📝 entri kedua puluh enam

583 146 6
                                    

Halo. Kangen aku?

Maaf ya Changbin, aku menelantarkanmu sampai sampulmu berdebu. Tidak banyak halaman yang tersisa dan kupikir, aku harus menggunakannya sebaik-baiknya. Cukup untuk menulis surat wasiat, mungkin?

Aku nulis apa.

Kali ini, aku mau cerita sama kamu tentang hal yang penting. Omong-omong, Seungmin udah tinggal di rumah Kak Wonpil. Jisung pun juga udah pindah ke sana. Tinggal aku yang belum memutuskan. Aku masih bimbang dan biarpun sudah lama berlalu, kebimbangan itu belum juga terpecahkan. Untungnya Seungmin enggak memaksaku menjawab pun menyinggung perihal tawarannya waktu itu. Seungmin ingin agar aku memikirkannya sendiri dan menentukannya sendiri.

Tapi aku bercerita denganmu lagi bukan untuk membahas Seungmin, Changbin. Ada hal yang jauh lebih penting lagi.

Sepulang sekolah, Kak Changbin nembak aku.

Serius. Aku pun enggak percaya. Aku kira aku mimpi atau itu cuma halusinasi karena aku kurang tidur lagi (aku enggak ingat kapan terakhir kali aku tidur, tolong jangan lapor ini ke Seungmin). Tapi genggaman tangan Kak Changbin ke tanganku itu begitu nyata. Pun senyumnya. Pun tatapan teduhnya padaku. Kak Changbin yang selama ini hanya bisa kulihat dari kejauhan, seperti bulan yang selalu dirindukan pungguk si buruk rupa, yang enggak berani kudekati karena aku takut semakin jatuh dan semakin berharap. Tapi bahkan saat aku enggak mencoba untuk mendekat, Kak Changbin yang justru mendekat. Kak Changbin yang justru mengulurkan tangannya untuk membantuku, membiarkan telinganya mendengarkan segala keluh kesahku. Kak Changbin yang membuatku semakin jatuh, semakin terjerat sampai aku enggak bisa membayangkan masa depan tanpa Kak Changbin. Kak Changbin yang begitu baik. Kak Changbin yang memandang dunia dengan tatap penuh harap, ia tidak pernah putus harapan, tidak sepertiku. Kak Changbin yang seperti matahari di dalam hidupku—begitu terik hingga aku melebur.

Apa aku pantas untuk Kak Changbin yang sebaik itu?

"Aku—boleh mikir dulu, Kak?"

Kulihat raut wajahnya mengeruh dan aku seketika merasa bersalah.

"Boleh, Fel. Boleh banget."

Kuulaskan senyumku, senyum terbaikku (biarpun mungkin terlihat aneh karena sudut-sudut bibirku terasa begitu kaku), "Aku enggak nolak Kakak secara halus, kok. Tenang aja. Aku cuma butuh waktu."

Dan Kak Changbin balas tersenyum. Dia enggak bilang apapun selain mengangguk dan aku terlalu takut untuk bertanya lebih lanjut. Aku berhutang jawaban pada Kak Changbin. Aku enggak bermaksud untuk membuatnya menunggu, tapi aku enggak mau Kak Changbin menyesal. Aku jauh dari pantas untuk berada di sisinya—mungkin jika Kak Changbin tahu seperti apa borok yang kusembunyikan, ia akan memintaku menjauh dan tak ingin aku mendekat. Aku enggak mau hatiku hancur karena itu, Changbin. Ini buat melindunginya dan hatiku.

Sekarang kepalaku penuh. Aku enggak nangis, enggak bisa. Aku beneran lupa kapan terakhir kali aku nangis karena yang bisa kurasakan sekarang cuma kebas. Enggak ada rasa apapun. Mungkin aku benar-benar jadi robot atau benda seperti yang kuinginkan. Seenggaknya benda enggak bisa merasakan emosi atau empati apapun. Hidupnya damai, tanpa perlu capek lahir batin.

Aku mau nulis dulu. Aneh, aku enggak ada niatan buat nolak Kak Changbin sama sekali, tapi kenapa rasanya dadaku begitu sakit?

catatan felix. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang