Devan tak tahan. Lagi. Berulang kali mencoba menerima kenyataan, namun lagi-lagi pendiriannya hancur dengan hanya mendengar tangisan Kevan soal ibunya.
Devan seharusnya bisa mengatasinya sebagai seorang ayah. Sebagai seorang ayah yang tidak akan tergoyahkan. Namun nyatanya, Devan juga manusia yang mempunyai kelemahan.
Anak bungsunya masih terlalu kecil. Devan tak mau pusing memikirkan bayi itu dahulu. Selama ia tidak menanyakan ibunya, Devan tenang-tenang saja. Sementara Kevan sudah dewasa, selama ia hidup, selama itu ia mengenal dan hidup bersama Key.
Devan harus jawab apa?
Karena tak mendapat jawaban yang ia inginkan, Kevan menangis. Berulang kali bertanya, namun Devan tak pernah memberi jawaban.
Apa salahnya merindukan seorang ibu?
Devan terenyuh. Menarik balita itu dari belakang dan membenamkan wajahnya di punggung sempit Kevan. Menyembunyikan air matanya yang tak bisa ia tahan. Seharusnya seorang ayah tak boleh menangis di depan anaknya. Namun, sekali lagi, Devan hanya seorang manusia yang bisa menangis dan terlihat lemah.
"Kenapa menangis? Ada aku. Aku tidak akan pergi kemanapun."
Tangis Kevan menghilang. Devan masih bisa mendengar isakan-isakan kecil balita itu ditelinganya. Kevan sudah tenang, tapi masalahnya adalah, ia tidak bisa menenangkan dirinya sendiri.
"Devan aku ingin bertemu anak kita. Bangun."
.
.
.
Devan tersentak. Lagi. Punggungnya terasa pegal dan wajahnya terasa kebas. Wajahnya terasa basah dan tanpa sadar menggulirkan matanya ke arah samping.
Devan menahan napas. Namun senyuman malaikat di depannya membuat Devan banyak berharap.
Berharap bahwa yang tadi itu sekali lagi hanya mimpi.
"Kenapa menangis?"
Air matanya menetes lagi. Saat tangan kurus dan lemah itu mengusap pipinya. Devan menggenggam tangan itu dan menciumnya dalam. Menutupi wajahnya yang kacau, karena ini terasa begitu nyata.
"Tolong katakan padaku, tidak ada mimpi dalam mimpi yang di dalam mimpi, 'kan?"
Key tersenyum kecil. "Mungkin ada. Tapi Devan kau tidak sedang bermimpi."
Devan mengangkat wajahnya sementara tangannya masih menggenggam tangan Key. "Aku bermimpi buruk."
"Seberapa buruk?"
"Sampai rasanya ingin mati," Devan mengecup tangan Key dalam. "Key kau tidak boleh meninggalkanku," lirihnya.
Key mengulurkan tangannya yang satu lagi dan mengusap kepala Devan yang menunduk. Sedikit kesulitan karena Kevan sudah tenang berada di sisinya semenjak Key tersadar.
"Iya aku tahu." jawabnya lembut. "Bisakah aku bertemu anak kita?"
Devan menghela napas. Menenangkan dirinya sampai ia benar-benar sadar bahwa ini semua adalah nyata. Tidak ada lagi mimpi ketiga. Tak ada lagi yang namanya bermimpi dalam mimpinya mimpi. Dalam hati mengucapkan ribuan syukur kepada Tuhan karena Key masih ada di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like A Maze
RomanceHidup itu tak ubahnya labirin. Banyak kelok yang kadang menyesatkan. Kadang menjadi petaka. Kadang berbuah manis pada akhirnya. Tak ada yang dapat menebak jalan labirin tanpa berusaha. Pada akhirnya, kita hanya akan berputar putar di tempat yang sam...