Bab. 2

5.6K 537 19
                                    

Untuk lebih menghayati tema historical romance, author memutuskan latar cerita seputar tahun 1950 an.
******************
Beberapa hari yang panjang telah terlewati setelah Grand Duchess dan kedua orang tua Anne telah kembali ke kediaman masing-masing. Anne menyibukkan diri bersama pengurus rumah menata ulang letak perabotan dan membantu mengurus tanaman di kebun belakang.

Albert masih bertahan di kediaman Sang Duke. Punggung Anne seolah tergelitik setiap kali berada di taman belakang, tatapan dari balkon kamar Albert membuat Anne tidak leluasa bergerak.

Setiap hari Lord Barton pulang larut malam, tidak pernah menyapa apalagi mendatangi kamar Anne. Anne selalu menunggu dari balik jendela kamar, hanya bisa memandangi dari jauh Lord Barton yang tengah turun dari Rolls Royce Phantom IV menuju ke dalam istana.

Dengan cepat berbalik badan, Anne berjalan keluar kamar. Malam ini ia sengaja menunggu sang Duke pulang, Anne ingin menanyakan kabar.  Gaun Anne menyapu lantai kayu yang berlapis karpet beludru, langkah kakinya bergerak cepat menuruni puluhan anak tangga lalu berhenti tidak jauh dari hadapan Sang Duke.

William Barton begitu lelah setelah mengunjungi peternakan kuda milik keluarga mereka, puluhan induk kuda varietas kualitas tinggi telah melahirkan dan pekerja kandang harus diawasi ketat. Biasanya James yang mengerjakan tugas ini namun adiknya belakangan sering membangkang mengurusi bisnis pribadi yang sedang di puncak kejayaan sehingga William harus bekerja keras menangani semua bisnis keluarga seorang diri. Ia bahkan tidak memiliki waktu bersenang-senang.

Melihat Anne dihadapannya, William memandangi pintu ingin kembali keluar. Tidak percaya akan cinta, William menikahi Anne karena menganggap perempuan itu adalah calon paling potensial yang ada di Morrison. Berharap menjadi istri yang patuh dan tidak membatasi kegemaran William pada wanita dan minuman keras, Anne malah bertingkah seperti nyonya rumah yang dominan. William menyadari perubahan letak perabotan di rumah pribadinya dan hal itu membuatnya ingin marah.

"Selamat malam, Your Grace." Sapa Anna menekuk lutut dengan anggun.

Anne cemburu pada jerami kering yang menempel di mantel Sang Duke, ia bahkan tidak bisa sedekat itu dengan Lord Barton. Anne ingin menjadi tetesan air hujan yang membasahi kepala sang Duke, ingin menyentuh helai demi helai rambut lebat Lord Barton yang gelap. Sang Duke malah menatapnya bagai orang asing, tidak ada kasih sayang sedikit pun di matanya.

"Tidak perlu menyambutku dengan hangat, Duchess ku. Apa yang terjadi dengan perabotan perak di sana? Siapa yang memberimu ijin memindahkannya?" Lord Barton masih berkata pelan.

Anne berjalan ke depan meja tempat patung dan dekorasi berbahan perak diletakkan. "Your Grace. Meja ini semula berada di sini, semua orang yang melewati jalan ini harus berhati-hati agar jangan sampai menyenggol. Keberadaan dekorasi malah menjadi batu ganjalan para penghuni rumah termasuk saya. Untuk itulah saya berpikir memindahkannya ke tempat yang lebih aman." Anne melangkah lagi ke sisi yang lain. "Dan lampu tiang yang tadinya disini saya pindahkan ke perpustakaan karena lampu gantung di plafon sudah cukup terang sedangkan meja membaca di perpustakaan sedikit remang."

"Kediaman ini adalah rumah pribadiku, Milady. Jangan sentuh apapun tanpa persetujuanku." Lord Barton menatap Anne tajam, berkata dengan nada suara yang tidak ingin ditentang. "Satu lagi, kau tidak perlu menungguku pulang. Jangan pernah campuri urusanku."

Anne tidak sanggup berdeham meskipun kerongkongannya seakan tercekik. "Anda tidak perlu berkata kejam seperti itu. Apakah semua Duke memperlakukan istri mereka dengan keji?"

Lord Barton melangkah mendekat, tangannya memegangi dagu Anne sehingga kepala Anne terangkat naik. Tatapan mata Lord Barton sebuas singa. "Jangan memohon padaku untuk memperlakukanmu dengan keji, dengan senang hati aku akan memuaskan keinginanmu. Mintalah pengampunan atas sikap buruk itu sekarang juga."

Kamu akan menyukai ini

          

Anne membalas tatapan Lord Barton sama kuat. "Tidak ada yang memohon pengampunan atas kebenaran. Menjadi seorang Duke tidak menempatkan Anda di posisi yang selalu benar."

Lady Anne harusnya dihukum karena bersikap tidak pantas pada seorang Duke. William melepaskan gadis itu. Berjalan ke sisi yang berbeda, berdiri memunggungi Lady Anne.  "Tidak melihat dan tidak mendengar apapun, bersikaplah seperti penghuni rumah yang lain. Ingat posisimu dan patuhi perintahku."

"Your Grace. Saya adalah istri anda, bukan pekerja istana." Otot di leher Anne memprotes, Sang Duke telah menghinanya.

Meletakkan satu tangan di belakang, William berkata dengan nada angkuh khas kaum aristokrat, "Bagiku, kau tidak berbeda dengan pelayan istana. Kau bisa diusir keluar kapan pun aku mau. Jadi jaga sikapmu mulai dari sekarang."

Sang Duke mengatakan hal yang sangat kejam seolah menghunuskan pedang ke dada Anne hingga menembus bagian terdalam. Air mata yang menetes di mata Anne ibarat darah yang mengalir dari luka yang ditusukkan padanya. Bergerak mundur tiba-tiba, kaki Anne tersandung kaki sofa nyaris terjatuh. Namun sebuah lengan menangkap pinggang Anne hingga punggungnya mendarat di dada seseorang.

"Sir Albert." Anne mendongak. Ia bahkan tidak sadar dari mana dan kapan datangnya Sir Albert, namun berkat pria itu Anne tidak sampai jatuh.

Anne menegakkan tubuhnya hendak menjauh namun Sir Albert menahan lengannya. "William, jangan terlalu keras pada Lady Anne. Tidak perlu berkata kasar agar Lady ini pergi, aku bersedia jika kau tidak berminat."

Lord Barton menatap mereka tidak perduli. Memang tidak ada tempat bagi Anne di hati Sang Duke. "Terserah kau saja."

Setelah Sang Duke meninggalkan mereka, Anne hendak pergi meninggalkan Albert namun Albert tidak melepaskan lengannya. Anne memelototi pria itu. "Apa?"

"Kau belum mengucapkan terima kasih." Ibu jari Albert mengusap lengan Anne, menggetarkan saraf Anne hingga menimbulkan sensasi tidak dikenal pada bagian paling sensitif di pangkal paha.

Anne menyentak tangan Albert, "Jaga sikapmu, Albert."

Anne menggigit bibir menahan amarah. Menurut Albert bibir merah Anne sangat sensual, begitu ranum seakan memohon padanya untuk dicium. Tangan Albert menangkap pinggang Anne dan menarik tubuh itu menempel padanya. Albert memandangi wajah Anne yang cantik, "Matamu seperti matahari musim semi, setiap detik aku mendambakan wajah cantik ini." Albert mencondongkan wajah dengan amat perlahan, tidak ingin Anne takut dan melarikan diri. Menyentuhkan bibirnya pada bibir Anne, Albert mencurahkan segenap perasaannya. Ciuman mereka begitu lembut, perlahan. Kemudian Anne memasrahkan diri, Albert merubah ciumannya lebih posesif, lidah nya membelai bibir Anne dengan intim. Masih memeluk pinggang Anne, satu tangan Albert terangkat naik membelai pipi Anne, mengusap sepanjang leher Anne dengan cara yang membangkitkan gairah.

Albert melumat bibirnya semakin liar, tangan Albert telah berada di bagian depan tubuhnya, meremas payudaranya bergantian, tali bahu gaun Anne telah merosot dan bagian dadanya menyembul keluar. Deru nafas mereka tidak beraturan lagi, saling menderu gembira dan menginginkan lebih jauh.

Suara terkesiap seorang pelayan mengagetkan mereka membuat keduanya melompat menjauh saling memisahkan diri. Anne berdiri memunggungi si pelayan, dengan gemetar merapikan gaunnya yang terbuka. Anne tidak habis pikir dirinya begitu tolol menyambut rayuan Albert, kesedihan membuatnya larut dalam keputus asaan.

"Miss Finn, pelayan tidak diizinkan berkeliaran di dalam istana malam-malam begini. Apa yang sudah kau lihat?" Seru Albert setengah membentak.

"Maaf, Sir. Saya mendengar suara berisik jadi saya..." Miss Finn seketika terdiam tatkala Sir Albert menatapnya dengan tajam. "Maaf Pangeran Albert, Saya tidak melihat dan tidak mendengar apapun. Saya mohon ampuni saya." Perempuan muda itu membungkuk sangat rendah.

"Bagus. Jangan diulangi karena penjara kerajaan sangat dingin dan menakutkan." Ucap Albert dengan keangkuhan bangsawan. "Pergilah."

Wajah pelayan muda itu memucat seperti melihat hantu "Terima kasih, Sir Albert. Your Grace." Kemudian wanita muda itu pergi dengan ketakutan.

Berbalik menatap Anne, Albert malah mendapat tamparan dari tangan mungil Anne. Tidak disangka tenaga Anne cukup kuat saat sedang marah.

"Lady Anne, maafkan aku soal ciuman tadi."

Pipi Anne semerah tomat. "Tidak perlu dibahas, kita lupakan kejadian tadi."

"Jangan bilang kau tidak merasakan apapun."

"Tidak ada yang kurasakan selain perasaan jijik melihatmu." Anne berdusta.

Albert tahu Anne tengah berdusta, seingatnya Anne membalas ciuman tadi. Belaian bibir Anne nyaris meruntuhkan pertahanan diri Albert. Gadis itu tidak berpengalaman, malu-malu. Namun ada sisi liar di dalam diri Anne yang bahkan gadis itu tidak mengetahuinya.

Albert memandangi sekujur tubuh Anne dengan nanar. Gaun Anne sudah dirapikan meskipun sisa sentuhan Albert di tubuhnya masih terasa hangat dan lekat di pikiran.

"Seingatku, tubuhmu bereaksi sebaliknya." Albert berkata kebenaran.

Tapi Anne membela harga dirinya. Ia mengumpat keras. "Pergi saja ke neraka!" Seru Anne galak kemudian mengayunkan roknya melangkah pergi.

"Jika di neraka ada kau, aku rela pergi kesana."
Suara Albert masih terdengar sayup oleh Anne ketika akhirnya sosoknya menghilang di balik koridor.

*********
To be continue.

One Sided Love ( The Duke and I)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang