Menit terus bertambah, jam semakin cepat berputar. Hari berganti seakan tak disadari. Seperi hari biasa aku mengenyam bangku sekolah menikmati masa-masa akhir di pendidikan formal. Rasanya tidak ada 2 bulan lagi aku di sini ya SMA NUSANTARA.
Di sekolah ini ribuan kisah terjalin manis kadang asam juga. Mengenal banyak orang dengan latar belakang yang berbeda, cerita hidup unik tersaji di sini. Namun kalian sudah pasti menebak banyak kisah yang terjadi bersama si Biang Kerok. Benar sih, entah apa yang ingin Tuhan katakan padaku sehingga hidup ini tidak terlepas dari sang kawan. Aku sudah sedikit merelakan dia sebagai kawan. Sebab berharap tanpa kepastian itu menyakitkan bukan?.
Kata abangku. "Sesuatu yang terjadi tidak harus sama dengan yang kita harapkan dan rencanakan. Serahkan pada Tuhan, dimana DIA lah pembuat skenario terbaik."
...saatnya memasuki jam istirahat dimulai...(bunyi bel otomatis SMA NUSANTARA)
"Ra....?" Zuki menghampiriku.
"Iya." Jawabku cuek.
"Maafin aku soal kejadian beberapa hari lalu di Mall." Kata Zuki sambil memegang erat tanganku.
"Iya gak pa pa." Jawabku cuek lagi sembari melepas genggaman Zuki.
"Kok cuek gitu. Ra senyum dong." Pintanya lagi.
"Udah gue mau jajan."
"Wati, tunggu gue ikut ke kantin." Teriakku pada Wati.
"Ra, bentar. Jangan pergi dulu. Jujur ya, gue rindu berantem sama lo. Kangen diomelin lo." Zuki memang tidak bisa lepas begitu saja dengan Zura.
"Basi tau gak!." Ucapku dengan nada tinggi lalu meninggalkan Zuki. Aku malas berlama-lama dengan di si biang kerok yang suka bikin ulah.
Sikap dinginku pada Zuki bukan pertanda rusaknya pertemanan kami. Bagaimana mungkin kami berhenti bertemen lagipula rumah kami saling berhadapan. Kali ini aku Azzura hanya ingin mengambil jarak dengannyan. Aku percaya dengan menjaga jarak luka ini perlahan mengering. Tidak saat ini mungkin lusa atau lain hari. Aku sangat yakin dia akan benar-benar kering lalu menghilang. Bahkan diri ini berjanji tidak lagi mencintai Zuki. Status kita hanya teman masa kecil. Dia baik karena menganggap Azzura seorang gadis yang perlu dijaga sehingga perhatiannya lebih, mungkin akan lain cerita jika aku terlahir sebagai seorang pria. Zuki akan membiarkanku berjalan sendiri bahkan bisa jadi aku ini saingan dia. Aku mulai memasukkan doktrin positif supaya mengabaikan sakit ini. Jika boleh jujur aku masih mencintai Zuki sama seperti dulu.
Akupun kembali duduk dibangku ku. Terlihat secarik kertas melambai di laci meja. Segera ku raih. Kertas itu rupanya dari Si Biangkerok.
"Kebo maafin aku. Aku sayang kamu adikku, temanku sekaligus musuhku." Isi Tulisan itu. Kebiasaan Zuki untuk mencuri hati Zura kembali. Anak itu memang memiliki seribu cara agar hati temennya luluh.
Aku lalu menatap Zuki dalam pertanda aku sedang tidak marah padanya. Tatapan redup yang terpancar dari wajah Zuki tak seperti biasa. Mungkin karena dia sangat merasa bersalah. Sesekali pria itu tersenyum dengan menggerakan tubuh nya. Aku tak bisa menahan geli akibat ulah Zuki. Sontak aku menganggukkan kepala lalu beberapa kata terlontar dengan sendirinya.
"Mana mungkin kita musuhan lama-lama. Gue juga kangen lo Zuk."
Pria berambut ikal itu langsung memelukku. Membuat jantungku berdegub kencang keringatpun membajiri seragam Osis. Pipiku seketika merah merona saat semua siswa bersorak riuh melihat Zuki memelukku erat.
"Gue janji nggak bakal ninggalin Lo kaya kemarin lagi Ra." Cetus Zuki tepat di telinga Zura.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Rasanya enggan melepas pelukkan hangat itu. Pria ini mampu membuatku nyaman, dia juga yang mengenalkan apa itu cinta.
Kadang aku berpikir apa salahnya mencintai teman sendiri. Menurutku sah - sah aja kok lagipula temen deket kita sudah terbiasa dengan tingkah baik buruk yang kita lakuin. Namun, terlaku munafik sih berpura-pura tidak suka dan menutup segala luka. Sudah aku saja.
"Wah Romeo Juliaet udah baikan nih." Suara khas Wawan yang polos bermaksud mengejek kami.
"Oh Juliet. Jangan marah mulu abang bingung harus bagaimana lagi." Ledek Bagas juga.
"Tidak sayang, mana mungkin aku marah.!" Sambung teman lain. Suasana kelas mendadak ramai.
Beberapa saat kemudian Pak Joko salah satu guru BK di sekolah itu datang membawa puluhan browsur. Anak-anak ribut meraih bangku mereka masing-masing. Maklum, Pak Joko ini guru paling ditakuti. Mengapa demikian? Karena jika ada anak melanggar peraturan pasti dijatuhi hukuman. Ya, hukuman tentu memiliki maksud dan tujuan baik.
"Hla.. hla ayo cepat duduk!." Bentak tegas Pak Joko.
"baik pak."
"Assalamualaikum wr wb."
"Waalaikumsalam wr. wb."
"Jangan kaget, jangan tegang Bapak tidak ingin memanggil siswa untuk dihukum. Saya ingin menyampaikan 2 bulan lagi kalian akan menghadapi Ujian Nasional." Terang bapak setengah baya itu.
"Kapan pak." Tanya seorang siswa dibelakang.
"Bapak belum buka pertanyaan. Dengarkan dulu."
"Ujian Nasional adalah pertempuran terakhir bagi anak kelas 12 di SMA. Namun perlu kalian tahu perjalananan kalian tidak cukup berhenti sampai di sini. Masih ada Tes Masuk Perguruan Tinggi, maksimalkan itu. Kalian Paham?." Lanjut pak Joko.
"Paham pak."
"Ini ada browsur beasiswa ke Singapore. Bapak harap dari 35 anak di kelas ini 50% berminat mencoba." sembari membagikam browsur.
Mendengar kabar baik itu Aku sangat senang karena selama ini beasiswa ini yang aku tunggu. Aku ingin menyusul pendidikan tinggi di Singapore layaknya Kak Afu. Aku terus membayangkan serangkaian mimpiku. Hingga tak fokus lagi mendengarkan penjelasan Pak Joko.
"Dari penjelasan tadi siapa yang belum jelas?" Tanya Pak joko.
Alih-alih semua siswa terdiam saat pertanyaan itu terlontar dari sang guru BK tersebut. Seluruh siswa sibuk mencerna isi browsur kecuali si Zuki dia malah tidur di kursi pojok. Ya dia tidur sedari tadi saat Pak Joko menjelaskan.
"Ini adalah awal untuk sebuah mimpi agar terwujud. Tunggu aku di Singapura kawan." Gumamku dalam hati.
***
Jangan Lupa Vote Komen dan Share ke temen-temen kalian ya. Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Aku sayang kalian. I love you.
KAMU SEDANG MEMBACA
AIZURA (Proses)
Teen FictionKau bukan milikku tapi setidaknya kau pernah bersamaku meski bukan dalam ikatan cinta. Ya, persahabatan yang terjalin di antara kita sejak kecil. Bukan kah itu sudah lebih dari cukup bagimu? Bukan kah itu yang selalu kau katakan padaku? Bukan kah...