Pagi Senja

58 3 0
                                    

Baju koko putih kini tak lagi putih, lebih tepatnya berwarna cokelat kemerahan. Duduk bersimpuh disamping pemakaman sang bunda dengan menahan air mata kepedihan dihati seorang lelaki tampan yang bernama Senja. Senjasana Dirgantara itulah nama lengkap lelaki yang memiliki wajah tegas tampan dan postur tubuh yang ideal. Kini dengan kesempurnaan yang ia miliki, tak menutup kemungkinan bahwa ia adalah manusia biasa yang bisa menangis meraung kencang karena telah ditinggalkan oleh orang yang sangat ia cintai, yaitu ibunya. Tepat setahun kepergian ibunda Senja yang meninggalkan luka mendalam bagi Senja dan Kakek Asep.

"Ikhlaskan... kita tidak boleh meratapi kepergian ibumu." Kata kakek Asep membelai kepala senja.

Senja masih duduk termenung dan terdiam dengan tangan yang memeluk Al-Qur'an.

"Setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian. Kita juga akan seperti ibumu dan nenekmu nanti, yang terpenting selama masih diberi kesempatan hidup, kita harus gunakan kesempatan ini untuk memperbanyak ibadah dan harus melanjutkan hidup. Kamu tau itu kan senja?" kakek Asep mengingatkan senja.

"I-iya senja tau kek. Tapi tetap saja senja merasa kehilangan ibu." ucap Senja dengan menitikan air matanya kembali.

"Iya kakek tau, kita memang telah kehilangan ibumu, tetapi kamu harus melanjutkan hidup kamu, masih banyak disana yang menyayangi kamu." Kata Kakek Asep yang berusaha tegar.

"Memangnya siapa lagi yang menyayangiku selain ibu dan kakek? Ayah? Ayah saja tega meninggalkan aku dan ibu demi karirnya." Sergah Senja.

"Sudahlah maafkan saja Ayahmu. Mungkin ini jalan terbaik untuknya dan untukmu. Ibumu saja sudah memaafkan Ayahmu. Ya memang kakek saja sulit untuk melupakan kejadian dimana ayahmu meninggalkan ibumu dan kamu sendirian. Tapi itu semua sudah terjadi, tak perlu lagi disesali." Kata Kakek Asep yang masih mengenang masa lalu.

"Aku akan berusaha melupakannya kek." Kata senja tertegun karena ucapan kakeknya itu memang benar. Untuk apa disesali yang telah lalu.

"Mulai sekarang, kamu harus berubah ya. Jangan murung terus. Jadilah Senja yang kakek kenal, yang selalu ceria, aktif..." kata kakek Asep memberi semangat.

"Kata siapa aku murung terus?" tanya Senja heran.

"Kata Ubed temen kamu tuh. Katanya kamu kalau di Sekolah suka nangis tiba-tiba, cemberut, ga semangat." Jawab kakek Asep.

"Halah si Ubed mah bohong kek. Senja biasa aja tuh di Sekolah." Kata senja mengelak.

"Yaudah deh, yang penting kamu harus jadi Senja yang selalu bersinar di waktu petang." Kata Kakek Asep sambil tersenyum.

"Ih kakek sok puitis deh." Kata Senja tersenyum simpul.

"Nah gitu dong, harus senyum. Jangan nangis terus." Kata kakek Asep senang.

"Apasih kek... Senja gak nangis terus kok." Kata Senja yang kini tersenyum malu.

"Yaudah yuk kita pulang. Udah sore nih." Ajak Kakek Asep.

"Bu, Senja pulang dulu yaa... " kata Senja berpamitan pada pusara ibunya.

**

Selama diperjalanan pulang, senja masih saja diam seribu kata. Ia berjalan sembari menendang batu yang ada dihadapannya berkali-kali.

"....BLETAKK!!"

"Adaaw... Aduhhh..." teriak seseorang dibelakang Senja.

Senja dan Kakek Asep pun menoleh kebelakang dan ternyata seseorang itu adalah Ubed, sahabat kecil Senja yang sedari tadi mengikutinya dari belakang.

"Ubed!!!" Teriak Senja kaget.

Rupanya batu yang ditendang oleh Senja mengenai Ubed yang berada dibelakang Senja dan kakeknya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 02, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jingga dalam SenjaWhere stories live. Discover now