A Fate Zero fanfiction.
Saber, itulah panggilannya. Surai pirang dan kilau zamrud adalah ciri khasnya. Cantik ialah parasnya. Berani sifatnya, juga ksatria jiwanya.
Terjebak diantara nasib malang dan masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang...
Mentari kini lenyap sepenuhnya—menenggelamkan diri dalam cakrawala. Malam pun menyambut, mengambil giliran dan menyelimuti langit dengan kegelapan. Kian gulita di setiap jam, hingga berhasil mengubur seluruh cahaya sendu milik sang surya.
Sepasang zamrud menatapnya, memperhatikan terus-menerus. Menjadi saksi bisu akan perubahan waktu. Terkadang kelopaknya menutup sejenak jika sang bayu bertiup—menggoda sang pemilik agar berhenti menyaksikan pemandangan kelam di atas sana.
Tiada lagi arah yang lebih baik dibanding langit hitam penuh bintang. Walau cuma tempat bagi kilatan duka kedua zamrud untuk mencari kesenangan, langit di kala itu mampu menangkap segala kesedihan, ketidakrelaan, rasa rindu, penyesalan, juga harapan. Membuat sang malam makin menyuramkan wujudnya, bagai jurang tak berdasar.
Meski dikenal dengan daratan tandus yang panas di siang hari, Uruk selalu dilanda hawa dingin penusuk tulang saat matahari tak lagi menyinari. Hawa itu perlahan berubah menjadi angin yang bertiup pelan dan lembut, namun cukup menggigilkan. Desirannya yang begitu tenang membawa serta percikan-percikan api untuk mengudara. Beterbangan bak sekumpulan kunang-kunang yang indah, mencapai angkasa tertinggi. Isak tangis dari sanak saudara tak terelakkan lagi, mengiringi proses kremasi para redum beserta sang pemimpin Tammuz.
Saber berdiri—mengambil tempat terjauh di belakang. Wajah seputih pualam miliknya memasang ekspresi datar tak terbaca. Entah gadis itu sedang bersedih atau tidak. Tetapi, posturnya yang kaku seperti patung melambangkan bahwa sosok rentan itu tak ingin terlihat oleh siapapun, khususnya para keluarga. Dia bukannya tak menghormati suasana, hanya saja ia memang tidak bisa mengeluarkan air mata. Tak jarang sang gadis mengutuk dirinya sendiri terkait perihal tersebut. Sebenarnya, untuk siapa dan kapan terakhir kali dia menangis.
Mengenai sang pangeran dan Enkidu, keduanya terlalu sibuk untuk bisa hadir. Namun, Saber tak mempermasalahkan hal itu. Malah lebih baik sendiri disini, menyaksikan sampai habis kepergian para redum.
"Duka yang menyesakkan, bukankah begitu?" Seseorang mulai berbicara, pada sang gadis tentu saja.
Saber telah memaku pandangan ke depan sejak awal hingga merespon dengan sebuah anggukan belaka. "Ya, kau benar," jawab gadis itu tanpa ragu, sebab tiada lagi orang yang berdiri di belakang.
Si penanya hanya bisa memaklumi tanggapan sang gadis dan kembali mengarahkan iris topaz miliknya, menatap sekumpulan mayat prajurit terhormat yang disusun di atas kayu pembakaran. Dapat dilihat bahwa proses kremasi akan selesai puluhan menit lagi jika memperhatikan betul-betul kobaran api yang perlahan mengecil. Meski begitu, bara api pengantar roh para redum itu telah merebus kulit Saber yang kian memanas. Bagaimana tidak, sebelum mentari pergi ia sudah dengan setia berdiri disana, enggan beranjak barang selangkah.
"Sudah berapa lama kau berdiri disini?" tanya sosok itu lagi.
Sang gadis memecah fokusnya lalu menoleh demi mendapati seorang pemuda—mungkin saja dari ras yang sama—bersurai hitam, hampir menyamai legamnya malam kala itu. Berdasarkan ciri fisik, tak diragukan lagi kalau sosok tersebut bukan berasal dari Uruk. Posturnya tinggi dan berkulit lebih terang dari warga sekitar, sama seperti milik sang gadis. Begitu pula dengan paras tampan juga sebintik tahi lalat di bawah mata kanan, menambah pesona pada diri.
"Sejak... sore," jawab Saber ragu, "Dan nampaknya kau bukan dari sini. Siapa kau?" Tangan sudah sedari tadi menjulur, meraih sarung pembungkus pedang di lilitan pinggul. Sepasang zamrud memicing waspada namun masih mampu mengumpulkan ketenangan yang ada agar tak mengganggu situasi saat ini.
Promoted stories
You'll also like
Si lelaki refleks mundur selangkah sembari mengangkat kedua tangan di depan dada. "Woah, woah... Tenang, Nona." Ia pun sedikit membungkuk, menaruh telapak kanan di dada kiri dan tangan kiri di belakang. "Maaf atas ketidaksopananku sebelumnya. Aku Diarmuid Ua Duidbhne, Ksatria Fénnid dari Fianna." Sang gadis tertegun. Sekilas, ia merasa sangat familiar dengan gerakan barusan. Gerakan untuk seseorang yang lebih dihormati. Sebuah visualisasi pun menyerbu pikiran, dimana ia sering diperlakukan seperti ini bak seorang penguasa, dulu.
Lelaki bersurai arang kembali menegapkan tubuh dan mencetak segaris senyum ramah di wajah. Sedangkan Saber masih terdiam, menyimak betul-betul setiap kata dan perlakuan yang diterima. "Fianna?" tanya gadis itu setelah kembali pada realita.
"Oh, ayolah. Tidak mungkin kau tak diberitahu," ucap Diarmuid mendengus lucu. "Kami tiba bersama Raja Penakluk, Yang Mulia Iskandar, tadi siang," lanjutnya.
Lelaki itu kembali membuat sang gadis membisu. Berusaha mati-matian untuk mencerna kalimat demi kalimat. Maniknya menguarkan keingintahuan yang lebih. Seketika ia sadar lantaran Gilgamesh bukanlah penguasa tertinggi disini. Jujur, jika boleh dikatakan, bertemu dengan penguasa Uruk saja belum pernah apalagi mendengar kabar mengenai sosok yang sangat melegenda itu.
"Kau tahu benua seberang?" tanya Diarmuid, semakin mengundang tanya. Saber menggeleng, membuat si lelaki menghela napas. "Coba saja pergi ke Benua Barat. Disana lebih segar dan dingin, kau tahu."
"Benua Barat?" "Oh, ayolah...," dengus lucu dari lelaki bersurai hitam itupun terdengar, "Bukan Benua Tengah saja yang tercantum dalam peta dunia." Sang gadis mengatup bibir secepat yang ia bisa demi menyembunyikan ketertarikan terhadap topik bawaan seorang pejuang Fianna—bernama Diarmuid—di samping. Sesekali sang gadis mengutuk diri sendiri akibat ketidaktahuannya yang luar biasa. "Nampaknya kau belum pernah pergi 'keluar'," ujar Diarmuid, menebak asal seraya memicingkan iris topaz yang dimiliki. Meneliti seluk-beluk kepolosan sang gadis.
Merasa terintimidasi, Saber mengalihkan pandang. Memilih untuk mengakhiri topik yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.
"Maaf," ucap Diarmuid, "Sekedar ingin menghibur." Lelaki itu mengusap leher salah tingkah., takut apabila dianggap tak sopan. "Apa salah satu dari mereka keluargamu atau teman mungkin?" tanyanya merujuk pada abu kremasi para redum.
Sang gadis menggeleng pelan. "Kurasa aku tak memiliki yang seperti itu," jawabnya tetap memaku pandangan ke depan.
Sukseslah gumpalan rasa bersalah menggenangi lelaki Fianna. Ia menggigit bibir, menyesal telah bertanya demikian.
Keheningan kembali terjadi. Suara letupan dari kayu-kayu yang terbakar pun mengiringi kecanggungan di antara keduanya. Sang gadis setia membisu, sedangkan lelaki Fianna terjebak dalam kegelisahan.
"Diarmuid," sela lelaki tersebut. "Diarmuid," ulang sang gadis sebelum meneruskan, "Andaikata, matahari berpindah ke berbagai sisi, dan tanpa ia sadari telah meninggalkan sisa-sisa cahayanya di belahan lain. Menurutmu ... apa yang akan terjadi pada sekelebat kirana yang tertinggal itu?"
Manik topaz melebar. Dimana sang pemilik sungkan untuk sekedar melontarkan sepatah kata dari mulutnya yang membuka. Iris emas itu lalu memandang hamparan pasir tandus milik Uruk. "Entahlah," balas Diarmuid seraya mengindikkan kedua bahu.
Sang gadis berkedip beberapa kali—merutuki diri dan kekonyolannya atas pertanyaan absurd tersebut—sebelum menyuruh si lelaki agar melupakan hal barusan dan melangkah pergi meski proses kremasi belumlah selesai. Meninggalkan lelaki Fianna jauh di belakang dengan gumaman kecilnya.
"Bagaimanapun juga, ia (matahari) tak pernah meninggalkan cahayanya."
Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou mettre en ligne une autre image.
Terima kasih kepada semua pembaca yang rela 'menunggu' dan meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Saya tahu cerita ini update-nya lama, hingga berbulan-bulan. Jadi, mohon maaf sekiranya ada yang kesal karena kelamaan. : )
Silahkan berikan komentar dalam bentuk saran dan kritik, dengan bahasa yang baik & sopan.