Gadis itu menginjak kembali sekolahnya dan bersikap seperti biasa, tidak biasa juga karena kali ini semua tatapan yang dia rasakan dan juga ia dapatkan begitu berbeda. Negatif.
"Tak ku sangka dia mau masuk lagi,"
"Auranya jadi buruk, ku lebih suka saat seminggu yang lalu dia tidak ada."
"Ini buruk, kenapa juga dia bersikap seperti gak punya dosa seperti itu.."Yurina berusaha menahannya. Ia tidak boleh mempedulikan mereka tapi entah kenapa dia tidak bisa. Rasanya ia ingin kabur. Ia tidak kuat mendengar obrolan mereka.
Tapi seseorang kemudian duduk di depannya dengan menenteng tas gitar. Kobayashi Yui. Sudah berapa lama, yah, semenjak terakhir mereka berbicara. Yui juga tampak tidak lagi mempedulikannya. Yurina tertawa dalam hati, siapa juga yang mau mempedulikan dia lagi?
Lihatlah tubuhnya! Bahkan orangtuanya sendiri tidak lagi menganggapnya anak. Yurina berusaha mati-matian setidaknya menjaga prestasinya namun itu tidak lagi dilihat. Ayahnya sudah membabi butanya dan ibunya menganggapnya tak ada.
"Jadi buat apa..."
Yui merasakan hatinya tersayat. Ia ingin sekali memeluk Yurina sekarang. Bagaimanapun, ia merindukan anak itu tapi Yui terlalu pengecut untuk menunjukannya. Sekarang, orang mulai melihat kehadirannya, hal yang Yui inginkan sejak lama.
"Maafkan aku, Yurina.."
Pulang sekolah, Yui berencana untuk berbicara pada Yurina namun ia terlihat berjalan berlawanan arah dari arah biasa. Penasaran, Yui bergegas mengejarnya walau terlihat menjaga jarak.
"Gedung kosong?" Guman Yui melihat gedung kosong yang baru saja Yurina masuki. Walau agak takut, Yui pun terus mengikutinya. Gedung ini terlihat seperti pusat pembelanjaan baju yang sudah terbengkalai atau mungkin pabrik baju? Karena banyak sekali plastik, kain sisa produksi, dan manekin.
Yui melihat Yurina naik ke lantai dua. Perlahan, ia mengikuti lagi langkah Yurina. Gedung itu tergolong besar tapi langkah kaki Yurina dapat terdengar jelas. Yurina lagi-lagi naik ke lantai tiga, atap.
"Mau apa dia..."
Yurina merentangkan tangannya, membiarkan angin berhembus ke arahnya. Ia tersenyum. Setidaknya disini dia bisa merasakan ketenangan. Sebenarnya ia menyadari bahwa dia diikuti oleh seseorang, entah siapa. Jadi saat dia menoleh, ia tidak terlalu terkejut bahwa Yui telah mengekorinya.
"Halo."
***
"Kau kesini selama seminggu ini?"
"Um." Yurina melahap potongan sandwich yang merupakan bekal yang ia beli di stasiun tiap kali pergi dan pulang sekolah. Ibunya tidak lagi memasaknya bekal, syukurnya Yurina mempunyai uang simpanan yang akan terus ia gunakan selama kondisi kacau seperti ini. "Kau tidak bekerja?"
"Aku sudah keluar, toh, aku sudah mendapat beasiswa.."
"Begitu ya."
"Apa alasanmu datang kesini, Yurina? Ini cukup jauh dari arah kita." Yui menatap Yurina yang tampak lebih kurus dan kelam dibanding yang dulu padahal mereka tidak lagi berinteraksi selama sebulan.
"Aku.. memimpikan diriku sendiri sendiri, diriku saat masih kecil tentunya."
"Eh?"
"Aku cuma ingin memastikan tapi sepertinya kali ini mimpi itu tidak akan menjadi kenyataan.."
"Yurina..." Yui tidak bisa menahan Yurina untuk berdiri dan pamit pulang. Ia melihat punggung Yurina yang lama kelamaan menghilang. "... aku harap juga taj menjadi kenyataan."
Ishimori terlihat tak percaya bahwa salah satu rekan kerjanya telah mengirimkan surat peringatan pada keluarga Yurina akibat absen selama seminggu. Ia melihat dua rekan kerjanya itu terus mengomentari soal Yurina.
Ishimori menjadi kesal sendiri. Melihat luka sekujur tubuh anak itu, kalau sampai orangtuanya tahu, apa yang akan ia terima? Ia bahkan tidak bisa menepati janji ke muridnya sendiri. Ia khawatir sekaligus takut.
"Ishimori-sensei!"
"Iya?"
".... Kau hebat juga membawa Hirate kembali lagi ke sekolah."
"Itu..." Ishimori bungkam. Ia hanya dapat berdoa bahwa Yurina tidak akan kenapa-napa.
Ctash---- "ANAK SIALAN! JADI SELAMA INI KAU BOLOS HAH!!!"
Yurina menahan pukulan rotan ayahnya dengan sekuat tenaga, semua bekas luka yang belum sembuh itu kembali terasa menyakitkan. Sang ayah terus menerus memukulnya seperti memukul seorang maling.
Namun gadis itu tetap diam. Ia menahan tangisnya, menahan sakitnya. Walau tangannya membiru, kakinya memar, bahkan-bahkan rotan yang digunakan itu sampai patah. Yurina tetap menahan tangisnya.
Tak sadar darah segar mengalir dari bibir Yurina, sepertinya ia terlalu kuat mengigit bibirnya sendiri. Ia menyeka darah itu dengan tatapan kosong.
"Aku tak sudi melihat wajahmu lagi!" Sang ayah melempar potongan rotan itu dan pergi meninggalkan Yurina dengan penuh luka sendirian.
Ibunya berdecak, "Pergi sana!"
Kaki Yurina terasa nyeri namun ia masih bisa berdiri dan agak sedikit pincang untuk naik ke kamarnya. Ia berbaring sembari meringis, badannya seperti retak. Ia menahan sakitnya.
Ia menutupi matanya dengan lengan dan kemudian menangis. Bibirnya terasa sakit begitu juga seluruh badannya. Ia kembali bermimpi.
Suara monitor rumah sakit dan suara tangisan orang-orang. Apa dia mati? Seseorang memegang tangannya dan meminta maaf, membangunkan dia. Yurina ingin bangun namun ia tak bisa. Mungkinkah dia sudah mati?
Tapi suara monitor itu masih berirama naik turun, jadi tentu dia belum mati. Lalu kenapa dia sekarang begini? Kenapa dia tidak bisa bangun? Ia ingin melihat siapa orang yang menangisinya itu.
Yurina kemudian terbangun dengan air mata yang mengalir. Hari telah pagi dan ia harus siap-siap ke sekolah walau dengan luka seperti ini. Ia melirik ke arah tas sekolahnya dan salah satu tas yang terlihat lebih berisi.
"... Jangan." Ia menggeleng. Kemudian membawa salah satu tas untuk keluar.
***
Brak!! --- seseorang menyelengkat Yurina dengan sengaja sambil tertawa-tawa. Luka pukulan ayahnya jadi semakin terasa menyakitkan. Ia pun memilih beristirahat di UKS sampai Ishimori datang padanya.
"Ku dengar tubuhmu penuh luka,"
"Maaf membuatmu khawatir."
"Ya.. tidak.. ini salahku tak menjaga rahasia dengan baik.."
Yurina tersenyum tipis, "Salahku. Aku harusnya tahu bahwa ada surat peringatan untukku, maaf Sensei."
"Yurina. Apa kau baik-baik saja?"
Hening. Detik berlalu begitu lama. Kenapa Yurina merasa sangat sakit setelah mendengar pertanyaan itu. Yurina mendesah pelan. "S-sensei.."
"Ya?"
"Aku tidak baik-baik saja..." lirihnya sambil menangis.
/Black Sheep/