68

5.5K 952 89
                                    

"Tidak mau."

Jaemin bisa mendengar helaan napas keras dari seberang telfon waktu dia baru saja menekankan bagaimana dia menolak apapun itu yang diminta siapapun itu.

Siapa? Lucas.

"Na! Dengarkan permintaanku sekali iniii saja!" Dia masih mengulang untuk entah yang keberapa, tanpa tau Jaemin ogah-ogahan mendengarkan suaranya lewat loudspeaker sembari dirinya lebih fokus mengetik tugas kuliah. "Tolong! Kosongkan! Jadwalmu! Akhir pekan ini! Kumohon!"

"Makanya kan aku tanya, untuk apa?? Kalau itu hanya supaya kak Lucas bisa dapat bukti kakak menjalankan tugas untuk menjagaku, kakak tinggal bilang aku menolak!"

"Kamu menolak —justru kalau seperti itu aku bakal kena marah!"

Ya, terus apa? Jaemin tidak peduli. Lucas sudah mengganggunya dari siang, hingga sekarang sudah sore dan dia masih belum juga mencukupkan. Sudah baik Jaemin tidak mematikan telfonnya secara sepihak!

"Ayolah, Nana! Aku hanya minta waktumu sebentar! Bukannya kamu sendiri yang sering mengeluh karena kebanyakan waktu senggang? Aku hanya minta sedikit dari waktu senggangmu yang terlalu banyak itu!"

"Ya, bahkan dengan kamu meminta hanya sedikit saja aku keberatan, berarti aku memang sedang tidak ingin melihatmu, kak! Sudah dulu ya, ada telfon masuk!"

"Hah! Tapi aku kan yang menelfon lebih du---"

Terputus. Akhirnya ada alasan untuk menutup telfon tanpa berbohong. Renjun menelfon di saat yang sangat tepat.

Tak berpikir lebih lama lagi, Jaemin beralih ke sambungan yang baru saja datang tadi, tentu dengan menarik napas dalam berkali-kali terlebih dahulu, "Ya, Renjun? Tumben menelfon! Ada perlu apa?"

Jaemin yakin sekali tadi itu suaranya sudah dia buat seramah mungkin yang dia bisa. Dia tidak mau Renjun sampai salah mengira suasana hatinya sedang buruk atau apa, padahal itu hanya karena dia sudah terlalu bosan terus diberi dengar suara Lucas tanpa ada jeda.

Dan sepertinya, usahanya berhasil. Renjun tidak terdengar menyadari ada tanda-tanda lelah dari intonasi Jaemin. "Tidak ada apa-apa sih, tapi memangnya aku hanya boleh menelfon kalau ada perlu? Tidak bisakah aku menelfonmu kalau aku sedang bosan, hm?"

Jaemin tertawa. "Bukan, bukan begitu. Tadi aku juga sedang menelfon, tapi kututup karena kukira kamu ada perlu... Yah, karena biasanya kamu lebih suka chat saja kan? Makanya...."

"Oh? Begitukah? Maafkan aku...."

"Tidak apa-apa! Tidak penting juga sih, dan... Dari tadi aku juga bingung bagaimana cara menutup telfonnya, jadi kamu benar-benar menolongku!"

"Hmm?" Jaemin dengar Renjun seperti meninggikan nadanya di akhir dengungan. Kenapa? "Sepertinya, yang tadi menelfon itu bukan sembarang orang.... Pacarmu ya?"

Jaemin mengedipkan matanya, sebelum akhirnya tergelak lagi dengan lebih keras, "AHAHAHA! Pacar? Tidak, ih! Aku tidak punya pacar!"

Jaemin, selama dua puluhan tahun hidup, tidak pernah sekalipun punya pacar. Untuk tiba-tiba mendengar tebakan seperti itu dari Renjun yang sudah mengenalnya dari zaman sekolah pun jadi terasa seperti lawakan. Lawakan yang sama sekali tidak lucu, tapi entah kenapa dia tertawa.

Renjun terdengar sangat bingung di sana, yang akhirnya Jaemin putuskan untuk tanyakan lebih jauh. "Lalu, laki-laki jangkung yang kulihat itu siapa? Teman saja?"

Laki-laki jangkung? Jaemin mengernyit. Siapa....

"Eh.... Sebenarnya beberapa minggu lalu aku sempat ke kost Jeno, lalu dari balkon aku lihat kamu sama laki-laki... Karena dia terlihat mengejarmu, aku kira dia pacarmu dan kalian waktu itu sedang adu mulut...."

