berjalan.

Minggu tidak mau mendengar ini, ingin rasanya ia menutup telinganya ketika suara samar Dokter itu masih bisa ia dengar.

"Pasien mengalami kecelakaan yang hebat. Darah yang keluar dari kepalanya cukup banyak. Sementara ini, pasien belum sadarkan diri."

Cukup membuat rasa kesalahan yang paling besar menggerogoti hatinya.

***

"Arga... Arga... Arga..."

Lirihan nama itu yang sedari tadi Iren dengar. Tubuh yang kini ia peluk terkadang tenang terkadang juga gemetar. Di taman belakang rumah sakit, Iren mengusap punggung Minggu dengan memberi perkataan yang berbeda dengan keadaan.

Seperti ini contohnya.

"Arga gak pa-pa, kok, Minggu. Dia pasti kuat."

Itu hanyalah sebuah kalimat penenang yang di mana Iren juga merasa bahwa kalimatnya adalah kebohongan besar.

Regardless (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang