"Kau tidak sendirian."
Sebenarnya aku sendirian, itulah bagian dari masalahnya; kita semua sendirian, terjebak dalam tubuh-tubuh ini dan benak kita sendiri, dan teman apapun yang kita punya dalam kehidupan ini hanya sekilas dan palsu.
- Theodore Finch (All The Bright Places)
__________
Aku harus menahan nafas dengan lebih lama lagi. Setidaknya sampai tubuhku tak memberontak untuk meminta naik ke atas sana.
Aku merintih kedinginan saat suhu pagi hari ini kembali menusuk tulang jariku. Aku sudah berusaha keras untuk menghangatkan tanganku dengan terus menggosoknya, tapi semua masih terasa sama. Aku tak punya penghangat ruangan, hanya ada selimut tebal dan beberapa mantel milikku yang ukurannya pun sudah cukup kekecilan.
Sejujurnya, ini cukup menyedihkan. Bahkan untuk menghangatkan tubuhku saja aku tak bisa, apalagi untuk menghangatkan jiwa di dalam tubuhku ini. Aku sudah lama tak merasakannya.
Aku tak tahan harus merasakan suhu dingin ini, jadi aku bergerak menuju kamar ibu untuk mengambil mantelnya yang tersisa di dalam lemari. Ibu tak mengunci kamarnya, hanya menutupnya saja dan di dalamnya pun juga tak ada barang mewah (jika kau berpikir bahwa nanti akan ada pencuri yang masuk ke dalam sini). Ada satu mantel abu-abu di dalam lemarinya, aku langsung mengenakannya dan merasa sedikit hangat.
Rencanaku pagi ini adalah mengunjungi ibu di rumah sakit. Aku sudah lama tak melihatnya dan aku pikir ibu juga akan lupa. Tapi menjenguknya juga penting, bagian terpentingnya adalah aku ingin melihat tagihan rumah sakit selama ibu menginap di sana. Aku bergegas keluar rumah, lalu mengunci pintu dan saat aku merogoh kantong saku mantel ini, aku merasakan sesuatu.
Ada benda lain yang tersembunyi di dalamnya selain kunci rumahku. Ketika aku mengeluarkannya, aku mendapatkan sebuah gelang dari tali rajut yang warnanya tampak gelap. Dahiku mengernyit dan mulai bertanya-tanya, aku seperti ingat dengan benda ini. Setelah beberapa menit barulah aku mengingatnya.
Gelang itu dari ibu.
Aku punya dan aku menyimpan satu di laci meja belajarku. Dulu waktu aku kecil, aku pernah dipasangkan ibu gelang ini. Gelang sederhana yang aku pikir ibu sedang bosan saja, jadi dia membuatkannya untukku. Aku pernah mendapatkan benda seperti ini juga, lebih tepatnya dia seperti sebuah gantungan hiasan yang dirajut dari benang wol. Ibu bilang gelangnya berwarna merah dan aku melihat gantungan itu menghias bingkai foto saat pemakaman ayah.
Jadi, atas dasar apa ibu menaruh gelang ini di mantelnya? Ah, mungkin saja tak sengaja.
"Hyesang?"
Aku terlonjak saat mendengar suara yang tiba-tiba mengejutkanku. Itu suara bibi sepupuku.
"Ya?"
"Kau mau pergi?"
"Ya. Hanya menjenguk ibu di rumah sakit."
"Sebentar!"
Bibi berlalu lagi dari arahku. Oh, ayolah aku hanya menjenguk saja, tak ada niatan untuk memberikan apapun padanya. Kesehatannya pulih saja, itu sudah cukup untukku.
"Bawakan ini untuk ibumu." Bibi menyerahkan sekotak buah kesemek padaku.
"Baik."
"Kalau kau mau, kau bisa ambil di rumah nanti. Aku punya banyak."
"Baik, akan kusampaikan. Terima kasih, Bi."
°°°°°
Pagi hari di rumah sakit yang begitu ramai akan para pasien yang berdatangan. Hyesang disambut dengan suasana seperti itu saat ia pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Hujan telah reda beberapa menit yang lalu dan suara itu tak mengganggu lagi, tapi meninggalkan sedikit kecekaman untuknya sendiri saat berada di tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
monochrome [TERBIT]
Fanfiction[TERBIT DI HAEBARA PUBLISHER | SEBAGIAN CERITA TELAH DIHAPUS] ACT - COLOR BLIND UNIVERSE ❝Tuhan itu adil. Tetaplah hidup dan aku akan menjadi pelangimu.❞ Ada banyak cara untuk jatuh tapi juga ada banyak usaha untuk bangkit dari tekanan. Jang Hyesan...