Bagian 14

507 59 1
                                    

Tiga hari telah berlalu, tetapi keberadaan Fadhil masih belum diketahui. Padahal keluarganya telah berusaha untuk mencari hingga melapor pada polisi. Namun, pemuda itu masih belum ditemukan juga.

Faris bahkan telah mengirim orang-orang kepercayaannya untuk mencari cucu kesayangannya, tetapi nihil. Lelaki itu tak tahu lagi harus mencari ke mana karena semua tempat yang biasa dikunjungi Fadhil telah disisir, dan tak ada tanda-tanda pemuda itu berada di sana.

Dia menyesal karena tidak  bisa mengingat alamat yang cucunya  sodorkan kemarin ataupun berinisiatif untuk mencatatnya. Sekarang, tak ada petunjuk yang bisa digunakan untuk mencari keberadaan cucunya. Hatinya resah dan gelisah karena memikirkan Fadhil yang entah berada di mana.

"Adhil, kamu ada di mana? Kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu, bagaimana caranya Kakek mempertanggung-jawabkan di hadapan Abi dan Tuhan," lirih Faris.

Faris mengambil ponsel dari saku bajunya, ia segera menghubungi orang kepercayaannya.

"Kamu harus secepatnya menemukan keberadaan Fadhil, saya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya!"

"Kami akan berusaha, Pak."

Faris memutuskan teleponnya sepihak, dia kembali pergi untuk mencari cucunya. Fadhil adalah segalanya, ia amanah dari putranya untuk dijaga. Dia sudah gagal menjaga putranya, dia tak ingin mengulang kesalahanan yang sama hingga berakhir penyesalan sepanjang hidup.

🍀🍀🍀

Bukan hanya Faris, Fauzan juga mencari keberadaan pemuda itu. Lelaki itu bahkan belum pulang ke rumah semenjak Fadhil pergi, dia merasa bertanggung jawab atas kepergian si sulung. Seandainya dia memberi izin kepada pemuda itu, putranya tak mungkin kabur dari rumah.

Menyesal? Tentu saja dia menyesal karena tak mampu memahami perasaan Fadhil  hingga pemuda itu memilih pergi tanpa jejak. Namun, penyesalan itu sudah terlampau terlambat untuk diungkap. Berjuta kata andai, tak akan mampu membuat waktu terulang kembali.

Mas Abi, maaf karena aku gagal menjaga putramu dengan baik. Andai saja kami tidak bersikap egois, Fadhil tidak mungkin pergi seperti ini, batinnya.

Davin menepikan mobil ketika perutnya berdenyut nyeri, tubuhnya itu protes meminta agar diperhatikan. Bagaimana tidak, selama tiga hari terakhir dia hanya tidur di mobil, itu pun kurang dari tiga jam per hari. Belum lagi pola makannya yang berantakan.

Dia terlalu sibuk mengkhawatirkan Fadhil hingga lupa bahwa dirinya sendiri juga perlu diperhatikan. Lelaki itu keluar dari mobil dan memilih memberhentikan taksi untuk pulang ke rumah. Tubuhnya benar-benar lemas sehingga tak mungkin memaksakan untuk tetap mengendarai mobil seorang diri.

Jarak rumahnya tak terlalu jauh  lagi, hanya sekitar setengah jam perjalanan.  Sebenarnya dia memang bermaksud untuk pulang dan istirahat sebentar di rumah karena istrinya sejak kemarin memintanya untuk pulang.  Wanita itu mengkhawatirkan kondisi Fauzan yang sering jatuh sakit ketika kelelahan.

Selama perjalanan, Fauzan memilih memejamkan mata karena kepala dan perutnya yang berdenyut sakit. Dia sebenarnya  sudah memperkirakan hal ini, tetapi tetap saja abai pada kondisinya sendiri.  Lambungnya tak mungkin berulah, jika ia tak melupakan sarapan serta makan siangnya.

Saat sampai di rumah,  mobil Qiana—istrinya—telah terparkir rapi di garasi pertanda bahwa wanita itu telah pulang dari rumah sakit. Dengan tertatih Fauzan melangkah memasuki  gerbang rumahnya. Baru selangkah masuk, perutnya bergejolak menimbulkan rasa mual tak tertahankan.

Hoekk!

Fauzan berjongkok memuntahkan isi perutnya, tetapi hanya cairan bening yang keluar dari sana. Keringat dingin sudah membanjiri tubuhnya dengan wajah yang tampak pucat pasi.

Qiana pulang hanya untuk menyiapkan makan malam untuk putranya, setelahnya  akan kembali ke  rumah sakit. Namun, dia mengurungkan niatnya ketika mendapati sang suami pulang dalam keadaan yang tidak baik.

"Mas, kamu kenapa?" Qiana memapah Fauzan ke kamar.

"Aku baik-baik saja, kok. Kalau mau balik ke rumah sakit, enggak apa-apa. Lagian aku hanya butuh istirahat." Fauzan berusaha tersenyum.

Qiana menggeleng, bagaimana mungkin meninggalkan suaminya  dalam keadaan sakit seperti itu. Dia memang punya tanggung jawab di rumah sakit, tetapi juga tak bisa mengabaikan Fauzan.

"Harus berapa kali aku bilang, jangan terlalu abai sama kondisimu sendiri. Kalau udah sakit gini, siapa yang merasakan? Kamu juga, 'kan!?"

Fauzan tak menanggapi, ucapan istrinya ada benarnya juga. Namun, sebagai seorang ayah dia tak bisa mengabaikan putranya yang belum diketahui keberadaannya.

"Aku enggak mungkin cuma berdiam, sementara Fadhil masih belum ditemukan. Dia tanggung jawabku, Qiana," lirih Fauzan.

Fauzan menghentikan langkah dan meremas kuat perutnya, dahinya pun  mengernyit dalam, sangat kentara tengah menahan sakit.

Qiana membantu Fauzan untuk berbaring di sofa, dia tak tega melihat suaminya itu tampak kesakitan.  Wanita itu mengambil obat dan segelas air putih lalu membantu sang suami untuk meminumnya.

"Minum obatnya,  setelah itu istirahat. Jangan memikirkan yang lain, pikirkan kesembuhanmu dulu." Qiana menasihati.

Fauzan hanya mengangguk karena tak punya tenaga lebih untuk berdebat dengan istrinya. Menurut akan lebih baik daripada nanti dibawa ke rumah sakit dengan penjagaan ekstra ketat, seperti sebelumnya.

Qiana kembali memapah Fauzan ke kamar dan membantunya berbaring, tak lupa memasang infus di tangannya. Entah berapa lama suaminya  itu tidak makan dan minum  hingga menyebabkan dehidrasi. Meskipun begitu,  dia tetap bersyukur karena lelaki itu pulang dengan selamat.

Fauzan kembali mencengkeram erat perutnya ketika nyeri itu menghantam  tiba-tiba sembari meringis pelan. Dengan terpaksa, Qiana menyuntikkan obat tidur ke lengan lelaki itu agar bisa beristirahat dengan nyaman. 

"Aku tahu kamu khawatir pada Fadhil, tetapi enggak seharusnya kamu sampai jatuh sakit begini, Mas. Kalau sampai putramu itu tahu kamu sakit karenanya, dia pasti akan semakin menjauh," lirih Qiana.

Qiana mengusap wajah Fauzan dengan tisu untuk membersihkan keringat yang menyembul di sana. Dia tak menyangka bahwa suaminya akan  menjadi orang yang sangat bertanggung jawab pada keluarga, terutama  pada Fadhil. Mengingat dulu, lelaki itu tipe orang yang tidak bisa diajak bicara serius.

"Mas Abi, maafkan kami karena tidak bisa menjaga amanahmu dengan baik. Berulang kali kami membuatnya  kecewa dan terluka tanpa sengaja.  Sekali lagi, maafkan kami." Qiana mengusap air mata yang mengalir di sudut matanya.

One Day One Chapter
Day 14
Kulon Progo, 2 Juni 2020








Harapan (Tamat)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang