Prolog

31 9 1
                                    

Mi Casa.

Kata yang mengandung arti rumahku. Namun jauh terbalik dari kata nyaman, hangat dan aman. Begitulah sekiranya tempat bernaung Adhara saat ini. Rumah yang bisa dikategorikan mewah, tapi untuk apa rumah semegah istana jika dirinya malah merasa terancam hidup dan berkembang disini.

Ayah Adhara— Tuan Garry pernah berujar saat usianya menginjak 17 tahun, ia ingat betul waktu itu ayahnya mengatakan bahwa Adhara akan dijodohkan suatu hari kelak. Jelas Adhara kaget dan menolak.

Penolakan nya itu berbuntut panjang hingga melibatkan beberapa banyak orang menjadi korban. Jujur, ayahnya bukan orang yang jahat. Hanya saja, dalam mendapatkan sesuatu Garry ini terbilang cukup ambisius.

“Demi Tuhan Yah! Dara gak mau.”

Plak!

Selalu seperti itu. Berontak dan berakhir menerima pukulan tangan.

“Ayah, apa salahnya sih turutin permintaan Dara yang satu ini? Dia cuma ingin masa depannya ditentuin diri sendiri” Haris sebagai Kakak tertua nya membela dengan menggenggam tangan ayahnya yang hendak menampar untuk kedua kalinya. Beruntung masih ada kakak-kakaknya yang peduli pada Adhara didalam rumah ini.

Alis Garry langsung menukik tajam. “Kalian semua mau jadi anak durhaka? Kenapa membangkang? Susah payah Ayah membesarkan kalian semua hanya untuk melawan?”

“Lagian logika pake dikit kek, Yah! Jaman sekarang masih aja jodoh-jodohan. Kolot banget” cetus Andra. Yang usianya berbeda 5 menit dari Andrea.

Ricko sebagai anak kedua lantas membungkam mulut adiknya dengan telapak tangan. Jangan sampai ada sesi baku hantam lagi.

“Berani kamu ngomong kayak gitu sama Ayah?! Siapa yang ngajarin kamu?” Garry maju selangkah dengan tatapan nyalang. Segera ditahan oleh Haris.

“Ko, bawa Andra naik keatas.” titah Haris pada Ricko.

“Kenapa? Biarin aja semuanya diselesaikan disini, Bang. Lama-lama capek juga gue ngalah. Gue tau dia Ayah gue, tapi apa sesusah itu buat menghargai keputusan orang lain? Gue tau dia punya kedudukan penting dikantornya, sampe bisa ngasih perintah apapun ke bawahannya. Tapi kita anaknya, Bang! Bedain dikit lah” papar Andra dengan nafas terengah-engah. Emosi dan sirat lelah terpampang dalam wajah kurusnya.

Tok tok.

Pintu utama tidak ditutup, dan mereka baru saja berdebat soal perjodohan kolot. Otomatis tamu didepan pintu sana dapat mendengar segalanya.

Haris buru-buru memeriksa siapa yang datang.

Irisnya melebar ketika melihat siapa yang berdiri didepan pintu dengan dimple di pipinya. “H-hai Kak!”

“Da—”

Garry memutus sapaan Haris dan melotot kaget melihat pria yang berdiri hangat didepan rumahnya. “Calon menantu!”

Lutut Adhara langsung lemas saat mendengar pekikan heboh Ayahnya. Andra yang melihat perubahan cemas diwajah saudari kembarnya, langsung mengepalkan tangan tanpa sadar.

WINTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang