Paginya aku bangun lebih awal, demi menyiapkan diri untuk berburu informasi tentang Daifukujo bersama Amuro. Hari ini Michiru dan Araki sekolah jadi mereka tidak akan mengikuti kami, kecuali Araki tiba-tiba muncul dan mengikuti kami.
Aku turun ke lantai satu untuk membersihkan diri dan sarapan, sekilas aku melihat nenek sedang membuka buku besar di dekat telepon rumah.
"Apa itu, Baa-san? "
"Oho ... buku telepon kota ini, Sakuma-chan." Nenek tersenyum ala orang tua hingga kerutan di wajahnya nampak semua. "Nenek ingin menelpon tukang reparasi kamidana, makanya Nenek mencari nomornya di buku ini. "
Aku ingat bahwa Nenek masih menganut agama Shinto yang tergolong kuno, jadi memperbaiki kamidana bukanlah hal aneh untuknya. "Rusak? "
"Tidak, hanya sedikit lusuh. Nenek tidak berani membersihkan dan memperbaikinya sendiri, lebih baik memanggil tukang reparasi saja yang tahu segalanya. "
Aku ber-ooh begitu saja. Aku tidak bisa membantu karena aku juga tidak tahu apapun. Kalung salib yang kupakai sudah ada sejak aku kecil, jadi apapun yang berbau Shinto aku hanya tahu sedikit.
Aku melirik Nenek yang masih sibuk dengan buku telpon, bertanya pelan pada beliau, "Baa-san tahu soal Daifukujo? "
Namanya disebut, Nenek hanya menelengkan kepala. "Oh? Ibu dua anak itu? "
"Baa-san mengenalnya? "
"Dia adalah gadis yang sangat cantik. Terakhir Nenek melihatnya, anaknya masih kecil dan lucu. "
Aku merendahkan suaraku lagi untuk berbisik pada beliau. "Daifukujo ... yang di danau taman kota lho. "
"Iya. "
Tenang sekali menjawabnya, itu membuatku menaikkan alis. "Baa-san, dia mencari anaknya kan? "
"Benar, sayangnya dia tidak tahu jika anaknya diambil dan diurus oleh ketua yakuza kota ini. "
Aku langsung terkejut mendengar itu. Tunggu, Daifukujo mendapat masalah dengan para yakuza, dan akhirnya anaknya diambil mereka?
"Kenapa begitu? "
Nenek memejamkan matanya perlahan, bercerita denga nada mendongeng, "Itu karena anak buahnya lah yang melakukan hal tidak baik pada gadis itu, tapi anak buahnya tidak punya apa-apa, layaknya Si Gadis itu. Ketua Yakuza itu kemudian melakukan 'wujud pertanggungjawaban' dengan mengambil anaknya untuk dibesarkan menjadi orang baik-baik. Dia melakukannya secara diam-diam, entah mengapa. "
"Di mana anaknya itu sekarang? Bagaimana dengan Ketua Yakuza itu?"
"Setelah Si Kecil diambil oleh Ketua Yakuza,mereka langsung pindah ke kota."
Sial, sudah senang ada informasi bagus malah buntu. Aku mengelus dagu memikirkan hal yang sudah dijelaskan panjang kebar oleh Nenek tadi dengan sungguh-sungguh.
Empat tahun berlalu dan Daifukujo masih mencari bayinya, padahal anak itu sudah ada di kota dan hidup di sana. Nenek yang sudah memberikan banyak penjelasan bahkan tidak bisa membantu memberikan alasan kenapa Si Ketua Yakuza ini perlu menculik anak Daifukujo hingga membuatnya bunuh diri.
Aku ingin tahu alasan di balik itu, aku akan mencari tahunya bersama Amuro.
"Bagaimana Baa-san tahu semua ini? " tanyaku tak menahan bahwa aku curiga.
Nenek menghela napas dan membuka matanya seakan dongeng telah selesai. "Beberapa tahun yang lalu, ketika Nenek membantu kedai makan milik tetangga, Si Ketua Yakuza mampir dan makan di sana. Dia mabuk di depan Nenek dan bercerita panjang lebar soal gadis itu dan anaknya. Nenek memang tidak memperhatikan orang kota, tapi Nenek ingat betul apa yang pernah disampaikannya sampai saat ini. "
"Kalau boleh tahu ... rumah Daifukujo atau rumah Ketua Yakuza itu di mana? "
"Oh ... rumah mereka masih satu kawasan dengan taman bermain kota ini. "
Aku perlu membagi info ini pada Amuro secepatnya, daripada aku nanti lupa.
Aku segera menuju rumah Amuro untuk itu. Di tengah perjalanan, aku melihat ada seorang pria kekar sedang menggandeng seorang perempuan balita di pinggir jalan raya.
Wajahnya mencurigakan ... dia pedofil atau penculik?
Aku menyipitkan mata melihat itu, memutuskan untuk menghampiri mereka.
"Permisi. "
Dilihat dari dekat, pria kekar itu kelihatan sekali sangarnya. Di pipinya ada bekas luka besar dan kulitnya coklat terbakar sinar matahari. Apakah dia orang baik-baik?
"Ya? "
Dia sudah membuat meneguk ludah hanya dari suara baritonnya. Aku berdeham, mengumpulkan nyali kembali.
"Itu ... putri Anda? "
"Tentu saja dia putriku! Mau apa kau!? "
Aku terlonjak ke belakang karena bentakannya. Buru-buru aku membungkuk untuk meminta maaf. Tahunya dia terbatuk dan juga meminta maaf padaku.
"Maaf membentakmu."
"U-uh ... hendak pergi kemana? " tanyaku sesopan mungkin, menghindari dia naik pitam untuk kedua kalinya.
"Taman! "
Suara nyaring yang berbeda menyahut, balita yang digandeng ayahnya itu menjawabku dengan nada riang. "Mau lihat burung! "
Oh, mereka hanya ayah dan anak biasa. Kupikir mencurigai mereka adalah hal yang salah, aku sekali lagi minta maaf pada pria itu.
"Aku tidak pernah melihatmu. Kau orang baru? "
"Benar, aku tinggal di kediaman Tadashi. "
Dia mengelus dagunya dan mengangguk. "Semoga kau senang dengan kota ini. "
"Bagaimana dengan Anda? "
"Cuma orang yang melintas sejenak. "
Orang lewat ternyata. Pantas aku merasa asing dengan orang ini. "Saya harus pergi, semoga hari Anda menyenangkan. "
Terakhir kali aku melihat mereka, anak perempuan itu melambai dengan ceria. Aku tersenyum dan membalas lambaian itu, kemudian kembali ke jalan menuju rumah Amuro.
Tidak perlu waktu lama aku pun tiba di tujuanku. Hanya saja aku melihat Araki di halaman depan rumah Amuro.
"Apa yang kau lakukan?"
Aku hanya mengatakan hal itu dengan suara biasa, tapi Araki terkejut bukan main hingga tersandung ke depan.
"Kau mengagetkanku! "
"Tidak sengaja," gumamku pelan lalu membantunya berdiri. "Apa yang kau lakukan di sini? "
Araki menghela napas dan melipat tangannya di depan dada. "Tentu saja aku ingin bicara dengan Amuro."
"Kau tidak sekolah? "
"Untuk apa aku sekolah kalau dilihat saja aku tidak bisa!? "
"Tenanglah, aku tidak berniat menyinggungmu." Aku mengetuk pintu rumah dengan wajah masih menghadap Araki tanpa menganggap bentakannya serius. "Juga jangan marah-marah pagi buta seperti ini, kau membuang banyak tenaga tahu."
Tak lama kemudian, Amuro membuka pintu dengan rambut acak-acakan, sepertinya dia baru saja bangun dari tidurnya.
"Apa? "
"Kau lupa rencana kita? "
Dengan santainya Amuro yang kumal itu menguap di depanku, dia melongo sejenak sebelum matanya terbuka lebar dengan sempurna.
"Ya ampun! "
Dengan tergesa-gesa dia berbalik masuk ke rumah, setelah itu berteriak, "Masuk saja! "
Mungkin otaknya masih penuh, jadi dia ketiduran sampai saat ini. Aku masuk ke rumah Amuro begitu saja dan duduk di tempat biasa.
Araki berada di depanku dengan masih membawa pedang kendo-nya. Dia melirikku dengan mata menyipit, "Apa yang akan kalian lakukan? "
"Mencari tahu soal Daifukujo. "
"Lagi? Kalian benar-benar menantang maut ya? "
"Ini untukmu juga, " cetusku datar.
Araki membuang muka, kemudian menggumamkan sesuatu yang terdengar olehku.
"Jadi ingat seseorang .... "
*****
Kamidana : adalah miniatur altar rumah untuk menguilkan Dewa di agama Shinto
Yakuza : kelompok gangster/preman di Jepang