09| m e n e d u h

596 95 13
                                    

/ we look at each other like we're about to kiss /
🌔🌕🌖

Ada yang mesti dipertanyakan bagi mereka yang bilang masa kuliah itu masa paling indah. Secara, dimana indahnya sih, woy? Kayak sekarang ini. Saya sudah mati-matian ngumpulin niat datang ke kampus walau hujan badai menerpa––yang memang betulan sempat hujan tadi waktu dalam perjalanan, sampai-sampai saya tiba di kampus dalam keadaan kayak orang habis berenang saking lupanya bawa jas hujan, tapi nyatanya dosen saya baru datang sepuluh menit sebelum kelas buyar.

Kan kampret gitu. Jam tangan gede yang biasanya bertengger di pergelangan tangan dosen saya itu cuman dibuat perhiasan doang apa, ya?

Tapi saya harus bersyukur, telatnya beliau bikin saya sempat ngeringin baju di bawah kipas sekaligus leyeh-leyeh di ruangan BEM. Nggak, saya bukannya anak BEM. Kebetulan saja tadi papasan sama Jeremy, dan lihat saya yang nganggur dalam kondisi basah kuyup, jadilah dia ngajakin ke ruang BEM. Katanya, mau ketemu temannya yang anak BEM buat bahas tugas kelompok.

Halah, padahal juga di sana malah cangkruk.

Saya melangkah ke arah parkiran masih dengan perasaan setengah dongkol. Melihat langit yang masih saja mendung, sepertinya saya bakal sampai di kosan dalam keadaan basah kuyup lagi. Nggak tahu deh, tapi kayaknya hari ini dosen saya dan alam semesta lagi hobi bercandain saya.

"Brian, Brian!"

Ini apaan lagi coba manggil-manggil segala. Saya yang sudah bete setengah mati, menoleh dengan malas ke sumber suara di belakang.

"Eh, Yu?"

"Tungguin, hehe..." Ayunda nyengir sebelum bergegas menghampiri saya.

Saya diam. Sumpah, lihat dia begitu doang, kayaknya muka sekaligus mood saya jadi nggak asem-asem banget kayak tadi.

"Kok diem? Nggak mau pulang?" tanya dia.

"Ah, iya." Saya kembali meneruskan langkah menuju parkiran, kali ini diikuti langkahnya. "Nggak nebeng Jeremy?"

Ayunda menggeleng. "Gue aja nggak tahu dia ada kelas hari ini."

"Terus? Balik sama siapa?"

"Gue bawa motor kali, Bri. Tuh, udah selesai diservis dari kemarin-kemarin." Ayunda menunjuk motornya yang terparkir di bawah kanopi. Enak bener, kasihan motor saya kehujanan-sama halnya kayak yang punya-gara-gara tadi tidak kebagian tempat teduh.

"Iya apa?"

"Iya. Yang di studio waktu itu juga gue boncengin Anya pakai dia."

Saya ber-oh panjang menanggapinya. "Mendungnya gila, ya. Dari pagi lho ini."

Dia mendongak menatap langit. "Lo pulang duluan aja deh, Bri. Gue masih nunggu Dio, tadi dia habis kelas izin mau ke temennya yang anak Taekwondo juga bentar."

"Yaaa, nggak apa-apa. Gue temenin nunggu."

"Bentaran doang paling, Bri. Lo pulang aja, dari pada nanti kehujanan."

"Ya, kan kita searah baliknya. Mana mendingan kehujanan bertiga daripada sendiri."

Ayunda meringis kalah, lantas memindahkan motornya ke dekat motor saya berada. "Terserah lo aja, deh."

Jadilah saya dan Ayunda menunggu Dio di atas motor kami masing-masing. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas. Dan langit semakin gelap.

Memang Dio ini diam-diam bisa kurang ajar juga, ya.

"Lah, kampret!" umpat Ayunda tiba-tiba seraya menunjukkan layar HP-nya kepada saya dengan berapi-api. "Tadi bilangnya ketemuan doang, sekarang malah nyuruh gue pulang duluan soalnya masih ada kumpul."

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang