23

143 17 14
                                    

"RURU?"

Cewek yang sekarang sudah berdiri di depan Maitreya hanya mendengus. "Gembel banget sih lo." Ujar Ruru tanpa ampun.

"Buruan, Dek! Apa mau turun disini?!" teriak kernet di pintu bus, agak galak. Sambil menggebuk-gebuk pintu bus yang selalu terbuka.

Ruru menoleh sekilas pada kernet itu, "Iya, bentar." Setelahnya, dia kembali menatap Maitreya yang masih berdiri seperti orang bingung. "Kalo lo mau pulang, ikut gue!" perintah Ruru berjalan mendului Maitreya.

Sampai Ruru siap menaiki bus, Maitreya masih saja berdiri tanpa bergerak sedikitpun. "Oh, mau disitu terus?"

Barulah Maitreya berlari mengejar Ruru.

Di dalam bus, mereka berdua duduk berdampingan dalam diam. Ruru seperti sedang dalam kondisi tidak ingin mengobrol. Sedangkan Maitreya berada dalam kondisi bingung harus memulai percakapan dari mana sekaligus masih terkejut dengan pertemuannya dengan Ruru.

Kernet bus mulai berjalan mendekati penumpang baru satu per satu. Hingga tidak lama tibalah dia di samping Maitreya. Dengan tanpa dosanya, Maitreya memberikan 2 lembar uang dua ribuan yang dia punya. Sontak kernet itu emosi, "Gua kernet! Bukan pengamen! Sekate-kate lo ngasih duit segini?!"

"A-anu, sori, Bang. Cuma itu duit yang saya punya. Bener, deh! Gue nggak bohong, Bang!" ucap Maitreya jujur dan sedikit malu.

Kernet itu tampak makin kesal, "Oh, jadi lo kagak punya duit!? Ya udah, turun sana! Enak aja, numpang gratis!" kernet yang bau badan itu siap menyeret Maitreya keluar, tapi gadis yang duduk di samping Maitreya menahannya.

Ruru memberikan sejumlah uang sesuai tarif.

Sewot, kernet itu mengambil uang dari Ruru. "Gagal lo jadi laki! Pacaran yang modal ceweknya!" setelah itu, kernet kembali menarik ongkos ke penumpang yang lain.

Maitreya jadi merasa tertolong sekaligus tidak enak pada Ruru yang menolongnya. "Makasih." Ucap Maitreya singkat. Saking bingungnya.

"Ya." Jawab Ruru tanpa menoleh. Sejak naik bus bersamanya hingga sekarang, Ruru terus menatap ke luar jendela.

Rupanya, bayangan Ruru yang terpantul dari kaca bus menjadi perhatian Maitreya. Sampai Ruru menyadarinya, namun Ruru memilih untuk diam saja.

"Maaf. Waktu itu gue sama sekali nggak ada maksud buat ngerendahin lo atau apa." ucap Maitreya menyesal sambil terus menatap pantulan wajah Ruru di kaca.

"Ya." Jawab Ruru tanpa menoleh.

"Lo mau maafin gue?" ulang Maitreya tidak yakin. Sebab jawaban Ruru yang teramat pendek seakan tidak benar-benar berniat memaafkan Maitreya.

"Ya."

"Serius?"

"Ya."

"Beneran?"

"Ya."

"Ikhlas?"

Akhirnya Ruru memalingkan wajahnya. Kali ini bukan pantulan wajah Ruru lagi, tapi benar-benar wajah Ruru yang Maitreya tatap. "I-YA."

Namun Maitreya tetap tidak yakin, "Kayak kepaksa gitu."

"Terus kudu gimana?" tanya Ruru ikut menatap Maitreya.

Ditatap begitu oleh Ruru, membuat Maitreya jadi salah tingkah. Dia menegakkan punggungnya, lalu pura-pura sibuk melihat pemandangan luar yang sedari tadi Ruru perhatikan, "Anu, pemandangannya bagus ya?" Maitreya mengelus hidungnya.

Perhatian Rurupun kembali ke pemandangan luar, "Gelap, nggak keliatan apa-apa."

"Ah, iya, anu. Kalo ada lampunya. Maksudnya, kalo diliat dari pesawat pasti bakal bagus."

AmnesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang