Lisa berjalan menyusuri koridor dan menuju ke ruang musik lalu mendapati Chaeyoung yang tengah duduk di lantai ruang itu dengan menyandarkan punggungnya pada sisi piano, sibuk mengusap kedua pipinya dengan lengan bajunya sendiri... ia sedang menangis.
"Hei..." Lisa menyapa, mendekati gadis itu dengan hati-hati. Chaeyoung segera menegakkan tubuhnya dan berusaha tampil seolah-olah ia tidak baru saja menangis.
"Caramu keluar dari kafetaria cukup dramatis tadi." Lisa memutuskan untuk melemparkan candaan, tetapi Chaeyoung tidak tertawa.
"Leluconku buruk, maaf." Lisa meminta maaf.
"Leluconmu memang selalu buruk," gumam Chaeyoung, berusaha mengatakannya dengan sedatar mungkin agar Lisa tidak menyadari isaknya yang tengah tertahan.
Lisa terkekeh. "Itu benar." Ia menyetujui.
Mereka terdiam beberapa saat sebelum Lisa berbicara lagi, ikut bersandar pada piano dan menatap Chaeyoung. "Apa kau benar-benar merasa seperi itu?"
"Seperti apa?"
"Bahwa orang lain hanya ingin berteman denganmu karena kasihan?" Tanyanya. "Karena aku punya banyak sekali argumen untuk melawan pernyataanmu itu."
"Tolong jangan bersikap seperti psikolog ataupun terapis sialanku sekarang."
"Aku tidak sedang begitu." Lisa berdebat. "Aku sedang bersikap seperti seorang teman."
"Kalau begitu, jangan." Ucap Chaeyoung pelan. "Kembali saja ke teman-temanmu dan tinggalkan aku sendiri."
Lisa duduk di sebelahnya. "Aku punya seorang teman yang sedang membutuhkanku di sini. Dan jika aku kembali ke sana untuk bertemu dengan teman-teman kita, maka kau harus ikut tepat di sebelahku." Ia bersikeras.
"Dasar keras kepala." Gumam Chaeyoung.
Lisa mengangkat bahu. "Aku bisa mengatakan hal yang sama padamu." Balasnya, menatap Chaeyoung. "Bicaralah padaku."
"Bagaimana kalau...tidak?" Chaeyoung menggertak kembali. "Tidak ada yang perlu dibicarakan dan tidak ada yang sedang ingin kubicarakan."
"Kenapa tidak?"
Chaeyoung menghela nafas frustasi. "Karena aku tidak ingin membicarakan tentang bagaimana aku menjadi beban bagi semua orang!" Ia membentak. "Untuk sebagian besar hidupku, semua hal telah disediakan di hadapanku dan aku selalu diperlakukan seperti anak anjing yang sakit dan tidak dapat melakukan apa pun. Itu karena aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku ini buta. Semua orang merasa kasihan padaku. Aku tidak bisa hidup seperti yang kuinginkan karena segala yang ingin kulakukan harus kulakukan dengan sangat hati-hati. Aku tidak bisa membiarkan hidupku berjalan begitu saja. Aku tidak bisa...aku benar-benar tidak bisa." Chaeyoung mengayunkan kepalan tangan ke lututnya beberapa kali dan menghela nafas.
Lisa menatapnya sejenak. "Kau bukanlah sebuah beban."
"Apa yang kau tahu tentangku, Manoban?" gertaknya.
"Aku tidak perlu tahu banyak tentangmu untuk mengetahuinya." Lisa menjawab dengan lembut. "Karena tidak seorang pun merupakan sebuah beban. Kau masih ada di sini karena suatu alasan. Kau bisa saja telah tiada, Chaeyoung. Saat hal sialan bernama Kanker itu mencoba merenggut hidupmu. Tapi... tidak. Kau masih hidup sekarang. Itu karena kau masih punya suatu tujuan di sini." Ia memberitahunya. "Dan kau tidak akan pernah tahu apa tujuanmu itu kecuali jika kau bersedia keluar dari cangkang keras dimana kau telah bersembunyi begitu lama di dalamnya. Kau mampu untuk hidup kembali, kau hanya tidak tahu caranya." Lisa terhenti, menyatukan tangannya sendiri dengan tangan Chaeyoung dan merasakan jantungnya berdetak begitu cepat dan perutnya mulai menegang. "Jadi, biarkan aku mengajarimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Acluophilia
FanfictionMemulai kehidupan yang baru di kota Seoul, Lalisa Manoban, gadis riang berjiwa seni itu tak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi cahaya dalam hidup seseorang. Terlebih lagi jika seseorang itu adalah gadis buta yang dikenal arogan, Park Chaeyoung...