“Kau benar-benar mabuk. Ku sudahi saja. Besok telepon aku jika kau sudah waras!” Dengan kesal Jaemin mengakhiri panggilannya dan mengembalikan gagang telepon pada Hani yang meringis canggung.
“Suami Anda, Jaemin-ssi?” tanya Hani ragu-ragu.
“Calon,” jawab Jaemin cepat lalu pergi meninggalkan Hani yang menahan tawanya.
Minjae melongo, mulut terbuka lebar dengan mata yang membulat sempurna, tidak percaya kalau Ayahnya bisa berbicara sekenanya kalau Neneknya itu sudah meninggal.
“My Darling, kautidakmerindukanku? Aku di sinikesepian dan rindukehangatanpelukanmu.”
Terdiam sejenak kemudian menarik nafas dalam-dalam, Minjae berteriak lantang di gagang telepon, “Ih! Ayah!! Michyeosseo!!”
Ia mengembalikan gagang telepon pada Hani dengan wajah tertekuk sebal.
“Kenapa kok marah?” tanya Hani dengan sabar sembari mengulurkan sebutir permen karamel pada Minjae.
“Ah, maaf, Eonnie. Ku rasa Ayahku benar-benar sedang mabuk,” jawab Minjae, tersipu malu. Ia mengambil permen karamel dari uluran tangan Hani lalu menendang-nendang ke udara dengan manja.
Hani terkekeh. “Ayahku juga suka begitu. Tidak usah marah, mungkin Ayahmu hanya rindu.”
“Rindu apanya, Eonnie. Aku di sini belum ada sehari. Lagipula—”
“Lagipula?”
“Ehehe, tidak. Kalau begitu terima kasih Eonnie. Aku kembali ke pondok!” pamit Minjae sersya berlari menuju Pak Yoon yang sedang menunggunya di depan pintu untuk mengantarnya kembali.
Hani hanya bisa menggeleng heran. Ternyata pekerjaannya ini lumayan menyenangkan dari ia yang pikir sebelumnya.
“Loh, heh?? Sepertinya ....” Hani terdiam, memandangi line telepon yang kini sudah berhenti berkelip. “Astaga! Aku keliru memberikan line teleponnya!!”
🎥
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.