Fate 10 » Cahaya yang Tertinggal

327 59 24
                                    

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є •

       Mentari kini lenyap sepenuhnya—menenggelamkan diri dalam cakrawala. Malam pun menyambut, mengambil giliran dan menyelimuti langit dengan kegelapan. Kian gulita di setiap jam, hingga berhasil mengubur seluruh cahaya sendu milik sang surya. 

       Sepasang zamrud menatapnya, memperhatikan terus-menerus. Menjadi saksi bisu akan perubahan waktu. Terkadang kelopaknya menutup sejenak jika sang bayu bertiup—menggoda sang pemilik agar berhenti menyaksikan pemandangan kelam di atas sana.

       Tiada lagi arah yang lebih baik dibanding langit hitam penuh bintang. Walau cuma tempat bagi kilatan duka kedua zamrud untuk mencari kesenangan, langit di kala itu mampu menangkap segala kesedihan, ketidakrelaan, rasa rindu, penyesalan, juga harapan. Membuat sang malam makin menyuramkan wujudnya, bagai jurang tak berdasar.

       Meski dikenal dengan daratan tandus yang panas di siang hari, Uruk selalu dilanda hawa dingin penusuk tulang saat matahari tak lagi menyinari. Hawa itu perlahan berubah menjadi angin yang bertiup pelan dan lembut, namun cukup menggigilkan. Desirannya yang begitu tenang membawa serta percikan-percikan api untuk mengudara. Beterbangan bak sekumpulan kunang-kunang yang indah, mencapai angkasa tertinggi. Isak tangis dari sanak saudara tak terelakkan lagi, mengiringi proses kremasi para redum beserta sang pemimpin Tammuz.

       Saber berdiri—mengambil tempat terjauh di belakang. Wajah seputih pualam miliknya memasang ekspresi datar tak terbaca. Entah gadis itu sedang bersedih atau tidak. Tetapi, posturnya yang kaku seperti patung melambangkan bahwa sosok rentan itu tak ingin terlihat oleh siapapun, khususnya para keluarga. Dia bukannya tak menghormati suasana, hanya saja ia memang tidak bisa mengeluarkan air mata. Tak jarang sang gadis mengutuk dirinya sendiri terkait perihal tersebut. Sebenarnya, untuk siapa dan kapan terakhir kali dia menangis.

       Mengenai sang pangeran dan Enkidu, keduanya terlalu sibuk untuk bisa hadir. Namun, Saber tak mempermasalahkan hal itu. Malah lebih baik sendiri disini, menyaksikan sampai habis kepergian para redum.

       "Duka yang menyesakkan, bukankah begitu?" Seseorang mulai berbicara, pada sang gadis tentu saja.

       Saber telah memaku pandangan ke depan sejak awal hingga merespon dengan sebuah anggukan belaka. "Ya, kau benar," jawab gadis itu tanpa ragu, sebab tiada lagi orang yang berdiri di belakang.

       Si penanya hanya bisa memaklumi tanggapan sang gadis dan kembali mengarahkan iris topaz miliknya, menatap sekumpulan mayat prajurit terhormat yang disusun di atas kayu pembakaran. Dapat dilihat bahwa proses kremasi akan selesai puluhan menit lagi jika memperhatikan betul-betul kobaran api yang perlahan mengecil. Meski begitu, bara api pengantar roh para redum itu telah merebus kulit Saber yang kian memanas. Bagaimana tidak, sebelum mentari pergi ia sudah dengan setia berdiri disana, enggan beranjak barang selangkah.

       "Sudah berapa lama kau berdiri disini?" tanya sosok itu lagi.

       Sang gadis memecah fokusnya lalu menoleh demi mendapati seorang pemuda—mungkin saja dari ras yang sama—bersurai hitam, hampir menyamai legamnya malam kala itu. Berdasarkan ciri fisik, tak diragukan lagi kalau sosok tersebut bukan berasal dari Uruk. Posturnya tinggi dan berkulit lebih terang dari warga sekitar, sama seperti milik sang gadis. Begitu pula dengan paras tampan juga sebintik tahi lalat di bawah mata kanan, menambah pesona pada diri.

       "Sejak... sore," jawab Saber ragu, "Dan nampaknya kau bukan dari sini. Siapa kau?" Tangan sudah sedari tadi menjulur, meraih sarung pembungkus pedang di lilitan pinggul. Sepasang zamrud memicing waspada namun masih mampu mengumpulkan ketenangan yang ada agar tak mengganggu situasi saat ini.

My FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang