I: Bukan lupa, tapi menolak percaya

603 43 1
                                    

Gadis itu hanya bisa tersenyum untuk kesekian kalinya, bagaimana ia dengan begitu bodoh menunggu seseorang yang kembali mengingkari ucapannya. Lisa terlalu hafal, sampai hal seperti ini seolah ia anggap biasa.

Batas waktunya adalah dua puluh lima menit, jika pemuda yang ia tunggu tak kunjung datang dan mengabari maka gadis itu akan pergi setelahnya.

Tebak, apa alasan pemuda itu kali ini? Lisa yakin, Daffi pasti memilih untuk menemani kekasihnya untuk membeli make up atau apapun yang berhubungan dengan orang itu. Tapi Lisa tak yakin secara pasti gadis mana yang Daffi temui kali ini, mengingat pemuda itu tak hanya memiliki satu.

Memikirkannya membuat Lisa kesal, jadi ia memilih untuk melakukan sesuatu yang membuatnya bahagia.

Memotret misalnya.

Ya, Lisa adalah seseorang yang suka sekali mengabadikan hal-hal kecil yang terjadi dalam kesehariannya, atau mengarahkan lensa pada suatu objek yang menarik perhatiannya. Seperti sekarang ini, gadis itu tersenyum di balik kameranya setelah berhasil menangkap momen manis pasangan lansia yang sedang menyeberang jalan sambil bergandengan tangan.

Ia tersenyum puas, di pandanginya foto itu dengan mata berbinar.

Lisa menghela nafasnya, membayangkan hari tuanya bersama dengan seseorang yang selalu berada di sampingnya, menjaganya dan tak akan membiarkan ia terluka. Raut wajahnya perlahan berubah, kesedihan nampak dari sana.

Kenapa harus Daffi yang ia harapkan? Sudah jelas itu adalah hal yang mustahil untuk ia wujudkan, mengingat hubungan keduanya hanyalah sebatas sahabat. Lisa harus ingat batasnya jika tak ingin kehilangan pemuda itu disisinya.

Ckrek

Lisa menoleh kaget, mencari sumber suara. Seseorang dengan kamera serupa dirinya perlahan mendekat, membuat gadis itu heran di posisinya.

"saya penasaran apa yang membuat senyuman itu tiba-tiba menghilang"

Gadis itu masih tak yakin bahwa ia lah yang diajak bicara, tapi mengingat tak ada siapapun di sana selain mereka berdua membuat Lisa akhirnya menyahut.

"penyesalan dan harapan yang membaur"

Pemuda itu mengangguk, membidikkan kameranya pada objek lain.

"jangan lupa pada kekuasaan"

Lisa mengernyit, mencoba untuk memahami maksud dari kalimat si pemuda yang masih sibuk dengan kegiatannya.

"Tuhan?"

Kini pemuda itu menoleh penuh padanya, tersenyum sebentar kemudian mengarahkan kameranya pada Lisa yang memberikan ekspresi kaget.

"kamu keberatan?" tanyanya meminta izin.

"tidak, jika kamu menghapusnya" sahut Lisa dengan sopan.

"tak ada bedanya" si pemuda berujar, sambil menghapus hasil tangkapannya tadi di hadapan Lisa.

"percuma, karena saya akan tetap ingat. Menghilangkan sesuatu bukan berarti kamu lupa, hanya saja menolak untuk percaya" ujarnya melanjutkan.

"saya Johan" ucapnya memperkenalkan diri, yang langsung di sambut oleh Lisa ramah.

"kamu bisa memanggil saya Lisa"

"saya tahu"

Mendengar hal itu sukses membuat Lisa heran tentu saja. Jadi, orang ini mengenalnya?

"kita berada di fakultas yang sama" ujar Johan menjelaskan.

"saya menyesal tidak pernah melihat kamu sebelumnya" balas Lisa membuat si pemuda hanya bisa terkekeh di sana.

"mulai sekarang kamu akan sering melihat saya"

"serius?"

"saya akan membuktikannya besok" ujar Johan tak hentinya membuat gadis itu terkejut.

"saya tak sabar untuk itu" balasnya antusias.

"saya juga. Tapi maaf, karena sekarang saya harus pergi" Johan bersua sambil menoleh pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya.

"oke. Sampai bertemubesok"


.

.

.

.

.

[To Be Continued]

Akhirnya cerita ini di post juga, uwuuuu... Satu hari, satu chapter. Oke? Mantul kawan-kawan...

Delusion | [Completed]Where stories live. Discover now