          

Jaemin diam, mencoba lebih memahami apa yang kira-kira sedang dibicarakan Renjun. Jaemin yakin siapapun yang Renjun maksud ini bukan pacar, karena demi Tuhan, Jaemin ini tidak punya pacar!

Jadi, apa tadi katanya? Beberapa minggu lalu? Di kost Jeno? Laki-laki jangkung....

Oh. Sial.

"HAH, AMIT-AMIT!! BUKAN, DIA BUKAN PACARKU!!"

Renjun hampir menjatuhkan begitu saja hapenya, tidak mengira Jaemin akan menjerit dengan sangat keras tepat di mic. Jaemin minta maaf sudah mengagetkannya, tapi dia juga menambahkan soal Renjun yang bisa-bisanya mengira Lucas itu pacarnya.... Ugh, Jaemin merasakan sesuatu menggerayangi tengkuknya tiba-tiba, hanya karena membayangkan makhluk itu sebagai pacarnya.

"O-oke, oke! Dia bukan pacarmu, aku mengerti!" Renjun tidak tau kalau tebakannya itu tadi dapat membuatnya diteriaki seperti tadi. Karena... Menurutnya, orang yang dia lihat itu terbilang menarik? Seharusnya, setidaknya, tidak akan menyinggung siapapun kalau orang dengan perawakan macam itu dikira Renjun sebagai pacar.

Tapi kalau memang Jaemin bilang mereka itu hanya teman, ya... Mau dikata apa lagi? Pasti rasanya tidak nyaman kalau dikira yang lebih-lebih, padahal aslinya hanya berteman.

Selain itu, Renjun merasa lebih lega, sampai kelepasan tertawa juga. "Aku... Aku sudah sampai kepikiran macam-macam."

"Kepikiran? Kenapa?"

"Ya... Sedih saja kalau memikirkan kamu sudah punya pacar tapi aku tidak tau. Semacam... Dulu padahal kita teman dekat, tapi sekarang bahkan untuk menelfon saja rasanya harus ada perlu dulu."

Itu lagi? Jaemin tadi benar-benar sudah salah bicara kah soal telfon?

Tapi yang Renjun sampaikan di sana bukan itu. Renjun sedang menyuarakan rasa cemasnya mengenai hubungan pertemanan mereka yang makin hari merenggang, tanpa Renjun tau apa yang menyebabkan.

Jaemin, dalam hati mengiyakan. Iya, mereka yang dulunya dekat sekarang serba canggung. Seperti harus selalu berhati-hati kalau tidak mau ada yang tersinggung. Semua jadi terasa menyedihkan, terlebih lagi, Jaemin tau kalau di sana hanya dia yang tau apa penyebabnya. Itu karena Jaemin yang sengaja membuat jarak. Dan ternyata jarak itu sudah terlalu besar, sampai Renjun yang dipikirnya sangat tidak peka pun sadar.

"Kita...," kata Renjun, yang jedanya mungkin disengaja. "...masih teman, 'kan?"

Oh, jarak. Jarak yang dibuatnya ini selama berbulan-bulan, apakah bisa dihapus olehnya lagi dalam waktu sehari? Suara Renjun tadi sangat meninggalkan efek padanya. Renjun membuatnya luluh lagi, sampai perasaan bersalah mulai menyelimuti.

"...tentu. Tentu! Kita masih teman." Jaemin menjawab setelah merasakan dengan lebih mendalam rasa panas yang memenuhi wajahnya. "Kita masih teman. Sampai seterusnya aku tidak akan pernah berhenti melihatmu sebagai temanku. Aku... Aku mengakui kalau kita sekarang sudah tidak sedekat dulu, tapi aku tidak menyangka kamu bahkan meragukan apa kita masih berteman atau tidak. Itu... Cukup melukaiku."

Renjun tidak membalas. Barangkali juga bingung bagaimana merespons pada pengakuan Jaemin yang mengiyakan mengenai hubungan mereka yang merenggang.

"Aku tidak tau pastinya apa yang membuatmu sampai mengira kita sudah tidak berteman, tapi kalau kamu mau tau, aku masih sangat ingin mendengar semua kabar tentangmu. Sampai sekarang."

"Kabarku?"

"Hm-hm! Kabarmu!" Dia menganggukkan kepala, padahal Renjun tidak akan bisa melihat itu. "Misal, kamu sakit, cepat hubungi aku. Kamu senang, sedih, atau... Yah, apapun! Ceritakan padaku, maka aku akan selalu mendengarkanmu dari pertama kau memulai sampai selesai."

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang