Bapak mengantarku sekolah seperti hari-hari biasanya, kali ini aku tak menggenakan seragam putih abu melainkan busana muslim dan rambut panjangku agak sulit di atur agar terutup seluruh rambutku saat menggunakan jilbab. Hari ini tidak ada diskusi atau latihan untuk lomba kegiatan sekolah untuk tiga hari kedepan di isi dengan muhasabah diri tadarus bersama, mendengarkan siraman rohani dan lain lain, itu artinya pulangnya pun lebih awal setelah sholat Dhuhur berjamaah. Resmi pula hari ini aku dan Bapak akan sementara waktu menetap di kios, barang-barang kebutuhan seperti kompor kasur lipat buku-buku sekolahku sudah bapak ungsikan. Rumah tidak direnovasi total hanya di perbaiki yang sudah usang dan kabar baiknya kali ini rumah kami akan di tegel. Asik. Kami bersepakat akan mengecet rumah dengan warna biru laut. Meski bapak tidak setuju tapi aku memaksa. Bapak selalu tepat waktu dalam menjemputku bukan hanya soal menjemput tapi dalam segala hal bapak selalu tepat waktu. Kami siap meluncur ke kios. Kios bapak tidak terlalu besar dan tidak pula terlalu kecil, tetap bisa digunakan untuk berjualan. Jika sebelumnya kios dipenuhi kelapa kali ini bapak memberikan ruang untuk tempatku beristirahat. Kios di rombak pula. Depan di penuhi alat pemarut kelapa serta keranjang-keranjang besar untuk kelapa. Lalu bapak beri sebuah triplek untuk sekat pemisah toko dengan tempat beristirahat. Meski sempit harus membagi tempat memasak dan beristirahat semua bisa di atur. Kompor diletakan bersebelahan dengan alat pemarut kelapa tidak menyatu dengan dipan. Dengan demikian otomatis bapak akan terus membuka kios nya akan buka setelah sahur dan tutup menjelang shalat tarawih di buka lagi setelah shalat tarawih. Di depan kios bapak adalah kios milik Cak Wanto beliau berjualan segala macam kue kering, tidak hanya kue kering ada kacang, kerupuk, brownis kering, keripik singkong dan lain-lain. Kios bapak terletak di dalam baris kedua paling pojok dari arah pintu keluar. Di luar pasar ada sebuah tenda sate ayam madura sangat lezat nah itulah tempat berdagang milik orang tua Dira dan Shifak, Pak Sadra. Beliau langganan batok kelapa bapak serta serabut kelapa bapak selalu di borong untuk bahan bakar sate ayamnya.
"Kak Lily." Seorang gadis menyapaku saat aku duduk di depan sedangkan Bapak sibuk membuka kelapa dari batoknya.
"Dira." Sapaku sambil meletakkan buku yang sedang kubaca
"Dira sudah bilang Ayah kok kalau main kesini, soalnya Dira bosen di sana gak ada Ibu gak ada Kak Shifak."
Ucap Dira dengan membawa sesuatu di tangannya.
"Loh kak Shifak kemana?"
"Menjaga ibu di rumah sakit. Katanya nanti habis tarawih ibu boleh pulang kak Lily." Dira pun sekarang duduk bersebelahan denganku
"Apa yang sedang kau bawa itu Dira."
Dira celingukan lalu membisikan seauatu ke telingaku. Dan aku terbahak sebab ia takut salah ucap.
"Bisa kau ulangi lagi Dir?" Ucapku sambil menahan tawa
"Drim kecer." Dan aku semakin terbahak. Dira ikut menahan tawa
"Sekali lagi?"
"Drim kepsyer." Dan aku semakin terbahak. Bapak sudah melotot kepadaku aku seketika terdiam.
"Dream catcher Dira." Aku menuliskan dan mengatakan kepada Dira
"Nah maksud Dira begitu." Sambil menutup mulut. Malu.
"Dia mendapatkan itu darimana?"
"Dari lemari Kak Shifak."
"Eh kau sudah bilang ke Kak Shifak?"
"Belum. Lah Dira kalau mau pinjam selalu tidak diperbolehkan." Bibirnya terlipat
"Tidak boleh Dira kau harus tetap bilang."
"Tapi Dira ingin tahu."
"Sekarang kak Lily antar pulang ya dikembalikan di tempat semula ya."
"Tidak mau." Dira sudah menggeleng dengan keras
"Kak Lily punya kok nanti kak Lily bisa pinjamkan pada Dira."
Bapak sudah mengangguk setuju. Dan kami pun bergegas menuju tenda tempat Ayah Dira berjualan. Aku menjelaskan satu dua kalimat ramai sekali banyak pengunjung antri membeli sate ayam milik Pak Sadra. Tak perlu pergi kerumah Dira dream Catcher milik Shifak dikembalikan Dira kepada Ayahnya. Kami pun kembali ke kios mengambil dream catcher yang ku kaitkan di triplek pembatas kios dengan tempatku beristirahat.
"Wah punya kak Lily lebih besar ya. Tapi warnanya hitam."
"Dira tidak suka warna hitam?"
"Tidak tapi Dira suka drim kecer milik kak Lily." Aku sudah menahan tawa.
"Dira pernah mimpi buruk?"
"Pernah kak pernah sering malahan Dira mimpi pocong, mimpi hantu besar. Takut Dira."
"Hii seseram itu?"
"Iya sampai-sampai Dira menangis pas bangun." Dira antusias sekali bercerita
"Kalau kak Lily tidak pernah."
"Kok bisa?"
"Karena kak Lily punya ini." Aku menunjukan dream catcherku dengan ukuran lebih kecil berwarna biru, dan dapat kulihat dari ekspresi Dira ia sangat antusias ingin sekali memegang dream catcherku.
"Wahhhh ini lebih mungil dan bagus kak Lily." Bapak di belakang sedang mencuci tangan itu tersenyum
"Ini untuk Dira." Aku memberikan dream catcher mungil ku kepada Dira
"Wahhhhhhh bagus sekali terimakasih kak Lily." Dira sudah lompat memelukku.
"Lalu ini apa gunanya kak Lily?" Dira mengangkat tanganya di putar putar dream catcher nya.
"Drean catcher ini sebagai penangkap mimpi buruk Dira, jika Dira memasang dream catcher ini di pintu atau di dinding kamar setiap kali Dira bermimpi buruk dream catcher akan menangkapnya menyembunyikan mimpi buruk di ganti dengan mimpi indah."
"Wah canggih ya. Bentuknya bagus ada bulannya kayak kalung kak Lily." Kali ini Lily menunjuk jarinya ke arah liontin bulanku
"Kalau yang ini kak Lily tidak bisa berikan pada Dira." Aku tertawa bersama bapak yang sedang bercengkrama dengan pedagang lain sambil mengacak-acak rambutku.
Menunggu adzan maghrib kali ini banyak kuhabiskan bercerita dengan Dira dan membuat properti untuk perlombaanku yang di bantu Bapak. Dan dream catcher kesayangku sudah berpindah tangan ke Dira. Semoga selalu mimpi indah Dira.

BiangLara (Segera di Bukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang