goldenrod

351 74 0
                                    

(n) : The color goldenrod is a representation of the color of some of the deeper gold colored goldenrod flowers.

*
*
*

"Aku pulang, bu," kata Hangyul. Ia mengapit ponselnya diantara telinga dan bahu. Salah satu tangannya mencari kunci pintu yang biasanya disembunyikan ibu di bawah pot tanaman, sementara dengan tangannya yang lain ia berusaha memegang koper dan tasnya secara bersamaan.

"Gyulie, apa kau sudah menemukan kuncinya? Maaf ibu tidak bisa menjemputmu. Separuh staff disini mengambil liburan musim panas sehingga ibu harus bekerja lembur."

"Apa mereka setidaknya membayar lemburmu, bu?" tanya Hangyul, ia akhirnya berhasil menemukan kunci rumah dan segera membuka pintu depan.

"Tentu saja sayang," ibu terdengar lelah, dia mungkin sebenarnya tidak punya waktu untuk menerima telepon.

"Baiklah, aku percaya. Aku hanya menelepon untuk memberitahu ibu aku sudah disini jadi ibu tidak perlu khawatir."

"Ah, Hangyul-ku. Ibumu ini baik-baik saja," Hangyul sadar ibunya seringkali memiliki kebiasaan untuk memanggil dirinya sendiri sebagai orang ketiga. Terutama ketika hal itu menyangkut kondisinya sendiri, seperti ibu sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia baik-baik saja, mencoba meyakini kebenaran kata-kata yang dia ucapkan sendiri.

"Aku akan pulang nanti malam dan memesan makanan seperti kebiasaan hari rabu kita dulu."

"Oke, aku akan bicara lagi dengan ibu nanti," Hangyul menutup panggilan sebelum ibunya bisa mengatakan hal lain lagi.

Ruang tamu tempat Hangyul berdiri saat ini terasa familiar tapi juga terasa asing. Segalanya berbeda dari yang ia ingat sebelumnya. Ibu memilih pindah ke apartemen satu kamar setelah ia pindah ke-dorm karena hal itu akan menghemat biaya sewa.

Layout dasar apartemen ini sama dengan apartemen mereka sebelumnya, tetapi warna cat dindingnya berbeda, lampunya berbeda, dan segala hal terasa lebih sesak. Sofa di sudut ruangan masih sama seperti yang Hangyul ingat sejak usianya 11 tahun.

Disudut lain terdapat meja tinggi dimana ibu meletakkan berbagai macam benda seperti koleksi buku masak lama hingga televisi tua dengan jam kukuk diatasnya. Hangyul ingat bagaimana ia sebagai seorang bocah lebih tertarik pada jam kukuk itu dibanding kartun membosankan yang ditayangkan di televisi.

Hangyul berjalan memasuki dapur yang tersembunyi di balik dinding diseberang sofa tua mereka. Dapur kecil ibunya tertata dengan rapi, dengan meja berwarna hitam mengkilat yang sepertinya baru tempat ibunya meletakkan berbagai benda. Ruang yang tersedia di dapur tidak besar, namun entah bagaimana mesin cuci piring, wastafel, oven, dan kulkas cukup berada di dalamnya.

Ia kembali ke sofa dan memilih membaca novel lama miliknya, cukup terkejut ibu tidak membuangnya ketika mengemas barang saat pindah. Ibunya tiba ketika ia fokus membaca. Dengan refleks Hangyul mencoba mengambil paperbag berisi makan malam mereka dari tangan ibunya tetapi wanita setengah baya itu menolak.

"Tidak, tidak, aku bisa melakukannya sendiri," katanya sembari berjalan ke dapur dengan Hangyul yang mengikuti di belakangnya seperti anak ayam. Ia berjengit ketika kakinya bersentuhan dengan lantai dapur yang dingin, sedikit menyesal mengabaikan nasihat lama ibu untuk selalu mengenakan kaus kaki.

"Kau menemukan buku lamamu?" tanya ibu sementara jemarinya sibuk memindahkan makanan ke mangkuk. "Buku-bukumu tidak muat diletakkan dalam satu kotak, jadi bukumu yang lain pasti ada di suatu tempat, tapi aku belum punya waktu untuk mencarinya. Apa kau lapar?"

"Aku lapar. Apa ibu lapar?"

"Jangan khawatir tentangku. Bisa tolong ambilkan piring itu?" pinta ibunya sembari menunjuk rak yang tergantung di dinding.

"Tapi itu alat makan khusus saat ada acara," kata Hangyul sembari mengambil 2 piring dari sana.

"Tentu saja acara khusus. Putraku pulang, putraku akhirnya pulang," ibunya tersenyum lembut, mengelus lengan Hangyul pelan.

Ia memperhatikan ibu yang sedang menghangatkan makanan, dan Hangyul menggunakan waktunya untuk mengamati kerutan yang memenuhi wajah ibunya. Mengamati bagaimana rambut ibu yang cantik mulai beruban. Ibunya terlihat pucat dibawah cahaya lampu dapur yang temaram.

Ibunya terlihat tua, jauh lebih tua dari usia aslinya.

"Aku menyimpan semua bukumu. Mereka banyak sekali demi Tuhan, aku ingat dulu kau menghabiskan semua uang sakumu untuk buku-buku itu. Kau membeli semuanya di toko buku tua dekat sekolahmu dulu, kan?"

Hangyul bergumam setuju, "paman pemilik toko itu selalu memberiku diskon ketika aku datang kesana."

Hangyul tidak pernah memiliki rak untuk buku-bukunya karena ibu tidak mampu membelinya dan ia memilih menggunakan uang hasil kerja part-timenya untuk sesuatu yang lebih penting. Seluruh bukunya diletakkan begitu saja disamping dinding dan terkadang di kolong tempat tidurnya.

Sepertinya setiap sudut kamarnya dulu dipenuhi buku. Hangyul mencintai buku, ia menyukai tulisan yang digoreskan pada kertas, tapi ia tidak tahu bagaimana menggunakan hal itu dengan baik.

"Aku yakin dia sudah pensiun sekarang. Aku melihat gadis muda yang mengelola toko buku itu ketika aku lewat terakhir kali. Kurasa dia cucu pemilik lama toko itu. Mungkin kau harus berkunjung, gadis itu sangat cantik."

Hangyul mengangkat pandangannya dari piring, menatap ibunya tepat di mata. He had brought home a boy once before, in middle school.

His first boyfriend.

Ketika itu hari rabu malam, satu-satunya hari libur ibu. Ibunya telah menunggu dengan makanan yang dia pesan dari kedai favorit Hangyul. Ibunya tidak mengharapkan seorang tamu. Hangyul memperkenalkan sosok itu pada ibunya, leaving the word boy out of friend.

Meja makan penuh malam itu berbeda dengan percakapan mereka yang kosong. Setelah makan malam Hangyul mengantar kekasihnya pulang, sepanjang jalan ia menggenggam jemari sosok itu.

Selama berminggu-minggu ibu sama  sekali tidak mengatakan apapun, hanya keheningan pekat yang melingkupi hubungan mereka. Setelah malam itu Hangyul sadar bahwa jurang yang memisahkan mereka semakin lebar.

Ada jeda panjang sebelum ibunya melanjutkan, "pemilik toko buku sepertinya juga punya cucu laki-laki. Aku bertemu dengannya di pasar dan dia membantuku membawa belanjaan hingga sampai ke rumah," kata ibunya pelan.

Hangyul merasakan sesak yang menyumbat tenggorokannya, matanya memanas, dengan tergesa ia menyuapkan makanannya ke mulut. "Makanannya enak, sangat enak."

"Jangan bicara dengan mulut penuh, tahun-tahun berlalu tapi kau tidak berubah," tegur ibunya. "Putraku. Putraku yang baik. Putraku yang tampan."

"Aku hampir 21, bu."

"Aku tahu, aku tahu. Sudah begitu lama. Putraku yang pekerja keras. Putraku yang selalu mengkhawatirkan ibunya. Ibumu ini baik-baik saja, tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku."

Hangyul menghela nafas, "aku akan pulang lagi saat liburan musim dingin. Oke, bu?"

"Tentu saja, tentu saja. Putraku," ibunya menjawab. "Aku sangat bangga padamu. Kau tahu itu, kan?"

"Aku tahu," jawab Hangyul, suaranya gemetar.




TBC

Ada yang namanya mantan istri atau mantan suami tapi engga pernah ada yang namanya mantan anak, atau mantan ayah, apalagi mantan ibu. 

aku, kau, dan seribu bangau kertas || hangyul; junho✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang