Pengadilan Dunia

45 0 0
                                    

Matahari baru saja terbangun dari tidurnya. Aku masih berselimut dan masih menikmati empuknya dipan pengantin yang masih terus kami gunakan.

"Pa... Hari ini aku ingin pergi ke pengadilan." Sang istri memulai pembicaraan sambil berpakaian dan berdandan dengan rapi.

"Haa.... Masya Allah. Jadi beneran ini mau ke pengadilan...?" Aku berusaha bangkit dari peraduan.

"Aku berangkat duluan yah.... Aku naik online aja." Putri bergegas menuju keluar kamar.

"Sebentar.... Tunggu sebentar nanti saya antar. Tapi saya mandi dulu.... Wait a minute ok..." Aku melompat dari tempat tidur dan mandi dengan sangat cepat. Hanya beberapa detik air mengenai rambut dan tubuhku tapi yang utama aku sudah berwudhu terlebih dahulu agar semuanya berjalan mudah.

"Buruan...!!! Kalo nga aku tinggal nih..." Putri mulai nga sabaran menunggu.

"Iya.... Bentar dong. Ini tinggal pakai baju doing kok. Aku nga sholat dhuha nih jadinya. Nanti aku sholat di masjid yang ada dekat sana aja." Sambil memakai sepatu dan mengambil kunci mobil kami berdua bergegas menuju ke pengadilan agama.

Di sepanjang jalan, aku mulai gelisah tak karuan terbayang trauma yang dalam ketika aku masih kecil menyaksikan sendiri perpisahan antara dua orang yang aku cintai. Aku menangis tiada henti, ketika mengetahui mereka ke pengadilan untuk berpisah. Dan sampai hari ini, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas sekali dan menjadi semakin takut dan khawatir akan sebuah perpisahan.

"Sayanggg... Boleh nga kita nga usah ke pengadilan.... Please...." Di sepanjang jalan aku mengeluarkan seluruh jurus rayuan agar sang istri mengurungkan niatnya untuk bercerai.

"Papa tak mau berpisah dengan anak-anak.... Aku sayang mereka sayang.... Dan papa juga tak ingin berpisah dengan mama. Mama adalah segalanya bagi papa...."

Putri hanya terdiam dan memandang lurus ke depan jalan raya, sambil menengok ke samping jalan. Aku yang memandangnya semakin khawatir akan tekadnya untuk berpisah.

"Ma..... Tolonglah. Jangan pisah yah.... Aku nantinya tinggal dimana???.... Anak-anak bagaimana? Aku membujuk sambil meneteskan air mata suci.

"Sudahlah. Pokoknya kita harus tiba disana jam 10.00 pagi. Jangan sampai telat! Kalo bawa mobilnya kayak gini lambatnya. Sini aku yang bawa mobilnya aja!!"

Semakin lama hatiku menjadi sangat sakit dan tak terasa air mataku mengalir deras membasahi seluruh pipi.

"Tuuuhhh kan.... Papa nangis... Bahaya kalo bawa mobil sambil emosi kayak gini... Sudah stop disini. Aku turun aja.... Kalo ngna aku yang bawa mobilnya sekarang. Biar kita semua selamat sampai tujuan..."

"Baiklah ma...." Aku menghentikan mobil di bahu jalan raya dan menyerahkan kunci mobil ke Putri."

Dengan kecepatan mobil diatas rata-rata, Putri membawa mobil dengan kencang untuk segera tiba di pengadilan agama.

"Ma.... Ini ada uang untuk mama. Hanya tinggal ini uang papa..."

"Iya terima kasih. Inikan untuk kita dan anak-anak juga..." Sambil terus membelokkan kendaraan untuk masuk ke kantor pengadilan agama untuk yang pertama kalinya.

Di kantor pengadilan, sudah ada beberapa kerabat yang menunggu agar terjadi perdamaian antara kami berdua. Mereka hanya datang melihat dan menemani proses pengadilan yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Setelah sang istri membayar biaya gugatan cerai, kami dipanggil untuk dilakukan proses mediasi terlebih dahulu oleh panitera pengadilan.

"Bapak ibu sekalian, yang boleh masuk ke ruang mediasi hanya bapak Insani dan ibu Putri Cahaya saja yah. Yang lain harap menunggu di luar saja."

Aku dan istri masuk bersama petugas mediasi. Didalam sang petugas berusaha memberikan sedikit tentang ilmu agama, pernikahan dan kerugian dari sebuah perceraian.

"Bapak ibu yang saya hormati, pernikahan itu adalah suci bukan untuk permainan. Dan setiap pernikahan pasti akan ada banyak masalah yang menghantam. Tapi dengan kekuatan cinta dan rahmat Allah, semuanya bisa teratasi dengan baik. Mendekatlah kepada Allah dan jangan berharap pada manusia. In sha Allah hidup akan Sakinah Mawaddah Warahmah."

"Bagaimana ibu Putri. Masih ingin bercerai... dengan suami ibu?"

"Iya pak hakim. Saya sudah tidak sanggup untuk hidup bersamanya lagi. Pokoknya saya mau PISAH!!!" Nada suaranya meninggi.

"Hmmm, baiklah kalo begitu. Oiya saya tanyakan ke ibu. Di sebelah ibu ini siapa?"

"Ya suami sayalah pak.!"

"Siapa lagi....?"

"Ya..... Ayahnya anak-anak pak... Yang menafkahi keluarga kami..." Tutup sang istri.

"Hmmm iya. Kalo bapak sendiri. Sebelah bapak ini siapa sebenarnya?" Tanya pak hakim kepadaku.

"Beliau adalah istri saya pak."

"Lalu siapa lagi....?"Tanya pak hakim.

"Dia adalah ibu dari anak-anak saya dan juga sebagai ibu yang melayani saya pak...!"

"Hmmmm.... Baiklah. Bapak menganggap ibu ini sebagai ibu bapak yang bapak cintai. Tapi kenapa bapak berlaku kasar kepadanya" Tanya sang hakim.

"Saya tak pernah berlaku kasar pak hakim...???"

"Lalu kalo nga pernah berlaku kasar. Mengapa ibu ini menuntut pisah dari bapak???" Pak hakim makin bertanya bertubi-tubi.

"Iya... mungkin pernah saya berkata kasar pak hakim. Saya khilaf dan tidak sengaja. Untuk itu saya mohon maaf atas segala kesalahan saya....."

"Nah gitu dong. Jadi semuanya bisa selesai dengan baik. Bagaimana ibu...? Apakah bapak ini dimaafkan?" Pak hakim menganggap persoalan mediasi ini dapat dengan mudah selesai dengan jalan adanya kata maaf dan saling memaafkan.

"Aduh... Nga bisa begitu pak hakim. Saya tidak mau memaafkannya. Bisa keenakan nantinya. Dan bisa berulang kali, berkata kasar nantinya. Saya pokoknya mau pisah. TITIK!!!"

"Baiklah ibu. Jika ibu memang sudah membulatkan tekad. Kami hanya ingin membantu proses mediasi agar tidak terjadi perceraian antara dua orang yang saling mencintai... Kasihan anak-anak dan kasihan keluarga yang telah banyak berkorban untuk kebahagiaan bapak ibu sekalian... Tapi ya sudahlah. Minggu depan kita masuk ke persidangan. Jika memang ibu tetap bersikukuh ingin berpisah."

"Bukan begitu pak hakim, saya hanya ingin keadilan. Itu saja!" Dan karena Putri sudah terlihat mulai emosi sang hakim berusaha menenangkannya dan mengajak untuk langsung maju ke meja hijau agar dapat dilihat apakah pernikahan ini dapat diselamatkan atau dipisahkan saja sesuai dengan tuntutan sang istri.

"Baik bapak ibu. Silahkan kita keluar dan sampai ketemu minggu depan yah... Jangan sampai telat karena kami punya jadwal persidangan perceraian yang sangat banyak di bulan-bulan ini. Assalamu alaikum"

"Waalaikum salam...."Jawab kami kompak. Kami pulang bersama dengan tanpa adanya komunikasi. Masing-masing hanya diam membisu memendam rasa yang dulu ada. Cinta yang dulu membara kini tinggal amarah dan dendam. Cinta yang dulu indah kini penuh caci dan benci. Dan hari-haripun semakin terasa sepi dan sunyi. Tak ada lagi canda dan tawa. Tak ada lagi ceria dan bahagia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Novel: Berpisah untuk KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang