17

744 129 5
                                    

Bisa dibilang bahwa kejadian di taman saat itu adalah interaksi terakhir antara Seokjin dan Sowon.

Mereka tidak saling mengirim pesan, bertemu dan berbicara satu sama lain. Kabar-kabar tentang Seokjin pun sudah tidak bisa lagi Sowon ketahui lantaran Jisoo tidak les lagi karena desakan kedua orang tuanya. Jembatan penghubung antara Seokjin dan Sowon pun terputus begitu saja.

Menurut Seokjin, itu pilihan terbaik. Ia ingin Sowon tahu soal perasaannya, namun ia memilih untuk tidak melanjutkan perasaan itu untuk kebaikan Sowon sendiri. Toh Seokjin harus menikahi wanita pilihan kedua orang tuanya.

Sedangkan Sowon tetap berharap bahwa Seokjin akan memberinya kabar, walau hanya berupa kiriman pesan via ponsel. Akan tetapi, harapannya itu selalu saja pupus alias tak kunjung terjadi.

Hari demi hari pun dilewati oleh Sowon seperti biasa. Walaupun dirinya merasa ada suatu kekosongan, yang perlu diisi oleh kehadiran seseorang.

Setelah setahun tidak bertemu, Sowon sudah memutuskan untuk beralih. Ia berharap bisa melupkan sosok Kim Seokjin dari perasaannya. Akan tetapi walaupun ia sudah mencoba sekeras apapun, tetap saja usahanya gagal. Pria itu terus ada di pikiran Sowon.

Sowon membasuh wajahnya di wastafel toilet. Ia memandangi wajahnya di cermin. Rambutnya sedikit terkena air pula karena ia tidak mengikat rambutnya.

Selama setahun ini juga sudah ada dua orang pria yang menyatakan perasaan padanya, tetapi Sowon selalu menolak. Ia belum bisa melupakan seseorang, dan belum bisa menerima orang lain. Sungguh, Sowon menyayangkan itu dan merasa bersalah.

Ia menghela nafas kasar dan mengambil handuk kecil untuk wajahnya. Ia mengelap wajahnya hingga kering lalu berjalan pergi dari toilet, hingga keluar dari kamar dan pada akhirnya keluar dari rumah.

Satu tahun ini sudah ada cukup banyak perubahan, terutama di pekerjaannya. Sekarang ia bisa menjadi pelukis yang lebih terkenal lagi, karena ia sudah berani memamerkan karya seninya di depan publik pada saat pameran seni. Namanya pun semakin di kenal.

Gedung les dulu sudah dipindah ke tempat yang lebih besar dan lebih cukup untuk banyak murid. Tempat itu juga sekaligus menjadi wadah lapangan kerja bagi mereka yang ingin mengajar teknik seni.

Sowon kini sudah punya mobil sendiri, hasil dari penjualan lukisannya itu. Ia masuk ke dalam mobil dan memegang kemudi. Pikirannya kini jatuh pada Seokjin.

"Ah... Kenapa aku terus memikirkannya? Ini sudah setahun, tanpa kabar, tanpa interaksi dan bahkan kami tidak pernah bertemu lagi. Tapi kenapa aku masih menaruh harapan padanya?" tanya Sowon pada dirinya sendiri.

Ia berdecak kesal dan menunduk. Pandangannya kemudian terfokus pada sebuah kertas putih yang ada di bawah kursi mobil. Karena rasa penasarannya, Sowon mengambil benda tersebut dan memandanginya.

"T-tunggu, ini kan.."

Kertas itu menampilkan sketsa wajah seseorang. Kalau kalian memikirkan Kim Seokjin, iya, kalian benar.

Sowon menghela nafas lagi karena faktanya, ia tidak bisa melupakan pria itu.

"Apakah kita bisa bertemu lagi? Kita bahkan tidak berpamitan. Ini tidak adil buatku.."

Sowon memandangi sketsa tersebut. "Aku tidak punya foto dirimu. Jadi aku melukismu dengan bayang-bayangku saja. Bagaimana? Apakah gambar ini akurat?" tanya Sowon. Lagi-lagi pada dirinya sendiri, atau spesifiknya pada kertas yang sedang ia genggam.

"Kau sangat menyebalkan. Bagaimana mungkin kau bilang kalau kau akan dijodohkan dan menyukaiku secara bersamaan?" Sowon berdecak kesal dan membuang kertas itu ke sembarang tempat, namun tetap di dalam mobilnya. Tentu tak lupa ia meremuk kertas itu menjadi bentuk bola.

Tak lama setelah menenangkan diri, ia pun berangkat ke Summer Rain bookstore. Setelah sampai, ia langsung masuk dan menyapa beberapa staff, kecuali J.Seph yang baru saja beberapa hari lalu ia tolak. Mereka masih terlalu canggung untuk memulai interaksi atau percakapan lagi. Sowon miris akan hal itu.

"Em... eonnie, tadi pria yang bernama Kim Seokjin datang."

"Hah?" Sowon kaget bukan main. Ia langsung bisa merasakan desir hangat di dalam dirinya. Jujur saja perkataan Yuju tadi membuat dirinya jadi sedikit gemetaran.

"Aku ingat wajahnya. Dia orang yang dulu datang dan hampir berdebat denganmu. Aku ingat sekali."

Sowon tersenyum. "Benarkah? Apa dia mengatakan sesuatu?"

"Um, sayangnya tidak. Dia hanya membeli beberapa peralatan melukis. Entahlah untuk apa itu."

"Benarkah? Apa saja yang dia beli?"

"Cukup banyak. Ada kanvas, kuas, cat, dan palet."

Sowon mengernyitkan dahinya. Untuk apa dia membeli barang sebanyak itu? Apakah untuk Jisoo?

"Jangan melamun terus, sekarang aku tanya padamu. Apa yang kau lakukan pada J.Seph?" tanya seorang pria yang merupakan pekerja yang baru bekerja selama 3 bulan di sana.

"Jangan begitu, aku yakin Sowon punya alasan untuk menolak J.Seph."

"Tapi dia keliahatan sangat murung dan diam. Kenapa kau tidak menerimanya saja?"

"Jimin-ssi, aku minta maaf. Tapi aku tidak suka padanya. Apa aku harus pacaran dengan orang yang sudah kuanggap sahabat paling dekat? Ini sangat tidak adil." Sowon menghela nafas berat. "Aku tidak ingin kehilangan dia."

"Tapi sekarang kau sudah kehilangan dia, dengan cara saling diam."

Sowon menghela nafas lagi dan memandang Yuju yang tampak setuju dengan ucapan Jimin– si pegawai.

"Ada baiknya juga sih, eonnie. Aku yakin kau juga suka pada J.Seph, masa tidak ada sedikitpun rasa suka?"

"Ada. Tetapi itu rasa suka sebagai teman, tidak lebih."

Yuju memandang Jimin. Jimin juga memberi tatapan pada Yuju, kemudian membuka suara. "Coba saja jalani dulu. Kalau dia mencoba sekali lagi, cobalah untuk menerima."

Sowon berdecak. "Kenapa kalian memaksa ku untuk menerimanya? Apa kalian bersekongkol?" tanya Sowon. Ia memandang Yuju dan Jimin bergantian.

"Bukan begitu eonnie, tapi..."

"Ya sudahlah! Aku akan menerimanya!"

"Hah? Jinjjayo?"

Sowon diam dan memandang dengan tajam. Diam-diam tangannya terkepal.

Aku yakin kalian akan menyesal karena menyarankanku untuk menerimanya.

Kemudian setelah itu, ia mencari J.Seph dan menyuruhnya keluar dari toko buku sebentar.

"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya J.Seph.

Sowon tersenyum. "Kau bilang kalau kau suka denganku."

J.Seph menghela nafas dan memandang Sowon dalam.

"Bukannya kau menolakku?"

Sowon tersenyum. Entahlah, senyumnya berbeda dari biasanya. "Aku.. ingin mengulang lagi."

J.Seph menunduk sejenak, lalu memandang Sowon lagi. "Apa kau yakin?"

Sowon diam.

"Aku menyukaimu, Sowon. Maukah kau menjadi kekasihku?" potong J.Seph.

Pernyataan itu lagi-lagi membuat Sowon kaget. Namun kali ini, ia tahu harus menjawab apa. Ia melihat ke dalam mata J.Seph dan senyuman pria itu yang terlihat tulus, membuat Sowon luluh dan merasa bersalah.

"Aku... aku mau."

×××

× 6 september 2019

sculpture | sowjin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang