Bab 1. Korps Taktis Khusus

7 1 0
                                    

Menjadi orang yang menggenggam senjata api demi Tanah Air, itulah cita-citaku sejak kecil. Aku selalu menganggap para tentara yang mengacungkan senjata mereka dengan gagah berani, itu sangat keren. Hal itu tertanam dalam jiwaku menjadi semangat untuk menimba ilmu dengan giat agar aku dapat masuk ke Akademi Militer. Sayang sekali, aku ditolak di bidang militer, dan semangatku lantas runtuh untuk sesaat. Kemudian, aku teringat jika kepolisian tidak hanya menaungi petugas jalan dan patroli. Ada pula korps paramiliter yang di Adamantia dikenal dengan sebutan "Korps Taktis Khusus" (Special Tactical Corps, biasa disingkat STC). Beruntungnya diriku, sebab Akademi Kepolisian menerimaku sebagai anak didik. Setelah aku lulus, aku bekerja dari nol selama bertahun-tahun hingga kini, aku terpilih sebagai salah satu pejuang STC.

Sesekali, aku ditugaskan dalam berbagai misi seperti penjinakan bom dan antiteror. Berbagai tempat di negeri ini kukunjungi bersama rekan-rekanーtentu bukan dengan kesan santai seperti liburan atau karyawisata. Terkadang, pemandangan yang indah menyembunyikan beragam marabahaya. Tidak hanya alam saja yang akan terkena dampaknya, rakyat pun akan kena. Itulah tugas kami sebagai salah satu badan pertahanan dalam negeri: menumpas segala bentuk ancaman demi Adamantia yang tenteram. Pikiranku selalu saja terpaku kepada misi yang begitu bahaya, yang hanya dapat dilakukan oleh kami.  Oleh sebab itu, aku seringkali susah menikmati pemandangan indah yang kulihat di tempat-tempat kejadian perkara.

Kala masa-masa sunyi, aku gunakan waktu sebaik mungkin untuk bersantai di asrama. Ketika aku menjaga markas pun, aku lakukan dengan tenang tanpa beban. Seperti saat ini, aku berjaga di pos dengan seorang rekan, juga secangkir kopi Americano. "Hey, Raph," sapa Johan, sobatku yang gemar mengarang lagu itu, setelah ia hentikan permainan gitarnya dan menyandarkan gitar itu pada dinding. "Lagu yang tadi baru saja kuciptakan. Bagaimana?" tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku dan menjawab, "Hmm, boleh juga. Terima kasih karena membuatnya dalam aliran indie-folk. Sangat cocok dengan suasana senja danー" Perkataanku terjeda karena aku ingin menghabiskan kopiku. "ーkopi ini. Hmm, nikmat." Johan tertawa sejenak, kemudian berujar, "Hahaha, memang mau dibuat dalam aliran apa lagi? Aku hanya punya gitar akustik." Ada benarnya sih, makanya aku lagi-lagi mengangguk. Tatapanku tertuju pada cangkir kosong, kemudian langit senja yang mulai terlihat jingga.

"Di lagumu itu... Ah, mereka benar-benar akan melakukannya besok, ya?" gumamku. Aku teringat akan gambar-gambar di media sosial, juga selebaran-selebaran dan spanduk-spanduk di jalan yang memberitahukan bahwa besok, tanggal 20 Februari 2020, akan ada demonstrasi—mereka sebut itu dengan people power. "Kurasa iya," timpal Johan. Napas panjang kubuang. Aku berkata, "Aku yakin, Komandan akan memberi kita misi untuk melindungi ibu kota, barangkali akan terjadi ricuh—"

Baru saja aku menduganya, panggilan untuk briefing bagi seluruh anggota STC datang. "Kan," kataku, lalu segera beranjak dari kursi. "Ayo," ajakku kepada Johan. Ia mengikutiku ke ruang diskusi, dan kami duduk bersebelahan seperti biasa. Semua orang sudah berkumpul di hadapan Komandan Himmelreich, maka pengarahan sudah dimulai. "Baiklah, selamat sore," sapanya, yang kami balas secara serentak, "Sore, Pak." Beliau segera memulai pengarahan tanpa banyak basa-basi. "Baiklah. Kalian semua pasti sudah mendengar kabar bahwa besok akan ada unjuk rasa yang kemungkinan akan terjadi besar-besaran. Mereka mengatakan bahwa unjuk rasa tidak akan mereka hentikan sebelum EC (Election Commitee) mengubah keputusannya dan memenangkan Schubert. Yang harus kalian lakukan adalah, jaga ibu kota dan demonstran agar situasi tetap kondusif, serta agar demonstrasi dilakukan sesuai prosedur. Apabila terjadi kerusuhan, saya tekankan, JANGAN SERANG MEREKA jika nyawa personel tidak dibahayakan. Sebisa mungkin, kurangi penggunaan senjata api kalian. Fokus kepada pertahanan. Aku harap kalian semua paham, dan laksanakan misi ini dengan sukses demi keamanan ibu kota." Kami semua berdiri tegak, berucap serentak, "Siap, mengerti!" Komandan mengangguk, mengucapkan kalimat penutupnya, "Baik. Dengan ini, semua sudah tersampaikan, dan pengarahan sudah usai. Kalian semua saya persilakan untuk bubar." Setelah mengucapkan, "Terima kasih," kami semua meninggalkan ruangan dengan tertib.

Aku berjalan santai di koridor dengan sobatku Johan di sisiku. "Haduh, benar-benar. Mereka keras kepala juga, ya," ujarnya sebagai komentar untuk aksi esok hari. "Ya, kau tahu sendiri kenapa sampai sekarang mereka tidak setuju kalau Winston naik," balasku, membuatnya menganggukkan kepalanya pelan, seperti teringat kembali akan perilaku para pendukung Schubert yang begitu menyolok. "Iya, ya..." gumamnya.

Menurutku, watak para pendukung Schubertーsebut saja para perkutut—inilah sumber dari perpecahan yang marak di Adamantia. Yah, walaupun juga disebabkan oleh respon panas para cupang, sebutan orang-orang untuk pendukung fanatis Winston. Mereka saling membalas api dengan api hingga negeri ini terbakar secara politis. Akar dari masalah ini adalah empat tahun lalu, sebelum pemilihan Gubernur Jamestown, yang akan kuceritakan di bab berikutnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 13, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

"Damai" Dalam Tanda KutipWhere stories live. Discover now