Seminggu sudah berlalu semenjak kepergian ayah, aku dan mama sudah mulai menerima kenyataan bahwa kami harus mengikhlaskan ayah dan menjalani hari-hari seperti sediakala, mama sudah masuk kerja dan aku sudah mulai kuliah seperti biasa dan melanjutkan skripsiku yang sedikit lagi akan kelar, aku sudah mengikuti sempro dan tinggal sidang meja hijau.
Aku ingin sekali membuktikan pada Rama bahwa semua ini bisa kulakukan sendiri tanpa harus melibatkannya, meskipun terbilang sedikit lambat tapi aku bangga dengan hasil kerja kerasku sendiri, meskipun semua orang bilang jika hanya mempunyai gelar sarjana 1 tidak terlalu hebat menurutku itu tergantung bagaimana dia berusaha menyandang gelar itu, aku pribadi merasa sangat bangga kelak jika aku sudah wisuda, karena hanya aku dan Tuhan yang tahu bagaimana semangat dan kerja kerasku selama ini untuk tetap mempertahankan IP 04.00 ku disetiap semester, dan untuk semester terakhir ini aku akan usahakan tamat disemeter tujuh dengan 3,5 tahun kuliah dan mendapatkan IPK 04.00, aku akan berusaha mati-matian untuk mengejar itu, aku ingin membuktikan mama jika aku kuliah sungguh-sungguh, bukan hanya datang dan pacaran saja, aku ingin membuktikan pada ayah jika selama dia hidup uang yang ia beri untukku membayar spp tidaklah sia-sia, dan juga akan kubuktikan pada Rama aku bisa mencapai itu semua dengan upayaku sendiri.
"Rum, mama teringat sesuatu" ucap mama yang masuk kekamarku menggangguku mengerjakan skripsi dan sudah membawa potongan buah naga merah segar ditangannya, dia memberi untukku dan langsung saja aku menyantapnya.
"Apa ma?" tanyaku merespon ucapannya, "Ketika kau kerumah sakit, waktu itu, siapa lelaki tampan yang mengantarmu?"
Pertanyaan mama mampu membuatku menghentikan gigitanku pada buah merah itu, aku ikut berpikir, apakah yang dimaksud mama lelaki jangkung pemilik kafe itu?
"Oh iya ya ma" hanya itu jawabanku.
"Loh.. kok oh iya sih, dia siapa Rum?" Mama mulai penasaran dengan responku.
Seingatku ketika dia mengantarku waktu itu, aku tak bicara banyak, sesampainya dirumah sakit aku langsung berlari kecil keruangan ayah untuk melihat jenazahnya, namun aku ingat lelaki itu mengikutiku sampai ruang ayah karena ketika di lift dia bersamaku, kemudian ketika aku bertemu mama aku langsung memeluk mama tanpa memperdulikan lelaki itu lagi, aku tidak tahu bagaimana kelanjutannya yang jelas hingga saat ini aku tak melihat lelaki itu lagi.
"Astaga ma! Rum bahkan belum tahu namanya dan belum sempat mengucapkan terimakasih" Aku menepuk jidatku.
"Kok bisa?" mama kebingungan, "Jadi dia orang asing?" lanjut mama, aku tak punya pilihan lain selain mengangguk.
"Mama pikir dia selingkuhan kau"
"Huss! enak aja, mama pikir Rum tukang selingkuh?" sewotku,
"Ah, tidak apa Rum, mama setuju kau dengan lelaki itu, dia tampan dan kelihatan baik"
Aku tertawa mendengar ucapan mama, aku tahu persis mama tidak menyukai Rama, namun lucu rasanya jika mama menjodohkanku dengan lelaki yang bahkan aku tidak mengetahui namanya.
"Ma, Rama mau dikemanakan?" tanyaku, "Kau putuskan saja dia" ucap mama langsung, aku hanya bisa tersenyum. Aku tak pernah melarang mama untuk menyetujui atau tidak hubunganku dengan Rama, biar semua itu menjadi hak mama dalam menilai pantas atau tidak seseorang bersamaku, aku percaya jika orang mengatakan naluri seorang ibu tak pernah salah, maka dari itu aku membiarkan saja mama berpendapat apapun tentang pacarku, aku tak pernah menyalahkan atau membenarkan.
"Rum, mama bersungguh-sungguh. kau harus mengucapkan terimakasih dan mencari tahu nama lelaki tampan itu"
"Oke" jawabku masih terkekeh, tanpa mama suruh pun pasti aku akan mencari tahu, lelaki itu banyak membantuku, aku akan datang ke kafe itu lagi, aku yakin pegawai atau pelayan kafe itu bisa memberiku informasi tentang lelaki jangkung itu.
"Terimakasih untuk mengingatkan Rum ma" Mama tersenyum-senyum, aku akhirnya bisa melihat senyum mama yang tulus lagi setelah kepergian ayah, apakah hanya dengan membicarakan lelaki itu bisa membuat efek yang sebaik ini untuk mama? ada-ada saja orang tua satu ini!
***
"Ada yang bisa saya bantu mbak?" tanya pelayan kafe yang sengaja aku panggil itu, kini aku mengikuti permintaan mama untuk mengucapkan terimakasih, namun apakah benar ini semua demi mama? bukan demi diriku sendiri yang ingin bertemu nya lagi? ah tidak seperti itu!
"Kau tahu pemilik kafe ini?" tanyaku, pelayan wanita itu kelihatan berpikir sesaat, "Saya kurang tahu mbak, saya baru disini" jawabnya, aku melirik seragam yang dia kenakan masih menggunakan putih-hitam, jelas saja dia tak mengetahui atau belum mengetahui persis tentang kafe ini, "Baiklah, terimaksih" Aku tersenyum padanya, dia berlalu pergi, aku menyeruput kembali ice green tea latte-ku, aku melihat kepenjuru kafe mencari sosok jangkung itu atau siapapun yang bisa memberiku informasi tentang lelaki yang pelit senyum itu.
Aku melihat seorang barista yang aku yakini sudah lama bekerja dikafe ini, mengingat semenjak pertama kali aku datang kekafe ini sekitar setahun yang lalu, aku sudah melihat barista itu.
"Mas" sapaku padanya, aku sengaja mendatanginya agar tidak mengganggunya yang tengah asik meracik kopi.
"Ada apa mbak? mau pesan kopi?" tanyanya sopan, aku menggeleng. "Saya mau bertanya" akhirnya kutanyakan tentang lelaki jangkung itu dan aku tidak salah orang lagi kali ini.
"Oh, pemilik kafe ini itu mas Nata, dia itu lelaki yang sangat sibuk sekali, bahkan dia baru balik ke Indonesia sekitar seminggu yang lalu setelah dua tahun tak berkunjung ke Indonesia karena mendengar kabar orangtua nya sakit dan kemudian meninggal dihari kedatangannya itu" ucap barista yang aku tahu bernama Kevin itu.
"Oh? orang tuanya meninggal seminggu yang lalu?" tanyaku tak percaya, kalau benar begitu berarti ketika aku bertemu dengannya di kafe dia tengah bersedih karena orang tuanya meninggal, dan aku tak meyangka jika orang tua kami meninggal dihari yang sama, sungguh suatu kebetulan.
"Iya, Ayahnya meninggal"
"Ayah?" tanyaku sedikit histeris, aku tak menyangka jika nasib kami benar-benar sama, aku jadi salut padanya yang bisa tetap menenangkanku dimobil waktu itu sementara dia sudah lebih dulu menderita sepertiku, sungguh aku benar-benar merasa ingin bertemu dengannya saat ini dan menguatkannya seperti dia menguatkanku mengingat ekspresinya ketika dikantin dan di mushola itu sangat memprihatinkan, jika aku boleh jujur tepukannya dibahuku saat itu benar-benar sangat membantuku.
"Sekarang dia dimana?" tanyaku lagi, "Selama seminggu ini dia tak terlihat, saya kurang tahu apakah dia sibuk atau sudah pulang lagi ke Sydney" katanya sambil terus fokus meracik kopinya.
"Kau tahu alamatnya tempat tinggalnya disini?" tanyaku dan aku kecewa ketika barista itu menggeleng.
"Nomor hpnya?" aku masih berusaha,
"Saya tak berani memberinya kesembarang orang mbak, karena dia benar-benar menjaga sekali privasinya" jelas barista itu dengan ekspresi yang menyesal, aku tersenyum mengerti, lagipula tak mungkin aku dapat memaksa, karena aku sama sekali tak mengenal lelaki jangkung yang bernama Nata itu.
"Kalau begitu terimakasih infonya" ucapku ingin beranjak pergi.
"Tunggu mbak" dia menahanku, aku berhenti.
"Jika memang mbak berniat sekali bertemu dengan mas Nata, coba mbak datang ke kafe nya yang satu lagi, memang sedikit jauh dari sini, namun setahu saya mas Nata lebih sering disana daripada disini" jelasnya, seperti mendapat angin segar aku segera mencatat alamat yang diberikan Kevin, meskipun lumayan jauh namun tak mengapa, yang penting aku sangat ingin berjumpa dengan lelaki itu.
"Nama kafenya sama dengan ini mbak, nature cafe, itu salah satu cabang dari kafe ini" jelasnya, aku hanya ber'o' dah mengangguk, sejujurnya aku baru tahu kafe ini sudah memiliki cabang.
"Kalau begitu saya akan kesana sekarang, terimakasih bantuannya Kev" aku mengulurkan tangan padanya yang disambut hangan olehnya, kemudian membayar bill ppesananku dan beranjak ke kafe itu berharap bisa bertemu dengan Nata, kini aku benar-benar penasaran dengannya, tak pernah aku merasakan sepenasaran ini kepada seseorang seperti aku penasaran dengan lelaki jangkung itu.
YOU ARE READING
Melepasmu Untuk Menggenggamnya
RomanceAda satu hari yang paling aku sesali dalam hidup Satu hari yang mengubah hidupku Satu hari yang tak akan pernah kulupakan bahkan ketika aku terlelap sekalipun Satu hari bersamanya Satu hari penuh marah dan luka Dan aku membuat keputusan menyerah Me...