"Siapa?"
"Kim Hanna."
Huang Renjun, pemuda yang kini duduk berhadapan dengan Minju di salah satu restoran terkenal di daerah Gangnam menaikkan kedua alisnya, ia rasa telinganya salah dengar.
"Bisa lo ulangi?"
"Sekolah di Belanda bikin lo tuli, ya?" Decak Minju.
"Ulangi, Minju."
"Kim Hanna itu nama pacarnya Jaemin, cewek yang beberapa hari ini banyak lo tanyain ke gue. Kan emang ini tujuan kita, Jun. Ini janji lo buat kembali kesini, lo mau bantuin gue rebut ceweknya Jaemin biar gue bisa sama Jaemin."
"Ternyata obsesi lo lebih dari gila, ya." Si Huang menggeleng, ini bukan sebuah janji, melainkan rencana jahat.
Bagaimana bisa Renjun merebut kebahagiaan sahabatnya sendiri? Meskipun ia memang menyukai gadis yang empat tahun lalu ia tinggalkan disini.
Ini karma untukmu, Huang.
"Gue nggak akan rebut Hanna."
"Renjun?!"
"Hanna itu kebahagiaan Jaemin! Kalo lo emang suka sama Jaemin, harusnya lo rela dia bahagia sama siapa aja. Obsesi lo gila, lo nggak bisa kayak gini, maksa Jaemin sama lo sama aja nyeret dia ke dalam keterpaksaan. Lo mau dicintai secara terpaksa?"
Ucapan Huang Renjun tidak didengarkan oleh Minju. Yang ada dipikiran gadis itu hanya bagaimana cara mendapatkan Jaemin.
"Tapi lo suka sama dia." Jawabnya, sarkas.
"Gue kasih tau ke lo, suka sama Hanna adalah karma buat gue, puas lo."
Setelah melemparkan jawaban sarkas itu, Renjun beranjak, keluar dari restoran, meninggalkan Minju dan makanan mahal yang belum ia sentuh sedikitpun.
Dalam perjalanan, berkali-kali Renjun menggumam, mengulangi nama seorang gadis yang menyita seluruh ruang di otaknya. Gadis yang ia usir paksa dari hidupnya, gadis yang dulu mencintainya lebih dari apapun, gadis yang dulu menahannya di Seoul, dan gadis yang sekarang ia sukai.
"Lo gila, Renjun ...."
Nyatanya, gadis itu sudah berubah, tidak ada sorot suka dari kedua matanya yang dulu menjadi retina favorit Renjun. Tidak ada lagi senyuman tulus yang ditujukan hanya untuk dirinya. Sekarang semua itu milik Jaemin, sahabatnya.
"Maafin aku karena dulu menyia-nyiakan kamu."
Hingga akhirnya, Huang Renjun sendiri yang meminta maaf, meski tak langsung dihadapan sang gadis. Hatinya tetap tulus mengucapkan kalimat itu.
Kalimat yang bisa saja memperbaiki semuanya jika ia kembali lebih awal.
***
Jung Jaehyun menegak segelas soju terakhirnya, meski kepala laki-laki itu sudah bersandar tidak berdaya di punggung sofa rumah Doyoung, mulutnya seakan tidak ingin berhenti meminum minuman memabukkan itu.
"Jae, udah." Si pemilik rumah bersuara, takut temannya akan memaksa untuk meminum soju lagi.
Kim Doyoung meminggirkan semua botol-botol bekas soju milik Jaehyun, ia memasukkannya ke dalam kantong plastik kemudian menaruhnya di belakang pintu utama rumah.
Ini sudah malam, kedua adiknya sudah tidur. Na Jaemin tidak ada disini, remaja itu tidur di rumah Haechan, alih-alih meminta di rumah Jeno. Jaemin ingin ke rumah Haechan saja, kecuali jaraknya yang jauh dari rumahnya, ia juga memiliki prediksi, jika di rumah Jeno, ayahnya pasti datang dan menyeretnya.
Kembali kepada Doyoung, laki-laki itu berusaha membopong tubuh Jaehyun menaiki tangga, membawanya ke dalam kamar.
"Tidur, lo kebanyakan minum. Kali ini aja gue biarin lo, tapi lo tuh ... bodoh. Bukan ini jalan keluarnya. Gue pasti bantuin lo, pakai minum segala."
Sebenarnya, banyak sumpah serapah yang tertahan di tenggorokannya, mengingat bagaimana hidup Jaehyun yang sekarang seperti robot dengan remote control yang dikendalikan oleh iblis. Doyoung jadi tak tega, lagipula Jaehyun juga tidak sepenuhnya bersalah atas kasus Hanna.
Keluar dari kamar dengan langkah gontai, Doyoung menuju kamar adik bungsunya. Membuka pintu berwarna putih itu dengan gerakan pelan, tidak ingin membangunkan adiknya yang tidur dengan selang infus di punggung tangannya.
"Kakak tidur sini, ya." Ujar Doyoung sangat pelan, hampir seperti bisikan.
Kakak sulung Hanna itu mencari selimut tebal di dalam lemari pakaian adiknya. Namun, bukan selimut yang Doyoung temukan. Melainkan amplop berwarna coklat bertuliskan hasil pemeriksaan pasien Na Jaemin.
"Jaemin sakit apa?"
Tau monolog nya tak akan terjawab, dengan rasa penasaran yang semakin membuncah, Doyoung membuka amplop berwarna coklat itu. Membaca isinya dari awal hingga akhir.
Kedua netra beningnya yang kering, kini dibasahi oleh air mata yang bisa luruh kapan saja. Bagai tersambar petir di siang bolong, tubuh Doyoung bergetar, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
"Kak Doyoung?"
Menoleh lemah ke arah Hanna yang tau-tau sudah berdiri di sampingnya, Doyoung menghela, "Na Jaemin ... sakit?"
"Kak—"
"Leukemia limfoblastik akut?"
Si bungsu menarik nafas panjang, sejenak ia tidak menjawab, membiarkan kakaknya menangis semakin keras.
"Jadi ini alasan kamu ... nggak mau ninggalin Jaemin?"
***
"Jae!"
Jung Jaehyun terjingkat kaget, kepalanya yang masih pusing seperti dipukul oleh sesuatu karena teriakan Doyoung yang sangat kencang.
"Apa?"
"Adik lo sakit leukemia?!"
Diam sebentar, Jaehyun lalu ber-oh kecil. Kemudian mengangguk.
"Kenapa nggak kasih tau gue?"
Jaehyun menaruh sumpitnya di samping mangkuk berisi nasi miliknya yang setengah tandas. Ia memaksakan senyum ke arah Doyoung.
"Apa ... kasih tau lo bakal bikin dia sembuh?"
Tidak, tentu tidak. Tapi bukankah Doyoung juga—ah sudahlah.
"Seenggaknya lo cerita ke gue ...." Nada suaranya yang pasrah, sekaligus gerakan lemas nya duduk di kursi meja makan membuat Jaehyun semakin melebarkan senyumnya.
Ternyata masih banyak yang peduli pada adiknya.
"Lo tau nggak sih," Jaehyun menjeda kalimatnya, menghela nafas panjang sebelum meneruskan kata-katanya yang cukup menyakiti dirinya sendiri.
"Berkali-kali dia cerita ke gue soal kematian, soal ketakutan dia berpisah sama gue, awalnya gue nggak mikir aneh, Doy. Tapi suatu hari, waktu dia pulang sekolah, dia ngasih gue amplop persis sama amplop di tangan lo, dan waktu gue buka ... rasanya dunia gue hancur detik itu juga. Gue merasa gagal jadi kakak buat dia, gue anak kedokteran tapi gue sama sekali nggak bisa lihat sebuah perubahan fisik adik gue sendiri karena kanker itu."
Air mata yang sedari tadi ditahan, akhirnya jatuh, meluruh tanpa bisa dihentikan lagi. Untuk pertama kalinya Doyoung melihat Jaehyun menangis sekencang ini, raut wajahnya yang putus asa, menarik dirinya untuk menepuk bahu sahabat laki-lakinya itu.
Ini seperti bukan Doyoung. Tapi biarkan saja.
"Adik lo pasti sembuh. Jae, jangan khawatir ya, banyak yang jagain adik lo kok, sejak dia jadi pacarnya Hanna juga, gue udah anggap dia adik gue meskipun gue pernah marah sama dia gara-gara dia ninggalin Hanna sendirian di tengah jalan malam-malam. Tapi ... gue nggak benci sama adik lo."